Jadilah
Umat yang Pemaaf
Fauz Noor ; Ketua Dewan Pendidikan Pesantren Fauzan;
Ketua Lakpesdam PCNU Kota
Tasikmalaya; Dosen Filsafat STAI
Tasikmalaya
|
KOMPAS,
30 Mei
2018
Dalam mengemban tugas untuk menyampaikan
risalah-Nya, Rasulullah SAW berhadapan dengan pelbagai budaya, tentu saja
yang terutama adalah budaya Arab. Artinya, Islam datang bukan dalam ruang
hampa. Islam datang ”dalam” dan ”bersama” budaya Arab.
Itu sebabnya, budaya-budaya yang baik pada
masa jahiliah tidaklah ditolak, apalagi dirusak. Misalnya, jika kuffar
Quraisy ditanya siapa yang menciptakan langit dan bumi, mereka menjawab,
”Allah.” Mereka pun meyakini Allah adalah yang menjadikan bumi terhampar,
menurunkan hujan, menjadikan kehidupan berpasang-pasangan, dan yang lainnya.
Semua sistem keyakinan kuffar Quraisy itu
direstui oleh Islam. Hanya saja, ketika sistem keyakinannya berkata bahwa
Allah punya anak-anak perempuan, dengan tegas dan tak bisa ditawar-tawar, Islam
menolak. Ketika sistem budaya bertentangan dengan akidah, Islam tak bisa
menerima itu.
Rasulullah SAW pun menjadi seseorang yang
”dibenci” karena dipandang hendak merusak sistem keyakinan nenek moyang
mereka. Bukan hanya itu, Rasulullah SAW pun ditampik, diancam, bahkan hendak
dibunuh.
Hemat saya, rasa benci atau ketaksukaan
merupakan sesuatu yang alamiah. Kita membenci itu adalah wajar. Ketika kuffar
Quraisy membenci Rasulullah SAW adalah alamiah saja karena Rasul membawa
sesuatu yang ”baru” bagi mereka. Manusia cenderung akan memusuhi atau
membenci sesuatu yang ”baru”, sesuatu yang belum atau tidak mereka ketahui.
Itulah sebabnya, ketika Rasulullah
dilempari kotoran unta, beliau malah berdoa, ”Ya Allah, berikanlah petunjuk
kepada mereka. Mereka begini karena mereka tidak tahu.”
Yang jadi masalah, karena sudah tidak
alamiah lagi, ketika rasa benci itu kemudian diekspresikan dalam laku. Dewasa
ini bahkan rasa benci sudah diindustrialisasi. Karena pelbagai kepentingan,
”kebencian” diolah untuk memenangkan hawa nafsu dan menjatuhkan orang
lain. Rasa benci yang awalnya alamiah
saja kemudian—meminjam bahasa Cherian George, guru besar studi media di Hong
Kong Baptist University—”dipelintir”.
”Saya menunjukkan bahwa episode-episode
hasutan dan keterhasutan berbasis agama bukanlah produk alami atau langsung
dari keberagaman masyarakat, melainkan suatu pertunjukan yang sengaja dibuat
wirausaha politik dalam upaya meraih kekuasaan. Para oportunis ini secara
selektif memanfaatkan sentimen agama masyarakat dan mendorong pengekspresian
kehendak massa, dalam rangka memobilisasi mereka ke arah tujuan-tujuan
anti-demokratis. Ini penggunaan kekuatan rakyat untuk memperlemah kekuatan
rakyat itu sendiri,” kata Cherian.
Kita tak bisa menutup mata atas apa yang dikatakan
Cherian. Ini nyata dalam kehidupan kita. Kita pun akan terus berusaha melawan
”ujaran kebencian” dengan sekuat tenaga, tentu saja tidak dengan ujaran
kebencian kembali. Hanya saja, di zaman di mana regulasi untuk menumpahkan
apa yang ada di benak dan di hati begitu gampang menemukan ”medium”-nya,
kedewasaan dalam berbangsa mutlak dikedepankan. Maksud saya, jangan kehidupan
kita sebagai bangsa sesak oleh kasus-kasus hukum ”ujaran kebencian”.
Ketika regulasi untuk menumpahkan
”kebencian” begitu mudah, sikap pemaaf sepatutnya menjadi senjata kita semua.
Satu contoh hebat bisa kita baca. Ketika KH Abdurrahman Wahid di ruang publik
disebut buta mata dan buta hati oleh seorang tokoh, dengan entengnya presiden
keempat RI itu memaafkannya.
Adalah hak kita sebagai warga negara untuk
membawa ”ujaran kebencian” ke meja hijau. Mungkin diniatkan untuk memberikan
efek jera dan jadi pelajaran bagi warga lainnya. Hanya saja, para bijak
bestari berkata, ”Di atas hukum ada etika dan di atas etika adalah cinta.” Saya
percaya, kekuatan uang sebesar apa pun, kekuatan politik semasif apa pun,
yang hendak menghancurkan kehidupan berbangsa kita, jika kita hadapi dengan
kekuatan cinta Tanah Air, insya Allah kita tetap utuh sebagai bangsa.
Yang pasti, hidup di dunia ini ada pro dan
kontra, ada yang suka dan ada yang benci kepada kita. Kita tak bisa hidup
dengan niat supaya semua orang suka kepada kita. Jika kita maunya begitu,
kita telah melampaui Nabi. Nabi saja, manusia paripurna, diisi orang yang
suka kepadanya pun mereka yang benci kepadanya. Dan, dalam hidupnya, Nabi
senantiasa mendahulukan untuk memberi maaf ketimbang memberi hukuman. Jadi,
jika kita susah memberi maaf, bukan kalau begitu malah kita melampaui Nabi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar