Romansa
Islam Toleran
Teuku Kemal Fasya ; Dewan Pakar Nahdlatul Ulama Aceh;
Dosen Antropologi Universitas
Malikussaleh, Lhokseumawe
|
KOMPAS,
30 Mei
2018
Di antara perayaan di Aceh menyambut bulan
puasa adalah tradisi pesta daging atau ma’ meugang. Ma’ meugang sudah menjadi
semacam ”ritual”, berumur paling sedikit 400 tahun, yang dilakukan sejak dua
hari sebelum Ramadhan dengan membeli daging sapi (kerbau untuk wilayah
dataran tinggi Gayo) di gerai-gerai dadakan di sudut kota atau di pinggir
jalan raya.
Menurut antropolog Belanda, Snouck
Hurgronje (De Atjehers, 1893/1996), tradisi ini dulunya dikelola di tingkat
kampung dengan mengumpulkan uang dari rumah ke rumah (meuripee). Jumlah uang
yang terkumpul akan menentukan besaran sapi yang akan dibeli dan kemudian
disembelih untuk dibagi sesuai uang yang dikumpulkan warga.
Sebagian daging itu diawetkan dengan cara
dijemur dengan taburan garam dan lada atau disebut sie balue. Sebagian lagi
dimasak dengan bumbu kunyit, cabai kering, lengkuas, dan cuka atau sie
reuboh.
Kedua kuliner itu dikonsumsi hingga 15 hari
puasa atau lebih. Tradisi juga bersalinan dengan ritual mandi laut dengan
melakukan makan bersama keluarga besar (meuramin).
Tradisi
sebagai hibridisasi
Orang akan mengatakan tradisi seperti ini
tak ubahnya selubung kapitalisme yang menjadi industri tahunan. Dalam
kacamata ekonomi, membeli daging sapi dalam jumlah banyak, seperti masa ma’
meugang, akan membuat harganya meningkat 20-50 persen. Akan tetapi, sebagian besar
masyarakat Aceh tak peduli.
Ada aspek teologis dan metafisik yang masuk
dalam perayaan itu. Dalam tradisi Aceh, jika seorang telah menikah tak
membawa daging minimal satu kilogram kepada keluarganya, dianggap ia tak
berguna bekerja sepanjang tahun (tamita hareukat sithon, ta peuabeh
sibuleun). Ada perasaan bersalah jika tak memberikan sedekah daging kepada
orangtuanya dan mertuanya pada momentum itu. Rezekinya terasa tak berkah.
Namun, orang lupa, di balik tradisi yang
terlihat sebagai sayatan-sayatan kapitalistik itu ada nilai yang lebih besar,
yaitu proses berkorban, tenggang rasa, dan guyub, yang menjadi ciri
solidaritas komunal.
Kiranya tradisi serupa itu banyak ditemukan
di seluruh pelosok Nusantara. Tradisi masih dilestarikan saat ini, meskipun
tidak murni seperti pertama sekali ia disimbolisasi. Dalam praktik Islam
Nusantara, tradisi dipraktikkan bukan semata menjadi semacam matrik kultural
terkait aspek nativitas atau pengetahuan lokal, tetapi yang lebih penting
adalah proses adaptasi pesan-pesan religius sehingga terpahami oleh
masyarakat.
Tradisi adalah air embun yang teruapkan
oleh kosmopolitanisme agama dan budaya global dalam konteks lokal. Ia nilai
kebijaksanaan yang telah menemukan momentum apropriasinya. Tradisi adalah
hibridisasi nilai agama global dari Utara, yang dengan bekerjanya bahasa dan
pengetahuan lokal menjadikannya peradaban baru.
Dalam karya klasik Geertz, misalnya, Islam
Observed (1968), terlihat perbandingan kontras antara Islam di Maroko dan
Islam di Jawa. Islam di Maroko hidup dalam konteks kultur lokal
”dikurangkan”, sedangkan di Jawa ”dilebihkan”. Islam di Jawa (termasuk
Nusantara) bisa tumbuh dengan pelbagai aspek sinkretisme dan hibridisasi,
sedangkan di Maroko penuh disiplin teologis dan doktrinal.
Hal ini kurang dilihat sungguh-sungguh
dalam konteks kajian keislaman Indonesia. Muncul saja analisis bahwa
Indonesia sebagai pusat terorisme baru, tetapi tidak tekun melihat latar
antropologis Islam Indonesia. Padahal, aksi-aksi intoleransi dan radikal
sesungguhnya tidak berangkat dari tradisi lokal yang telah hidup ratusan
tahun dengan pelbagai keunikan dan irreducibility-nya—meminjam konsep
Bronislaw Malinowski, semacam inti atom kebudayaan lokal, yang tak mungkin
berketai-ketai lagi.
Sejarah Islam saat ini, yang terlihat
seolah-olah keras dan radikal, juga bukan representasi etnografi keragaman
Islam Nusantara. Ia merupakan ”pecahan-pecahan lain” yang tidak berada dalam
jalur kontinum Islam tradisional. Terorisme bernuansa agama itu merupakan
politik konservatisme yang masuk melalui cerobong migrasi Islam
Arab-Persia-Turki dengan karakter kekerasan unik dalam abad- abad persaingan
pada masa lalunya (JR Bowen, A New Anthropology of Islam, 2012: 9).
Tradisi
sebagai mediasi puitik
Jika akhirnya kita lihat fenomena Dita
Oepriyanto, yang rela menjadi martir sekeluarga dengan meledakkan diri di
tiga gereja di Surabaya, tidak bisa dibaca mewakili tradisi Islam mana pun di
Indonesia. Seseorang yang hidup dalam Islam tradisi tidak akan mengingkari
eksistensi komunalistik yang dimilikinya. Ia tak mungkin menyakiti masyarakat
yang ia warisi kebaikan-kebaikannya. Islam tradisional berangkat dari adat
dan resam yang didapatkan dari leluhurnya, bukan semata normativitas
teks-teks agama. Abstraksi perilakunya tak mungkin menyimpang dari
masyarakat.
Tradisi Islam lokal sama sekali tidak
bersentuhan dengan konsep ”tanpa kompromi”, melainkan merekonsiliasi pelbagai
nilai dan keyakinan yang telah tumbuh hidup sebelumnya. Tradisi shalat
Tarawih kilat di Blitar, permainan bola api pada malam Ramadhan, praktik
kenduri sawah, kenduri laut adalah wujud hibridisasi kultural dan keyakinan
yang bukan saja menoleransi perbedaan penafsiran di dalam Islam, tetapi juga
di luar itu.
Dalam konsep antropolinguistik Melayu-Sumatera,
ada pola sapaan yang menunjukkan semangat inklusi kepada ”orang asing”.
Mereka yang datang tidak menjadi yang lain (the others), tetapi diri sendiri
(the self). Engkau dan Aku menjadi
Kita. Sering dalam percakapan sehari-hari ketika menyebut kelompok migran di
datang ke daerahnya: ”orang kita Jawa”, ”orang kita Ambon”, ”orang kita
Bugis”, dan sebagainya. Tidak terjadi politik eksklusi yang belakang hari
menjadi politik diskriminasi, intimidasi, dan intoleransi, sepanjang yang
datang menghargai kultur dan adat istiadat setempat dan tidak melunjak!
Dalam tradisi, agama juga bisa tumbuh
dengan kelenturannya. Islam tradisional adalah konteks lokal yang lolos
memilih jalan interpretasi agama secara tepat.
Tradisi Islam Nusantara yang dipuji selama
ini sebagai perekat kebangsaan karena memiliki nilai integratif, yaitu
dimensi puitik, yang mengoperasionalisasi ”seni kemungkinan” bagi ”dunia yang
serba tidak mungkin”. Busana, foklor, peribahasa, kesenian, dan perayaan
menjadi jalan puitis mengupayakan agama nan jauh di sana menjadi dekat dan
dingin di sini.
Memang, secara teologis, tradisi terlihat
sesuatu yang ”duniawi” atau ”bidah”, tetapi karena itu pula ia bisa
memperlihatkan sisi manusiawi dari agama. Bahwa, beragama itu menyelamatkan
dan bukan menyesatkan. Masalah besar dikecilkan, masalah kecil dilupakan.
Jika saat ini ada kerinduan kembali pada
Islam toleran yang menjadi citra diri bangsa Indonesia, tak lain karena kita
rindu akan tradisi yang lamat-lamat mulai hilang dalam perilaku harian kita.
Padahal, dengan cara itu kita bergembira dan memperjuangkan martabat
kehidupan bersama. Bukan malah memilih jalan sunyi, meledakkan diri, dan mati
tak berguna. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar