Bersatu
Berbagi Prestasi
Yudi Latif ; Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
|
KOMPAS,
31 Mei
2018
Pada 1 Juni 1945,
dalam mengawali uraiannya tentang dasar negara, Soekarno menyerukan ”bahwa
kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham.”
Lantas ia katakan,
”Kita bersama- sama mencari persatuan Philosophische grondslag, mencari satu
’Weltanschauung’ yang kita semuanya setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang
saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang
saudara Sanoesi setujui, yang saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim
Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus.”
Kemudian, ia
mengajukan lima prinsip yang menjadi titik ”persetujuan” (titik temu, titik
tumpu, titik tuju) segenap elemen bangsa. Kelima prinsip tersebut bernama
Pancasila. Demikianlah, dasar ontologis (struktur makna terdalam) dari
keberadaan Pancasila adalah kehendak mencari ”persetujuan” dalam menghadirkan
kemaslahatan-kebahagiaan bersama (al-masalahah al-ammah, bonnum comune) dalam
kehidupan kebangsaan Indonesia yang majemuk.
Setiap kali kita
kembali ke 1 Juni (Hari Lahir Pancasila), setiap kali itu pula diingatkan
untuk kembali menghayati struktur makna terdalam dari keberadaan Pancasila.
Kembali mempertanyakan titik temu, titik tumpu, dan titik tuju kita bersama,
di tengah kemungkinan keterpecahan, kerapuhan landasan, dan disorientasi yang
melanda kehidupan kebangsaan.
Prinsip persetujuan
itu memang harus tetap mengacu pada Pancasila,
tetapi kontekstualisasinya
harus mempertimbangkan faktor ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan agar
Pancasila bisa responsif dengan perkembangan zaman.
Dalam konteks
Indonesia hari ini, bagaimana kita bisa mencari persetujuan bagi kemaslahatan
umum di tengah kemunduran kecerdasan kehidupan bangsa. Persetujuan memerlukan
kemampuan merumuskan substansi dan argumentasi.
Kita sekarang hidup
di tengah buih keterapungan. Saat ucapan bergelembung tanpa isi yang bisa
ditangkap. Kritik teringkus sebatas caci-maki tanpa solusi. Makna menguap
dalam keriuhan viral maya. Di seantero negeri, kedalaman dihindari,
kedangkalan dirayakan. Ke mana saja menghadap, sampah berserakan mengguritai
wajah negeri. Segala yang inti sejati tertindih tersingkir di belam sunyi.
Persetujuan
memerlukan rasa saling percaya, yang tumbuh dari keadaban publik. Adapun yang
berkembang di sini adalah kesalingtidakpercayaan secara paripurna, baik dalam
relasi antar-elite, antara elite dan rakyat, maupun antar-sesama rakyat.
Semuanya itu terjadi karena menurunnya nalar etis dalam kehidupan politik.
Setelah 20 tahun
demokrasi reformasi digulirkan, politik sebagai teknik mengalami
pencanggihan, tetapi politik sebagai etik mengalami kemunduran. Banjir uang
ke dunia politik hari ini membawa polusi pada demokrasi dan kehidupan publik.
Segala nilai dikonversikan jadi nilai uang. Relasi publik menjadi hubungan
konsumtif. Politik mengalami konsumerisasi dan privatisasi. Pengibaran
citra-diri menggantikan kualitas jati-diri.
Sihir moneter ini bahkan menembus jantung pertahanan sipil. Masyarakat
madani sebagai reservoir nilai sipilitas dan kesukarelaan jebol ketika uang
jadi penentu, bahkan dalam pemilihan pemimpin ormas keagamaan. Dalam
kehidupan publik yang sehat, ada banyak hal yang tak bisa dibeli dengan uang.
Kini, cuma sedikit
yang masih tersisa. Rasa saling percaya lenyap karena sumpah dan
keimanan disalahgunakan, hukum dan institusi lumpuh karena
”diperjualbelikan”; keteladanan kemarau karena kebaikan dimusuhi, kejahatan
diagungkan.
Persetujuan
memerlukan kecerdasan empati, yakni kesanggupan tepa salira untuk bisa
menempatkan diri dalam situasi orang lain. Namun, mana mungkin kepekaan bisa
diasah jika proses pendidikan lebih mengutamakan kecerdasan dalam ”kedirian
yang bersifat privat” (private self), seperti penekanan pada pelajaran yang
bersifat hard skill.
Kecerdasan empati memerlukan perhatian pada kecerdasan
dalam ”kedirian yang bersifat publik” (public self) yang mengarah pada
”kecerdasan kewargaan” (civic intelligence).
Pendidikan harus
menumbuhkan kompetensi warga untuk mengemban tugas kewargaan (civic duty),
memahami kewajiban dan hak warga, mampu menempatkan keunggulan pribadi dalam
harmoni-kemajuan bersama, bisa mencari titik temu dalam perbedaan, dan memenuhi
panggilan keterlibatan dalam urusan publik secara sukacita (civic joy).
Pengembangan
”kecerdasan kewargaan” lebih fundamental bagi suatu bangsa yang majemuk.
Dalam masyarakat plural, warga bisa hidup berdampingan, tetapi sulit menyatu
ke dalam suatu entitas politik terkendala kemusykilan menentukan kehendak
bersama dan kebajikan bersama. Dalam konteks itu, pengembangan jati diri
bukan saja harus memberi wahana kepada setiap individu untuk mengenali siapa
dirinya sebagai ”perwujudan khusus” (”diferensiasi”) dari alam.
Lima jalur
Pancasila sebagai
sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku bersama ini secara
keseluruhan membentuk lingkungan sosial yang dapat menentukan apakah
disposisi karakter perseorangan berkembang menjadi lebih baik atau lebih
buruk. Maka dari itu, pengembangan ”kecerdasan kewargaan” berbasis Pancasila
merupakan kunci integrasi dan kemajuan bangsa. Namun, justru pada titik
itulah simpul terlemah dari proses pendidikan dan pembangunan selama ini.
Persetujuan butuh
keyakinan bahwa dengan bersatu kita bisa meraih kemajuan dan persemakmuran
bersama. Bangsa yang tak bisa menunjukkan prestasi dalam peradaban dan
kemakmuran tidak memberi kebanggaan pada anak-anak bangsanya.
Bangsa yang tidak
merasa bangga pada dirinya cenderung mengembangkan sikap nyinyir, saling
menjatuhkan, dan saling tidak percaya pada apa pun dan siapa pun. Bangsa yang
tidak mampu meningkatkan kemakmuran secara merata cenderung mengarah pada
eksklusivisme primordial yang mengarah pada disintegrasi bangsa.
Berdiri di awal
milenium baru, menyaksikan arus globalisasi yang makin luas cakupannya, dalam
penetrasinya dan instan kecepatannya mengusik rasa hirau kita, apa kebanggaan
Indonesia di pentas dunia? Untuk itu, kita perlu ”senjata” baru, cara
pengucapan baru, dan karisma pengubah sejarah yang baru. Ilmu dan teknologi,
daya kreasi yang berbasis etos dan etis-estetis yang mewujud ke dalam
kualitas manusia unggul adalah senjata, bahasa, dan karisma baru kita untuk
memenangi masa depan.
Persetujuan akan
kemaslahatan bersama juga mengalami tantangan dari peruncingan konflik nilai
yang ditimbulkan oleh pluralisasi ideologi sebagai imbas globalisasi. Selain
menimbulkan gejala ketercerabutan (deprivasi) sosial, hidup dalam era
globalisasi juga diwarnai kesenjangan kemakmuran antara ”the winners” dan
”the losers” bersamaan dengan gerak interpenetrasi berbagai ideologi-budaya
yang menyebabkan terjadinya diferensiasi dan fragmentasi dalam pandangan
dunia.
Bagi Indonesia,
intensitas arus globalisasi yang berbarengan dengan demokratisasi era
Reformasi juga ditandai oleh situasi paradoks: tatkala Pancasila
”ditinggalkan”, ideologi lain merebak di ruang publik.
Gelombang pasang
militansi ideologi-ideologi divergen di tengah surutnya ideologi konvergen
(Pancasila) meledakkan ekstremisme di ruang publik.
Ditilik dari sudut ini,
ekstremisme dan terorisme bangkit sebagai cerminan kelalaian dan kelemahan
kita membumikan Pancasila sebagai ideologi kerja (working ideology).
Jika Pancasila
dikehendaki kesaktiannya sebagai ideologi kerja, ada lima jalur yang harus
ditempuh. Pertama, melakukan revitalisasi dan reaktualisasi pemahaman
terhadap Pancasila dengan melakukan penyegaran materi sosialisasi, pelurusan
sejarah Pancasila, hingga penyegaran metode sosialisasi dan pedagogi
Pancasila.
Kedua, mengembangkan
kerukunan (inklusi sosial) di tengah masyarakat melalui penumbuhan budaya
kewargaan berbasis nilai-nilai Pancasila, serta penguatan dialog lintas
agama, suku, ras, dan golongan.
Ketiga, mendorong
terwujudnya keadilan sosial melalui perumusan sistem ekonomi dan pembangunan
berbasis nilai-nilai Pancasila, serta perajutan kemitraan ekonomi demi
terbangunnya praktik ekonomi berkeadilan sosial.
Keempat, menguatkan
internalisasi nilai-nilai Pancasila ke produk perundang-undangan, kebijakan
publik serta lembaga kenegaraan dan kemasyarakatan. Kelima, menumbuhkan,
mempromosikan, dan mengapresiasi keteladanan agen-agen kenegaraan dan
kemasyarakatan dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila.
Dari jalur pemahaman
diharapkan bisa mengarah pada Indonesia cerdas kewargaan. Jalur kerukunan
mengarah pada Indonesia bersatu. Jalur keadilan mengarah pada Indonesia
berbagi sejahtera. Jalur pelembagaan mengarah pada Indonesia
tertata-terlembaga. Jalur keteladanan mengarah pada Indonesia terpuji.
Pesan moral
Peringatan Hari
Lahir Pancasila tahun ini momen istimewa sebagai wahana refleksi diri karena
persentuhannya dengan berbagai peristiwa keagamaan dan kebangsaan. Umat Islam
sedang menjalankan ibadah puasa, dan umat Buddha merayakan Trisuci Waisak.
Rangkaian perayaan Hari Lahir Pancasila, yang dimulai 1 Juni hingga 18
Agustus 2018, juga bersentuhan dengan momen padat politik pilkada di sejumlah
wilayah serta menjelang Pemilu 2019. Kita juga akan menyongsong Hari
Kemerdekaan RI serta penyelenggaraan Asian Games.
Pesan moral dari
semua peristiwa dan peringatan ini adalah seruan untuk menggelorakan semangat
bersatu, berbagi, dan berprestasi. Bersatu artinya kita kembangkan kembali
spirit Bhinneka Tunggal Ika. Keragaman yang terbentang sepanjang garis
khatulistiwa tak boleh jadi alasan untuk saling membenci, tetapi justru
menjadi daya perekat bangsa. ”Bersatu dalam keragaman dan beragam dalam
persatuan”.
Untuk itu, kita
harus memperkuat kecerdasan kewargaan dengan mengasah nalar etis dan bela
rasa dalam wujud ”kebajikan kewargaan” (the virtue of civility), yakni rasa
pertautan dan kemitraan di antara ragam perbedaan serta kesediaan untuk
berbagi substansi bersama, melampaui kepentingan kelompok, untuk kemudian
melunakkan dan menyerahkannya secara toleran kepada tertib sipil.
Berbagi artinya kita
kembangkan etos kepedulian, welas asih. Satu sama lain menjadi saudara dari
keluarga besar keindonesiaan. Berbagi sejatinya merupakan sari pati
nilai-nilai Pancasila itu sendiri, yakni gotong royong. Dalam berbagi ada
semangat saling memberi dan menerima; berat sama dipikul, ringan sama
dijinjing; menyelesaikan persoalan lewat musyawarah dan mufakat.
Di dalamnya
tersimpan pula makna yang senantiasa harus kita aktifkan: menebarkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahwa setiap warga negara dijamin hak
hidup, hak milik, dan kehormatannya, dengan pelayanan publik yang setara.
Berprestasi
merupakan wujud aktualisasi kebebasan positif, dalam rangka mengembangkan
potensi insani dan potensi kolektif bangsa, dalam usaha mencapai cita-cita
nasional. Berprestasi menjadi hal penting bagi semangat kita untuk terus
memberikan karya dan pelayanan terbaik bagi masyarakat, bangsa, bahkan
kemanusiaan secara global.
Di tengah kondisi
bangsa yang sedang diuji letupan konflik akibat benturan kepentingan dan
pemahaman; seruan bersatu, berbagi, dan berprestasi, menjadi ajakan yang tak
hanya mendamaikan, tetapi juga mengajak kita keluar dari kemelut pertikaian
menuju prestasi positif bagi kemajuan bangsa.
Atas dasar itu, tema
peringatan Hari Lahir Pancasila tahun ini adalah ”Kita Pancasila: Bersatu,
Berbagi, dan Berprestasi”. Melalui tema ini, kita diingatkan bahwa kesaktian
Pancasila perlu perhatian simultan terhadap masalah persatuan dan keadilan.
Kita tak bisa memperjuangkan persatuan dengan mengorbankan keadilan;
sebaliknya, tak bisa memperjuangkan keadilan dengan mengorbankan persatuan.
Keduanya ibarat sepasang sayap garuda yang harus bergerak secara serempak.
Pokok pikiran
pertama Pembukaan Konstitusi Proklamasi menggariskan misi (fungsi) negara
untuk ”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dengan berdasar atas persatuan, dengan mewujudkan keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia”.
Dalam Pancasila,
sila kerakyatan didahului dengan sila persatuan, dan diakhiri oleh sila
keadilan. Itu berarti, tanpa prasyarat integrasi nasional, mengembangkan
demokrasi ibarat menegakkan benang basah. Saat yang sama, demokrasi yang
tidak mendorong keadilan sosial malah memperluas kesenjangan sosial, bisa
melahirkan frustrasi sosial yang bisa berbalik menikam demokrasi.
Hanya dengan
menguatkan semangat bersatu dan berbagi kita bisa meraih prestasi kehidupan
bangsa di berbagai bidang. Prestasi dalam mewujudkan cita-cita nasional
menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Prestasi
dalam kerangka persetujuan menghadirkan kemaslahatan-kebahagiaan hidup
bersama. Ini impian kita bersama, sebagaimana diwakili tekad Bung Hatta, ”Aku
ingin membangun dunia di mana semua orang merasa bahagia di dalamnya.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar