Menggali
Etos Kerja Pancasila
M Alfan Alfian ; Direktur Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional;
Pengurus Pusat HIPIIS
|
KOMPAS,
02 Juni
2018
Negara
Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! … Gotong royong
adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan … Gotong royong
adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan
bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat
kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama. Itulah
Gotong-royong! Bung
Karno dalam Pidato 1 Juni 1945
Kutipan di atas setidaknya
menegaskan bahwa Bung Karno telah memberi pandangan khusus bahwa etos kerja
bangsa Indonesia ialah gotong royong. Hakikat gotong royong adalah kerja sama
yang dinamis, demi kepentingan bersama. Oleh karena itulah, Bung Karno
memaknainya lebih dari sekadar kekeluargaan yang dinilainya statis. Apa yang
dikemukakan Bung Karno ini, terkesan jalan tengah atas polemik panjang
polemik kebudayaan, yang mencakup pula soal etos kerja bangsa. Polemik
kebudayaan itu berkembang pada 1930-an antara Sutan Takdir Alisjahbana (STA)
dengan sejumlah tokoh intelektual yang lain.
STA menawarkan agar etos kerja
bangsa Indonesia seperti bangsa Barat. Titik berangkat etos kerja bangsa
Barat ialah individualisme, bukan kolektivisme. Semangat berusaha pun
berangkat dari etos individu yang dinamis untuk memenangi persaingan. Api
bangsa Barat menyala kuat di atas intelektualisme, individualisme, egoisme,
dan materialisme. Bagi STA, jiwa Barat itu harus kita ambil, “jiwa nrimo”
harus ditolak.
Di sisi lain, penolak gagasan STA
menekankan gagasan pentingnya kolektivisme, gotong royong, dan kekeluargaan
sebagai sesuatu yang diyakini sebagai jiwa bangsa yang telah melekat erat
sejak zaman nenek moyang. Di antara mereka bahkan mengilustrasikan
kebesaran-kebesaran ragam kerajaan
Nusantara tempo dulu. Filosofi nenek moyang lebih diyakini lebih mulia
ketimbang bangsa Barat yang terbelenggu materi dan keserakahan menjajah
bangsa lain.
Oleh karena, menurut mereka,
bangsa Barat bukanlah contoh model yang perlu ditiru. Api atau jiwa bangsa
pun harus digali dari akarnya di bangsa sendiri.
Kendati tidak ikut langsung dalam
polemik, Bung Karno tampak sangat menghargai gagasan yang kedua, bahwa api
Indonesia harus digali dari akarnya di bangsa sendiri. Akan tetapi, di sisi
lain ia cenderung tidak menolak perlunya bangsa ini dinamis. Di sini tampak
pandangan Bung Karno seolah menjadi jalan tengahnya, hadirlah konsep “gotong
royong adalah paham yang dinamis”.
Kolektivisme, karena itu, lebih
merupakan dasar pergerakan bangsa yang dinamis.. Dinamisasi kolektif ini
tentu berbeda dengan dinamisasi individualisme atau egoisme. Dinamisasi
kolektif membutuhkan kebersamaan, yang dalam bahasa Bung Karno sebagai
“pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan
bantu-binantu bersama” dalam bingkai ‘amal semua buat kepentingan semua’ atau
‘kebahagiaan semua’.”
Gotong
royong dinamis
Apakah gotong royong yang dinamis
itu bukan sesuatu yang kontradiktif? Bukankah gotong royong yang
mempersyaratkan kebersamaan antarentitas yang berbeda-beda itu, dalam logika
ekonomi liberal lebih susah ketimbang menyelenggarakan kerja yang berbasis
individualisme?
Dalam kaitan ini perlu kiranya
kita menggali kembali hakikat gotong royong yang dinamis itu, lalu mengaitkan
relevansinya untuk zaman kita. Dalam perspektif konstitusi, gagasan Bung
Karno itu berimpitan dengan gagasan Bung Hatta, bapak bangsa (the founding
fathers) lainnya, yang juga jelas-jelas mengakomodasi prinsip gotong royong
dan kebersamaan dalam berekonomi.
Hal itu lantas tercermin pada
Pasal 33 UUD 1945. Pada Ayat 1 pasal itu ditegaskan “Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar
atas asas kekeluargaan”. Ayat-ayat selanjutnya menunjukkan
relevansinya dengan ayat tersebut.
Pembahasan mengenai ekonomi
Pancasila yang belakangan ini merebak kembali, tentu tak dapat dilepaskan
dari perspektif konstitusi. Berbagai pandangan mengemuka dalam kajian ekonomi
Pancasila justru ketika hakikat kegotongroyongan dalam berekonomi
diinterpretasi dan reinterpretasikan. Ada yang lebih bertumpu pada
semangatnya, ada pula yang menitikberatkan bentuk usaha atau kelembagaannya.
Namun, yang sama-sama disepakati,
ekonomi Pancasila merupakan kegiatan ekonomi yang dilandasi etos kerja dalam
bingkai nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila Pancasila. Nilai-nilai
itulah yang membedakan dengan semata-mata etos kerja kapitalisme atau
liberalisme ekonomi. Etos kerja Pancasila memang sarat nilai, yakni
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan sosial. Etos
kerja Pancasila, karena itu, bukanlah etos kerja tanpa arah yang berpotensi
menghalalkan segala cara dengan mengabaikan nilai-nilai adiluhung.
Dalam konteks “gotong royong yang
dinamis” sebagai etos kerja Pancasila, sinergisitas antarelemen bangsa mutlak
adanya. Tentu saja sinergisitas atau kerja sama dimaksud bukanlah sesuatu
yang bekerja secara otomatis, kecuali dalam bingkai kebersamaan dan persatuan
Indonesia.
Dalam konteks ini, masalah
keragaman atau pluralisme bangsa justru menjadi kekuatan, mengingat satu sama
lain saling menopang dan melengkapi. Namun, hal tersebut tidak akan tercapai
manakala aspek manusia serta sistem kelembagaannya bermasalah, mengingat
gerak kegotongroyongan tidak dapat dilepaskan dari keduanya.
Negara
dan masyarakat
Aspek manusia jelas terkait dengan
konteks manusia Pancasila. Kendati cukup abstrak dalam menggambarkan
bagaimana manusia Pancasila, tetapi ia terkait dengan komitmen nilai-nilai
dan kualifikasi sumberdaya. Oleh karena itu, tak berlebihan manakala ia
dikaitkan dengan disiplin asketis atau spiritual (mesu budi) yang mendorong
tindakan kemanusiaan, persatuan dan persaudaraan, musyawarah untuk konsensus
atau mufakat, serta ikhtiar perwujudan keadilan sosial. Untuk itu, selain
berbudi luhur atau mulia, perlu kompetensi, keunggulan, dan kemampuan yang
mumpuni untuk merespons tantangan.
Aspek sistem kelembagaan tidak
kalah rumit: bagaimana ia harus mengakomodasi, kalau bukan menjadikan bagian
integral prinsip gotong royong dan kebersamaan agar operasional. Dari sini
muncul peluang merekonstruksi—bahkan memperbarui—sistem kelembagaan berdasar
prinsip-prinsip konstitusi sehingga selaras zaman.
Peran negara sebagai penentu
regulasi sangatlah penting. Negara membuat regulasi yang dibingkai
nilai-nilai Pancasila, tanpa harus mematikan aspek-aspek dinamis kompetisi
dunia usaha. Negara mengatur agar persaingan ekonomi dan bisnis berjalan
seimbang dan adil, tidak membiarkan segalanya berjalan secara bebas (free
fight liberalism).
Di sisi lain, masyarakat, termasuk
golongan pengusaha, mutlak harus memiliki etos kerja dan kerja sama tinggi,
jujur, benar-benar bekerja keras dalam suatu iklim persaingan usaha yang
kondusif. Tulisan ini bisa dikembangkan lagi, akan tetapi intinya adalah
bagaimana etos kerja bangsa justru kita gali dari Pancasila. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar