Radikalisme
di Sekolah Swasta Islam?
Dipa Nugraha ; Ketua PCIM Muhammadiyah Australia 2015-2017; Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah
Surakarta, Kandidat PhD Monash University Australia
|
REPUBLIKA,
26 Mei
2018
Tulisan Agus Mutohar di The Conversation yang terbit daring
dalam bahasa Indonesia pada tanggal 16 Mei 2018 lalu dan berturut baru
kemudian edisi berbahasa Inggrisnya muncul di situs yang sama kemudian di The
Jakarta Post sungguh menarik. Di dalam tulisan itu, teman saya Agus Mutohar
menjabarkan tiga tipe sekolah swasta Islam yang rentan terhadap persebaran
radikalisme berdasarkan temuan penelitian yang ia terlibat di dalamnya terkait
dengan ekstremisme keberagamaan.
Tetapi sebelum menuju
kepada hasil temuan penelitian tersebut, Agus Mutohar membuka tulisannya
dengan penjabaran dari temuan tiga buah survei yang dilakukan oleh Wahid
Institute, Pusat Pengkajian Islam Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah, dan
Setara Institute berkenaan dengan intoleransi beragama di sekolah-sekolah
negeri (bukan sekolah swasta Islam) yang menghasilkan semacam kesimpulan
bahwa “sekolah-sekolah di Indonesia menjadi lahan tumbuh suburnya paham
esktemisme” yang membuat usaha pemerintah memerangi terorisme dan penyebaran
paham radikal terbentur oleh realitas “terjadinya penyebaran paham
intoleransi dan paham radikalisme di lembaga pendidikan Indonesia.”
Ia meyakini berdasar
temuan-temuan tersebut bahwa adanya pemfasilitasian “sikap intoleransi dan
paham radikal di lembaga pendidikan yang bisa berujung pada tindakan
terorisme” hingga bahasan temuan penelitian ia dan kawan-kawannya tentang
“keberhasilan mengidentifikasi tiga tipe sekolah [swasta Islam] yang rentan
terhadap paham-paham radikal,” yakni sekolah tertutup (closed schools),
sekolah terpisah (separated schools), dan yang ketiga adalah sekolah yang
mengajarkan identitas Muslim yang murni (schools with pure Islamic identity).
Tulisan saya ini hendak
mengkritik tulisan Agus Mutohar tersebut berdasarkan pembacaan cermat atas
tiga hasil survei yang menjadi rujukannya di dalam konteks “lahan tumbuh
suburnya ekstremisme … yang mengkhawatirkan” dan keberhasilan penelitian yang
dilakukannya di dalam mengidentifikasi tipe sekolah yang rentan terhadap
radikalisme di dalam konteks hambatan usaha pemberantasan terorisme oleh
pemerintah.
Survei pertama adalah
survei dari Wahid Institute yang dilakukan pada Juli-Desember tahun 2014 di
lima sekolah menengah negeri di Jabodetabek yang melibatkan 500 pelajar.
Pembahasan hasil survei ini dipublikasikan 23 Maret 2015 di laman Wahid
Institute lewat sebuah artikel beserta
“data menarik” bahwa: “Dari 306 siswa, yang tak setuju mengucapkan
hari raya keagamaan orang lain seperti mengucapkan selamat natal 27 persen,
ragu-ragu 28 persen.”
Kemudian yang berikutnya
adalah survei dari Pusat Pengkajian Islam Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah
yang terbit secara daring di laman Tirto bertanggal 8 November 2017. Di dalam
hasil survei yang disiarkan di Hotel Le Meridien, Jakarta, pada tanggal 8
November 2017 ini dikemukakan bahwa dari 1.522 siswa dan 337 mahasiswa
generazi Z (lahir tahun 1995 ke atas) di 34 provinsi yang dipilih secara
acak: “terdapat 51,1 persen responden mahasiswa/siswa beragama Islam yang
memiliki opini intoleran terhadap aliran Islam minoritas, yang dipersepsikan
berbeda dari mayoritas, seperti Ahmadiyah dan Syiah. Selain itu, 34,3 persen
responden yang sama tercatat memiliki opini intoleransi kepada kelompok agama
lain selain Islam.”
Survei ini juga
menyuguhkan temuan bahwa: “sebanyak 54,87 persen generasi Z mencari
pengetahuan agama melalui internet, seperti blog, website dan media sosial.”
Sementara itu, rujukan
ketiga adalah survei dari Setara Institute yang dilakukan di Jakarta dan
Bandung Raya di tahun 2016 yang berjudul “Laporan Survei Toleransi Siswa SMA
Negeri di Jakarta & Bandung Raya”. Setara Institute mengukur kadar
toleransi dengan merujuk dari definisi toleransi dari Little (2008) sebagai
sublimated disaproval dan Andrew Cohen (2004) “tindakan yang disengaja oleh
seseorang untuk menahan diri terhadap urusan dalam mencampuri pihak yang
berlawanan (tingkah laku dan sebagainya) dalam situasi yang berbeda. Di mana
orang tersebut percaya bahwa ia memiliki kekuatan untuk ikut campur” tetapi
kemudian rujukan definisi tadi dimodifikasi untuk mengakomodasi penciptaan
dua istilah baru: intoleransi pasif dan intoleransi aktif.
Intoleransi pasif adalah,
menurut Setara Institute, adalah sikap puritan yang mengajarkan bahwa
keyakinannya paling benar. Sementara intoleransi aktif adalah “selangkah
lebih ekspresif dari intoleransi pasif” yang membuka jalan ekspresi lewat
kekerasan untuk menunjukkan ketidaksetujuannya (hlm. 5).
Survei Setara Institute
yang melibatkan 760 siswa dari 171 sekolah di Jakarta dan Bandung Raya ini
menghasilkan temuan bahwa 87,8 persen siswa menggunakan internet untuk
menambah pengetahuan mengenai agama tetapi hanya 2,2 persen saja yang
mendiskusikan agama lewat media sosial atau internet. Meskipun demikian, 39,9
persen responden mengaku bahwa pengetahuan agama paling besar diperoleh dari
guru agama sekolah, kemudian 23,2 persen dari orang tua, dan dari pengajian
hanya 9,6 persen sementara 19,7 persen responden mengaku bahwa internet
menjadi penyumbang pengetahuan keagamaan terbesar.
Penelitian Setara
Institute juga menguak bahwa 81,5 persen responden “menghormati perbedaan dan
menjaga tidak terjadi konflik” meskipun muncul temuan lain bahwa 97,1 persen
responden yang memiliki sikap “intoleran pasif.” Sementara mengenai
kebersediaan berkawan dengan mereka yang berbeda agama didapati ada pada 95,5
persen responden, bersedia menolong mereka yang berbeda agama sebanyak 97,1
persen dari responden (2,2 persen tidak
menjawab atau memilih tidak tahu). Di dalam kesimpulan, Setara Institute
mengatakan bahwa “terdapat (61,6 persen) siswa yang toleran, (35,7 persen)
yang intoleran pasif/puritan, (2,4 persen) yang intoleran aktif/radikal, dan
(0,3 persen) yang berpotensi menjadi teroris.” (hlm. 32).
Kritik terhadap tulisan
Agus Mutohar tentu saja saya mulai dari pemaknaan dan penggunaan hasil tiga
survei berkenaan dengan sikap intoleransi.
Pada temuan survei Wahid Institute, misalnya, pelabelan sikap
intoleransi ditakar dengan “tidak mau mengucap hari raya keagamaan lain”
menjadi fokus dari laporannya adalah sesuatu yang bermasalah. Di dalam ajaran
Islam, toleransi terhadap umat beragama lain memiliki kaidah-kaidah tertentu
yang mungkin berbeda dengan toleransi ala umat lain dan juga berbeda di dalam
pandangan ideologi multikulturalisme pluralisme.
Di dalam ideologi
multikulturalisme pluralisme ada semacam pembakuan bahwa apa yang berlaku di
agama A harus juga bisa berlaku di agama B. Padahal, di dalam praktiknya,
pandangan ini tidak selalu bisa diterapkan pada semua agama. Di dalam Islam,
mengucapkan hari raya kepada umat lain terdapat perbedaan pendapat walaupun
pendapat jumhur malah menghindari praktik seperti itu. Sementara tidak
mengganggu perayaan agama lain, disepakati di dalam Islam untuk dipraktikkan.
Jadi, ada isu serius ketika menggunakan pendekatan multikulturalisme dan
pluralisme di dalam menilai toleran tidaknya suatu ajaran agama hanya
bersebab “tidak mau mengucapkan hari raya keagamaan lain” dengan melupakan
aspek lain dari praktik toleransi Muslim.
Penelitian dari UIN Syarif
Hidayatullah juga problematik. Selain tidak mendukung alur tulisan Agus
Mutohar mengenai persebaran paham radikalisme yang seolah terjadi di
sekolah-sekolah sebab hampir 90 persen responden menambah pengetahuan agama
justru dari internet dengan 19,7 persen mengaku bahwa sumber utama
pengetahuan agama mereka justru dari internet. Juga tidak terdapat kejelasan
di dalam laporan itu mengenai makna opini intoleransi terhadap sekte yang
disebut sesat dan kepada agama lain.
Sebab, di dalam agama yang
diakui sebagai agama resmi di Indonesia, tidak hanya di dalam Islam saja
tetapi di dalam Kristen kita mengenal sekte yang dianggap sesat seperti
misalnya dulu kita mengenal aliran Pondok Nabi dari Sekte Hari Kiamat di
dalam agama Kristen, atau misalnya di dalam tradisi Kekristenan hingga kini
terdapat pandangan yang negatif terhadap gereja Saksi Yehova, Mormon,
Christian Science, dan Children of God.
Di Hindu di Indonesia baru
saja kita temui sekitar dua tahun kemarin kasus I Wayan Arka yang dianggap
sesat, atau di dalam agama Budha kita juga bisa kita dapati kontroversi
Dhammakaya. Tentu konteks keberagamaan dengan dinamika ajaran arusutama dan
yang dianggap sesat atau menyimpang bisa terjadi dan menurut saya negara
hanya bisa melakukan intervensi dalam bentuk edukasi terhadap publik akan
perlunya sikap toleran untuk menahan diri dari tindak intervensi dan atau
persekusi sebagaimana Cohen (2014) sampaikan. Sebab, hak warga negara di
dalam keberagamaan mendapatkan jaminan konstitusi, bahkan ketika tidak sesuai
dengan ajaran mainstream.
Jika definisi intoleransi
yang dipakai misalnya memakai definisi yang mirip dengan definisi yang
dipakai oleh Setara Institute bahwa opini intoleran melekat pada mereka yang
masuk pada kategori “intoleran pasif,” maka permasalahannya malah pada
pendefinisian intoleran pasif. Definisi intoleran pasif menurut Setara
Institute merujuk kepada mereka yang merasa agamanya sendiri yang paling
benar tetapi tidak ada kecenderungan untuk mengekspresikan lewat kekerasan
terhadap realitas adanya perbedaan di antara manusia. Definisi toleransi yang
seperti itu hanya memberikan label toleran bagi mereka yang tidak merasa
bahwa agamanya sendiri yang paling benar.
Definisi yang dipakai
Setara Institute berparadigma pluralisme dan ini bertentangan dengan definisi
iman di setiap agama. Beriman dan memilih jalan keselamatan berbeda dengan
kenisbian beriman ala pluralisme. Pandangan pluralisme mengajarkan bahwa
perwujudan Tuhan bisa beraneka rupa dan semua agama adalah jalan menuju ke
tempat yang sama. Jika misalnya ide pluralisme ini mengekor pada pemikiran
John Hick yang terkenal dengan kisah gajah dan tiga orang buta-nya di dalam
menjelaskan perbedaan manusia meraba Tuhan, maka sesungguhnya ini sudah
dibantah lewat tulisan filosofis yang bagus oleh salah satu teolog seminari
terkemuka Amerika Serikat, Keith E Johnson.
Penggunaan istilah
“intoleran” kepada yang bukan penganut pluralisme meskipun dengan penambahan
“pasif” untuk menunjukkan bahwa mereka tidak cenderung mengekspresikan iman
mereka dengan kekerasan sendiri menunjukkan keragu-raguan pemakaian istilah
kepada “mereka yang beragama tetapi tidak memiliki kecenderungan melakukan
tindak kekerasan terhadap liyan dan bukan pluralis.” Gaya pemakaian istilah
ini, menurut saya, sangat tidak elok.
Jadi misalnya Agus Mutohar
memakai tiga survei di sekolah-sekolah negeri tersebut (sekali lagi, bukan di
sekolah-sekolah Islam atau swasta Islam) sebagai rujukan adanya sikap
intoleransi yang mengkhawatirkan di antara siswa di Indonesia maka tergantung
dari sudut pandang manakah ia mengambil definisi toleransi dan intoleransi.
Jikalau Agus Mutohar hendak memakai pendefinisian menurut sudut pandang
ideologi multikulturalisme pluralisme maka argumennya mengalami
keberterimaan.
Akan tetapi argumen itu
tidak mempunyai keberterimaan jika memakai sudut pandang non ideologi
multikulturalisme pluralisme. Belum lagi jika kita misalnya berbicara tentang
adanya perbedaan antara sikap intoleran yang berujung kekerasan dengan
ideologi terorisme yang menghasilkan tindakan terorisme.
Kemudian identifikasian
tiga tipe sekolah swasta Islam yang rentan terhadap penyebaran paham radikal
sendiri, jika mengikuti gambaran umum dari pemaparan pendek Agus Mutohar dari
hasil penelitian yang ia terlibat di dalamnya di dalam artikel itu, perlu juga
dipertanyakan.
Misalnya pada sekolah tipe
pertama (closed schools), pertanyaannya bisa menjadi apakah pembenturan
peradaban antara Barat dengan Islam meniscayakan penyemaian bibit terorisme?
Selain istilah benturan antarperadaban diperkenalkan justru oleh Samuel
Huntington, seorang politisi dan akademisi penasehat kebijakan Amerika
Serikat di dalam memprediksi apa yang mungkin dihadapi oleh Amerika Serikat
dan sekutunya negara barat selepas usainya Perang Dingin, istilah ini juga
menyebutkan tujuh peradaban lain yang dianggap perlu digarap di dalam
penataan ulang World Order. Ini artinya bahwa diskursus benturan
antarperadaban seusai Perang Dingin bukan eksklusif dan atau dimulai dari
dunia Islam. Lebih dari itu, semangat anti [hal-hal negatif dari] Barat tidak
bisa selalu dikaitkan dengan radikalisme dan terorisme.
Kemudian mengenai tipe
sekolah kedua, yakni sekolah terpisah (separated
school). Pertanyaan yang mengemuka dari pengidentifikasian model sekolah
ini adalah masalah perekrutan guru. Jikasanya identifikasi tipe sekolah ini
didasarkan dari tolok ukur bahwa sekolah ini tidak bisa merekrut guru agama
dari kelompok keagamaan yang berbeda, adalah sesuatu yang problematik.
Pada sekolah swasta Islam
(dan sekolah swasta agama lain), perekrutan guru agama tentu akan bersifat
kaku. Menjadi kurang masuk di akal jika suatu sekolah swasta yang bernapaskan
agama kemudian bisa merekrut guru agama yang berlatar belakang kelompok
agama, aliran, atau denominasi yang berbeda.
Pun, jika misalnya
identifikasi tipe sekolah ini merujuk kepada sekolah yang eksklusif merekrut
guru dari kelompok keagamaannya sendiri, atau katakanlah memprioritaskan
kelompok agamanya sendiri, seharusnya penelitian itu juga melihat kemungkinan
sosiologis bahwa eksklusivitas bisa muncul sebab kebutuhan pemberdayaan
kelompok atau yayasan yang masih kecil dan sangat berbeda untuk dibandingkan
dengan Muhammadiyah atau NU yang sudah sangat besar.
Untuk tipe sekolah yang
ketiga, yaitu sekolah yang mengajarkan identitas Muslim yang murni (schools with pure Islamic identity),
ada kekurangjelasan dengan istilah yang dipakai dengan contoh yang diberikan.
Jika identifikasi tipe ketiga ini berkaitan dengan puritanisme di dalam
keberagamaan, atau di dalam Islam, maka harus pula diketahui bahwa puritanisme
tidak selalu terkait dengan terorisme sebagaimana ia tidak selalu terkait
dengan fundamentalisme dan atau radikalisme.
Jika misalnya yang
dijadikan tolok ukur adalah kekakuan di dalam menerima perbedaan dan itu
dikaitkan dengan terorisme, ini juga problematik. Sebab tidak semua jamaah di
dalam Islam yang kaku di dalam menerima perbedaan memiliki ajaran memberontak
kepada negara bahkan jamaah ini juga tidak bisa dianggap pendukung terorisme
dan penolak usaha pemerintah di dalam memerangi terorisme. Oleh sebab itulah
ada ketidaktepatan di dalam usaha memasukkan karakteristik jamaah tertentu di
dalam kerangka toleransi, intoleransi dan permusuhan kepada negara, jika
memang radikalisme yang dimaksudkan terkait dengan ideologi terorisme.
Kita semua harus mendukung
pemerintah, siapapun presidennya, untuk memerangi terorisme. Melihat bahwa
isu terorisme di Indonesia kebetulan difokuskan kepada terorisme yang
menyimpangkan ajaran Islam, pemerintah harusnya melihat bahwa penduduk
Indonesia yang mayoritas Islam sebagai modal. Pemerintah juga harus sadar
bahwa di Indonesia terdapat banyak sekali ormas dan jamaah keislaman yang
berbeda-beda, sudah berdiri lama dan turut di dalam pendirian dan penjagaan
Republik Indonesia, yang bisa dirangkul di dalam usaha pemberantasan
terorisme.
Meskipun tulisan ini
mengkritik bangunan argumen lewat penggunaan tiga survei lain dan
mempertanyakan temuan penelitian Agus Mutohar dan kawan-kawan terkait
pemetaan tipe sekolah Islam swasta yang rentan terhadap paham radikalisme,
akan tetapi saya sepakat terhadap ide bagus Agus Mutohar untuk “menggunakan
lembaga pendidikan”. Tetapi bukan dalam konteks
menyebarkan definisi toleransi yang ambigu dari Setara Institute sebagaimana
sudah saya bahas tadi, tetapi menjadi tempat vaksinasi para pemuda
dari potensi terlibat terorisme dan imun dari paparan ideologi terorisme.
Karena terorisme yang sedang kita perangi bersama terkait dengan ideologi
yang menyimpangkan Islam maka menjadi keniscayaan bila objek di dalam
vaksinasi ini menurut saya adalah siswa-siswa Muslim.
Saya melihat bahwa
pemerintah Indonesia misalnya bisa memasukkan pelajaran mengenai Islam dan
terorisme di dalam buku pelajaran agama Islam di sekolah rendah. Materinya
tentu bukan sesuatu yang sifatnya jargon dan klise sebagaimana saya lihat
selama ini tetapi justru saya membayangkan bagaimana mengajarkan pemahaman
anti terorisme itu dalam konteks fiqih, sejarah Islam, sejarah lahirnya
ke-Indonesia-an dengan formulasi Pancasila (thesis Saifuddin Anshari yang
berjudul “Jakarta Charter of June 1945” bisa menjadi rujukan yang bagus) yang
mengikat umat Islam dengan umat lain di dalam negara Indonesia, dan sejarah
organisasi teroris di dunia yang menunjukkan bagaimana banyak organisasi
terorisme hanyalah permainan proksi negara-negara besar dunia. Mengikat isu
dari sudut pandang Islam dan pemahaman akan realita terorisme dunia di dalam
melawan terorisme di Indonesia justru menurut saya akan lebih efektif
daripada memakai pendekatan dengan tolok ukur berparadigma dari luar Islam
(ideologi multikulturalisme pluralisme).
Pemerintah sebaiknya tidak
mengadopsi pendekatan stigmatis pluralisme terhadap keberimanan Muslim (atau
umat beragama apapun) di dalam mendefinisikan sikap intoleransi apalagi
misalnya secara jauh kemudian mengaitkannya dengan kerentanan terhadap
ideologi terorisme. Hal ini justru akan bisa membuat jarak antara negara
dengan umat Islam.
Pendekatan stigmatis
dengan cara pandang pluralisme seperti itu tidak hanya kontraproduktif tetapi
justru niscaya menimbulkan resistensi dari umat Islam. Kita semua tahu bahwa
Muslim secara mainstream melihat pluralisme sebagai bentuk ekstrem yang lain
dari penyimpangan pengakuan beriman. Sebagaimana umat beragama lain di
Indonesia, saya yakin, juga demikian melihatnya jika berkenaan dengan keberimanannya.
Sebagai penutup, hal yang
harusnya terbaca oleh kawan saya Agus Mutohar di dalam membaca temuan
survei-survei lainnya adalah mengenai peran internet sebagai sumber pencarian
informasi mengenai agama Islam oleh siswa-siswa usia sekolah. Sudah banyak
penelitian dan temuan yang menunjukkan bahwa internet dipakai oleh teroris di
dalam menyebarkan paham radikalisme mereka dan merekrut anggota baru
sebagaimana diungkapkan oleh ahli terorisme Indonesia kawan saya yang lain,
Noor Huda Ismail.
Saya melihat bahwa
pemerintah harus bekerjasama secara serius dengan “semua ormas-ormas Islam di
Indonesia” yang mendaku antiterorisme di dalam operasi perang siber melawan
persebaran paham radikalisme dan terorisme misalnya di dalam merilis rutin
secara publik temuan situs di dunia maya atau akun di media sosial yang
berkonten radikalisme dan terorisme dengan tanda-tangan perwakilan
ormas-ormas Islam tersebut. Bahkan jika dirasa perlu sebagai edukasi publik
khususnya Muslim di Indonesia, di dalam rilisan tersebut dijelaskan
penyimpangannya menurut pandangan Islam.
Penjelasan yang transparan
di dalam praktik pemasukan seorang pendakwah, sebuah situs, atau sebuah akun
media sosial di dalam kaitan persebaran ideologi terorisme sangat diperlukan
dan bukan memakai definisi toleran-intoleran yang bias tadi, apalagi
memaksakan keniscayaannya dengan ideologi terorisme. Agar tidak ada gaduh
antara pemerintah dengan umat Islam, dan juga tidak gaduh di dalam umat
Islam. Kegaduhan di dalam populasi yang besar sangat tidak baik bagi
pemerintah.
Tentu saja pekerjaan
seperti ini bukan pekerjaan ringan. Akan tetapi di dalam menghadapi kejahatan
luar biasa seperti terorisme, tentu dibutuhkan pengerjaan yang tidak biasa
saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar