Transformasi
Kesadaran
Delusi
Menjadi Kesadaran Murni
Iwan Setiawan ; Pandita dan Staf di Majelis Nichiren Shoshu
Buddha Dharma Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 30 Mei 2018
PERAYAAN Trisuci Waisak
2562/2018 yang mengangkat tema Transformasikan kesadaran delusi menjadi
kesadaran murni, dengan sub tema: Marilah kita bersama-sama berjuang
mengalahkan sang ego. Tema memiliki
makna penting mengingat berbagai fenomena terakhir ini telah menumbuhkembangkan
banyak nilai-nilai delutif. Dianut dan dipercaya, bahkan dilaksanakan sepenuh
jiwa dan raga sebagai kesadaran yang mampu menjadi sumber kebahagiaan.
Sebaliknya, kesadaran murni yang sesungguhnya bersumber dari ajaran Buddha
cenderung terlupakan, tersisih dari keseharian.
Untuk itu, peringatan
Trisuci Waisak ini menjadi penting untuk kita sama-sama menghayati, mengimani
sepenuh hati, dan menjadi sumber kata, perilaku serta pikiran kita dalam
keseharian. Trisuci Waisak ialah perayaan yang mengajak kita menengok kembali
kelahiran, pencapaian kesadaran sempurna sebagai Buddha dan kemoksyaan
beliau. Tiga peristiwa tersebut menyatakan tujuan atau makna dari keberadaan
Buddha untuk manusia dan dunia sepanjang masa.
Dimulai dari kelahiran
beliau sebagai pangeran dari Kerajaan Kapilavastu di India. Ketika dewasa,
setelah menikah dan dikaruniai seorang anak, sang Buddha yang kala itu masih
bernama Siddharta Gautama malah kepincut jadi pengembara sebagai petapa,
belajar berbagai filsafat.
Hal tersebut didorong
pengalamannya menyaksikan 4 peristiwa, yakni kelahiran, orang tua, orang
sakit, dan orang meninggal. Bagai gegar mental, beliau terus bertanya–tanya.
Mengapa sepertinya sejak lahir hingga meninggal manusia hanya menjalani
derita. Buat apa sesungguhnya mengalami kehidupan jika hanya melulu mengalami
derita?
Beliau meninggalkan
istana, keluarga, dan segalanya untuk mencari jawaban atas misteri kehidupan.
Ia pun mengembara ke berbagai tempat, belajar banyak filsafat dari banyak
guru, termasuk menyiksa diri dengan meniadakan makan dan minum, hingga beliau
mencapai kesadaran di bawah pohon Boddhi. Masyarakat memberinya gelar Buddha
Sakyamuni, orang yang memiliki kesadaran, yang berasal dari Sakya.
Apa yang menjadi kesadaran
beliau? Dalam ajarannya yang dibabarkan selama 40 tahun hingga kemudian
beliau moksya, salah satunya disampaikan bahwa sumber bahagia sesungguhnya
ialah bagaimana kita menemukan sumber derita orang lain dan memikirkan serta
mengupayakan membangkitkan kebahagiaan untuk orang tersebut. Konsep ini
disebut maitre karuna.
Melalui Waisak ini kita
diingatkan mengenai kesadaran Buddha yang murni, sesungguhnya ialah ketika
menjadikan kebahagiaan orang lain
sebagai juga kebahagaan kita. Seperti yang dijalankan Pangeran
Siddharta, kita belajar betapa harta, dan takhta tidak lalu membahagiakan
beliau. Justru ketika membabarkan ajaran, berdialog bersama murid dan
penganut mencari solusi hidup, saat itulah beliau mencapai kesadaran.
Keberhasilan pemerintahan
ialah ketika berhasil menciptakan iklim yang menumbuhkan kesejahteraan yang
utuh bagi rakyatnya. Rakyat yang bahagia ialah yang menjalani hari-hari
sebagai siapa saja. Entah itu pedagang, petani, guru, profesional segala
bidang, dan seluruhnya untuk kebahagiaan orang lain. Seperti dokter yang
sepenuh hati menyembuhkan pasien, guru yang mencerdaskan murid hingga
anak-anak muda yang menjaminkan tongkat estafet masa depan yang lebih baik
terjamin.
Trisuci Waisak ini
mengingat dan mengajak kita bahwa pada akhirnya keimanan atau pelaksanaan ‘ritual’
dalam beragama ada justru pada seberapa kita telah membahagiakan orang lain.
Menjadi pemerintah yang mensejahterakan rakyat ialah ibadah. Jadi, rakyat
yang ikut menjaga dan menenteramkan pemerintahan dengan menjadi warga yang
rukun dan saling membangun ialah ibadah.
Namun, akibat hawa nafsu
diri sendiri yang terlalu besar, kita malah terjerat oleh delusi khayalan
yang memabukkan. Mendapati orang lain bahagia kita malah iri. Menyalahkan dan
membenci orang lain karena dianggap sebagai penyebab ketidakbahagiaan kita
dianggap solusi.
Memperkaya diri sendiri
dengan mencuri, jadi jalan yang dianggap mampu membahagiakan. Menjadi
terhormat dan dihargai hanya dengan jalan menjadi lebih kaya atau lebih
segala-galanya jika dibandingkan dengan yang lain, ini semua jelas delusi.
Dengan semangat Trisuci
Waisak, mari kita ubah kesadaran delusi menjadi kesadaran murni. Bahagia,
rasa dihormati atau bangga justru datang dari membahagiakan dan menghargai
serta mengangkat harkat orang lain.
Selamat Waisak! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar