Setelah
AS Mengkhianati Iran
Smith Alhadar ; Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education
|
KOMPAS,
31 Mei
2018
Kendati sudah diprediksi, mundurnya AS dari
Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) atau kesepakatan nuklir Iran tetap
saja mengagetkan. Pasalnya, kesepakatan nuklir Iran dibuat antara Iran dengan
AS, Rusia, Inggris, Perancis, China, dan Jerman setelah negosiasi
bertahun-tahun.
Dalam kesepakatan ini, Iran menyetujui
membatasi pengayaan uranium dan berjanji tidak akan membuat bom nuklir selama
10 tahun dari sejak kesepakatan ditandatangani, 2015. Sebagai imbalan, sanksi
ekonomi internasional dicabut.
Presiden AS Donald Trump sejak awal
mengkritik JCPOA, karena dianggap terlalu menguntungkan Iran. Pencairan dana
milik Iran 110 miliar dollar AS yang dibekukan bank-bank negara Barat dan
keleluasaan Iran mengekspor minyak dianggap meluaskan pengaruh Iran.
Arab Saudi dan Israel mendukung Trump
membatalkan kesepakatan. Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin
Salman (MBS), yang sangat dekat dengan Israel, mendesak Trump
menjatuhkan sanksi pada Iran.
Senjata
nuklir
April lalu, di televisi Perdana Menteri
Israel Benjamin Netanyahu, mengklaim bahwa intelijen Israel menemukan puluhan
ribu dokumen, bukti Iran masih membuat senjata nuklir. Hal ini mengingatkan
kita pada pernyataan bohong Perdana Menteri Inggris Tony Blair, 2003, bahwa
Irak di bawah Presiden Saddam Hussein dapat membuat senjata kimia dalam waktu
45 menit.
Terkait pernyataan Netanyahu, Gedung Putih
secara resmi menyatakan, AS sepakat dengan Netanyahu. Gedung Putih tampaknya
sedang mencari legitimasi untuk menghukum Iran.
Namun, presentasi Netanyahu mendapat
tanggapan minor termasuk dari UE, China, Rusia, dan IAEA. IAEA menyatakan
tidak ada bukti kuat yang menunjukkan Iran sedang mengembangkan senjata
nuklir.
Hal yang sama dinyatakan Inggris, Perancis,
dan Jerman. Mereka bahkan meminta AS mempertahankan kesepakatan karena tidak
ada alternatif yang tersedia. Mundur dari JCPOA bisa memicu konflik militer
saat Timur Tengah tak lagi mampu mendukung perang baru.
Tuduhan bahwa Iran memainkan peran
destabilisasi kawasan tidak seluruhnya benar. Faktor destabilisasi utama
Timur Tengah adalah isu Palestina di mana Israel terus melanggar sejumlah
resolusi PBB. Israel pun tidak memiliki otoritas dalam hal senjata nuklir
karena tidak menandatangani Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT) dan
memiliki 200-an hulu ledak nuklir.
Pemerintahan Trump bahkan ikut mendestabilisasi
Timur Tengah dengan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel yang diikuti
pemindahan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Hal ini bertentangan
dengan semua hukum internasional dan mencederai proses perdamaian
Israel-Palestina.
Ada beberapa alasan mengapa AS, Israel, dan
Arab Saudi memusuhi Iran. Pertama, Saudi kalah pengaruh dari Iran di kawasan.
Pasca-invasi AS ke Irak pada 2003, Irak menjadi rebutan Iran dan
negara-negara Arab Teluk. Iran menang setelah AS menarik pasukan dari Irak 2011.
Arab Teluk pun kalah setelah proksi mereka,
yang umumnya kalangan Arab Sunni, lenyap digantikan kelompok Negara Islam di
Irak dan Suriah (NIIS). Di Suriah,
Iran bersama Rusia semakin jauh menanam pengaruh setelah kelompok oposisi
dukungan Saudi, Turki, dan AS, kedodoran menghadapi pasukan rezim Presiden
Bashar al-Assad dukungan militer Iran dan Rusia. Saudi juga gagal
menyingkirkan Hezbollah—dukungan Iran—di Lebanon, dari pemerintahan.
Bahkan, sekutu Saudi Perdana Menteri Saad
al-Hariri, tidak akan terpilih lagi sebagai perdana menteri karena perolehan
suara partainya (Gerakan Masa Depan) anjlok dalam pemilu 6 Mei lalu.
Di Yaman, kendati sudah lebih tiga tahun
Saudi memimpin koalisi Arab memerangi milisi Houthi dukungan Iran, sampai
saat ini tidak ada tanda-tanda Houthi akan menyerah. Komunitas internasional
malah semakin kuat menekan Saudi agar mengakhiri perang di negara termiskin
di Jazirah Arab itu.
Mendukung Palestina
Kedua, Iran menentang hegemoni AS di
kawasan, menolak eksistensi Israel, dan mendukung perjuangan bersenjata
Palestina. Iran berhasil menarik simpati masyarakat Muslim global dan membuat
Jalur Gaza tetap bergolak. Simpati ini akan meluas saat AS menyodorkan
“kesepakatan abad ini” yang didukung Saudi di mana Palestina kehilangan Yerusalem
Timur, sebagian Tepi Barat, dan tertolaknya pengungsi Palestina kembali ke
kampung halaman.
Ketiga, menciptakan pasar senjata di Timur
Tengah. Negara-negara Arab Teluk, khususnya Saudi menghabiskan puluhan miliar
dollar AS per tahun untuk belanja militer dengan dalih menghadapi ancaman
Iran. Tahun lalu Saudi merupakan negara dengan belanja militer terbesar
ketiga setelah AS dan China. AS pemasok terbesar ke Saudi.
Keempat, upaya perubahan rezim di Iran.
Dengan sanksi ketat atas Iran, Trump berharap pada akhirnya Teheran bersedia
menerima perubahan JCPOA. Terlebih, rakyat Iran kini sedang menghadapi
ekonomi sulit.
Akhir Desember sampai awal Januari, rakyat
Iran sampai berdemonstrasi di 80 kota, menuntut pemerintah berhenti membantu
Suriah 6- 20 miliar dollar AS per tahun, jumlah yang besar untuk Iran.
Untuk mengganti rezim Iran, Washington
mengandalkan Mujahidin-e Khalq (MEK), oposisi Iran di pengasingan pimpinan
Maryam Rajavi. Sebenarnya, MEK yang berideologi Islam-Marxis merupakan musuh
AS sejak zaman Shah Iran. Namun, pada 2012 di masa pemerintahan Presiden
Barack Obama, AS merangkul MEK yang berbasis di Perancis.
Trump ingin menambahkan persyaratan baru ke
dalam JCPOA, yakni Iran menghentikan program rudal balistiknya, IAEA
memperoleh akses tak terbatas terhadap seluruh area di Iran, termasuk area
militer, dan pembatasan program nuklir Iran dibuat permanen.
Perubahan ini tidak dapat diterima Iran.
Memang tidak masuk akal menghentikan program rudal balistik Iran saat AS dan
sekutunya menimbun kekuatan militer di Teluk Persia, Laut Tengah, dan Turki.
Apalagi Israel mengancam menyerang Iran.
Menghadapi mundurnya AS dari JCPOA, ada dua
respons yang akan diambil oleh Teheran. Pertama, Iran tetap patuh pada kesepakatan. Ini
karena Inggris, Perancis, dan Jerman berpihak padanya, selain Rusia dan
China. Tindakan ini akan mengisolasi AS dan menarik simpati internasional.
Sebagai upaya membujuk Iran agar tetap dalam kesepakatan, Eropa mengusulkan agar kerja sama perdagangan
non-militer tetap berlanjut.
Teheran menyetujui inisiatif Eropa ini
meski menyadari hal itu tidak mudah karena sistem keuangan global saat ini
sangat terkoneksi satu sama lain. Hampir mustahil pihak mana pun di dunia
melanjutkan bisnis dengan Iran tanpa risiko melanggar sanksi yang diterapkan
AS.
Kedua, kalau ternyata dengan tetap
berkomitmen pada kesepakatan dan ekspektasi Iran tidak terpenuhi, Iran akan
mencampakkan JCPOA dengan mengambil jalan keras. Tetapi aksi ini akan membuka
jalan bagi terjadinya perang. AS, Israel, dan Saudi tidak akan menoleransi
Iran memiliki senjata nuklir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar