Sabtu, 12 November 2016

Mozaik Keindonesiaan Tercabik

Mozaik Keindonesiaan Tercabik
Komaruddin Hidayat  ;   Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
                                              KORAN SINDO, 11 November 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Judul di atas lebih merupakan kekhawatiran, bukan potret realitas sosial. Ini diawali munculnya isu SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) dalam ruang publik yang bergerak ke panggung politik kenegaraan.
Negara ditata dan diatur secara rasional di atas sekat-sekat SARA, sementara ruang publik dan media sosial dipenuhi emosi suku dan keagamaan.

Perbedaan dan gesekan suku dan agama dalam tataran masyarakat lalu didesakkan naik ke panggung kenegaraan dengan momentum menjelang pilkada. Celakanya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), salah satu calon Gubernur DKI, entah sengaja atau tidak telah membuka celah bagi kemarahan umat Islam dengan tuduhan menistakan Alquran.

Akibat yang ditimbulkannya pun membesar bagaikan bola salju. Atau bagaikan percikan api yang potensial membakar kota ketika ada pihak-pihak yang sengaja menyiram atau menggelontorkan bahan bakar.

Sekali lagi, ini sebuah kekhawatiran, jangan sampai keharmonisan sosial politik yang telah kita bangun dan jaga dari waktu ke waktu akan rusak berantakan sehingga ekonomi, politik dan budaya kita mundur. Gara-gara sepercik api bisa membakar rumah bangsa yang sedemikian besar dan indah. Gara-gara kesalahan satu orang, pemerintah dan masyarakat dibuat sibuk dan saling berantem. Dalam hal ini diperlukan graceful exit. Jalan keluar yang cerdas, terhormat, dan legawa demi kepentingan bangsa yang jauh lebih besar, dengan tetap menghargai undang-undang atau peraturan yang berlaku di satu sisi dan aspirasi masyarakat pada sisi yang lain.

Situasinya memang agak dilematis. Sebagai negara hukum, pemerintah mesti konsisten dan tegar menegakkan aturan dan kaidah hukum yang berlaku. Siapa pun yang salah dan melanggar hukum mesti diproses secara fair. Dalam hal ini, jika Ahok memang terbukti salah mesti dijatuhi hukuman demi memenuhi rasa keadilan. Namun masyarakat harus pula fair dan legawa, jika pihak penegak hukum menyatakan dia tidak memenuhi bukti melakukan tindak pidana, masyarakat jangan memaksakan pendapat secara tiranik.

Dalam masyarakat yang sedemikian majemuk, sikap toleran, empati, dan kooperatif sangat diperlukan. Begitu pun dalam sebuah pilkada, ada yang melihatnya friendly competition, ada yang menghayatinya sebagai zero-sum game. Siapa pun yang ikut bertanding adalah mitra bagi lawannya dan siapa pun yang kalah sesungguhnya secara moral dia telah berjasa mengantarkan lahirnya sang pemenang. Makanya dalam sebuah kejuaraan, pemenang kedua juga layak mendapatkan hadiah.

Satu hal yang saya khawatirkan adalah jika kita tidak sadar tengah main api yang potensial mencabik-cabik mozaik kebinekaan Indonesia. Sekali sudah tercabik dan melebar, butuh waktu lama untuk merajutnya kembali.

Jika merujuk pada pengalaman di Timur Tengah, bahkan tidak saja robek kohesi sosial yang sudah lama terbangun, malahan pecah berantakan dan sebagian sulit dirajut kembali. Kekuatan asing terlibat masuk yang katanya menolong, padahal sangat mungkin mereka memancing di air keruh. Mereka jualan senjata untuk mendukung industri senjata sebagai sumber devisa negaranya.

Di saat ekonomi dunia melemah, posisi Indonesia termasuk yang mampu bertahan. Kenyataan ini membuat Indonesia menarik investor asing dan pangsa pasar yang menggiurkan bagi negara industri untuk menjual produknya. Kondisi ini bisa jadi membuat negara-negara ada yang kemudian merasa terancam dan tidak happy melihat Indonesia damai, rukun, maju, dan secara ekonomi berusaha mandiri.

Catatan lain yang juga menimbulkan kekhawatiran adalah semakin terbukanya iklim kebebasan untuk berunjuk rasa secara masif bagi mereka yang selama ini merasa terdesak dan terpinggirkan dalam persaingan ekonomi dan politik. Sementara itu terdapat sekelompok kecil etnis, tetapi menguasai mayoritas kue dan aset nasional.

Jadi, menghadapi situasi demikian, tugas negara mesti tegas dan bijak. Jangan sampai didikte oleh emosi massa yang tidak menghargai proses hukum. Dalam sejarah Nusantara, umat Islam punya andil besar dalam melahirkan dan membangun republik sebagai negara hukum sehingga implikasi moral politiknya umat Islam juga harus berdiri paling depan dalam menjaga dan mengawal tegaknya hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar