Merger
BUMN
Rhenald Kasali ; Pendiri
Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
|
KORAN SINDO, 21 Mei 2015
Senin
(18/5) sore Presiden Joko Widodo memanggil 119 petinggi BUMN ke Istana.
Pertemuan itu bersifat tertutup. Ada apa?
Rupanya
rapat itu membahas agenda pembentukan holding
company (perusahaan induk) BUMN. Salah satu yang diminta cepat bergabung
adalah BUMN pelabuhan, yakni PT Pelabuhan Indonesia I, II, III, dan IV.
Penggabungan ini menjadi penting mengingat rencana besar pemerintah untuk
membangun ”tol laut”.
Saya
membayangkan jika empat perusahaan ini digabung, asetnya pasti akan langsung
membesar. Begitu pula modalnya. Kalau aset itu bisa kita leverage, nilainya bisa menggelembung menjadi lima atau enam kali
lipat. Bahkan bisa lebih, tergantung pada prospek industrinya. Buat Anda yang
masih asing, kata leverage bisa kita analogikan begini.
Kalau
kita memasukkan secuil sabun dan sedikit air ke dalam botol, kemudian botol
itu kita kocok-kocok, ia akan menghasilkan gelembung-gelembung yang membuat
botol terisi penuh. Lalu buihnya juga dapat dipakai sama seperti air kental
di bawahnya. Kurang lebih seperti itulah konsep financial leverage.
Saya
dengar cerita dari salah satu eksekutif BUMN pelabuhan yang perusahaannya akan
mendapat penyertaan modal negara senilai Rp5 triliun. Melalui rekayasa
keuangan, mestinya modal tersebut bisa di-leverage
menjadi sekitar Rp30 triliun. Dana sebesar itu tentu cukup untuk membangun
dan membenahi sejumlah pelabuhan.
Maka,
tak terbayang kalau empat BUMN pelabuhan berhasil digabungkan. Dana yang
diperoleh tentu akan jauh lebih besar. Dan investor akan tertarik untuk ikut
menanamkan modalnya karena prospek bisnis pelabuhan sangat menjanjikan.
Sejalan dengan konsep tol laut yang ingin dikembangkan pemerintah.
Isu Lama
Rencana
pembentukan holding company BUMN
yang memiliki bidang usaha sama sebenarnya sudah digagas sejak lama. Gagasan
ini antara lain pernah dilontarkan Sofyan Djalil semasa ia menjabat sebagai
menteri negara BUMN pada 2007-2009 di bawah pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono.
Bahkan
setahu saya Menteri Sofyan sempat berdiskusi dengan Budi Setiadharma, mantan
CEO PT Astra International Tbk. Astra International adalah perusahaan induk
yang mampu secara efektif mengelola anak-anak usahanya. Konsep itulah yang
ingin dipelajari Menteri Sofyan. Sayangnya ketika itu ide pembentukan holding company BUMN belum berhasil
direalisasi.
Banyak
tantangan yang menghadang. Itu artinya butuh pimpinan yang tak dapat
digoyang. Meski begitu ide ini tidak menguap begitu saja. Ada hasilnya. Pada
periode kedua pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono—melalui
Menteri BUMN Dahlan Iskan—berhasil meng-holdingkan BUMN pupuk serta BUMN
permesinan dan teknologi.
Di
industri pupuk, pemerintah berhasil menggabungkan empat perusahaan pupuk (PT
Pupuk Kujang, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Pupuk Kaltim, dan PT Petrokimia
Gresik) dengan PT Pupuk Sriwidjaja. Belakangan PT Pupuk Sriwijaya berganti
nama menjadi PT Pupuk Indonesia Holding Company.
Di
industri permesinan, PT Barata Indonesia berhasil merger dengan PT Boma Bisma
Indra (BBI). Konsepnya, Barata Indonesia akan mengakuisisi BBI. Setelah
bergabung, Barata Indonesia akan fokus membuat mesin-mesin untuk pabrik gula
dan pabrik baja. Sementara BBI akan fokus memasok mesinmesin untuk pabrik
CPO.
Hanya
pembentukan holding company BUMN
untuk bidang-bidang usaha yang lain tidak secepat yang saya bayangkan.
Mestinya sejak beberapa tahun lalu kita sudah memiliki holding company untuk BUMN perkebunan, kehutanan, pertambangan,
asuransi, dan bahkan perbankan sehingga mampu bersaing di pasar
internasional. Nyatanya itu belum terjadi.
Di
sektor perbankan, misalnya, bank terbesar kita, Bank Mandiri, masih kalah
besar ukurannya dibandingkan dengan bank-bank besar milik negara tetangga
seperti Maybank dari Malaysia atau DBS Bank di Singapura.
Soal Nyali
Kalau
mau bersaing dengan perusahaan lain di luar negeri, memang size is matter. Ukuran jadi penting
karena di sana ada masalah efisiensi, skala ekonomis, dan kemampuan keuangan
yang harus kuat. Fenomena semacam ini sudah disadari pemerintahan di beberapa
negara. Singapura, misalnya, memiliki BUMN yang ukurannya luar biasa besar, Temasek.
Dengan
ukurannya yang begitu besar, ekspansi Temasek menyebar hingga lima benua. Ada
41 perusahaan Temasek yang beroperasi di China, sebagian lainnya di Amerika
Serikat dan Eropa. Begitu pula Malaysia memiliki Khazanah sebagai holding company BUMN di negara itu.
Sampai akhir 2013, total aset Khazanah mencapai USD41,1 miliar atau lebih
dari Rp500 triliun.
China
pernah memiliki sekitar 127.000 BUMN. Mereka kemudian menerapkan konsep grasp the large and let go of the small.
Intinya, China mempertahankan BUMN-BUMN yang besar dan melepas yang kecil.
Agar semakin membesar, BUMN yang sudah besar itu ditambah modalnya seperti
yang tengah dilakukan pemerintahan Jokowi-JK sekarang ini dan bahkan beberapa
dimerger.
Ini
mereka lakukan agar BUMNnya mampu bersaing di tingkat internasional.
Hasilnya, kita melihat Sinopec dan CNOOC, BUMN migas asal China—yang
merupakan hasil merger dari beberapa BUMN migas lainnya—begitu tangguh
bersaing di pasar internasional.
Sebagai
national oil company (NOC), keduanya sanggup berhadapan dengan raksasa migas
kelas dunia atau international oil company (IOC) semacam Shell, BP, atau
Exxon. Melihat pengalaman di beberapa negara tersebut, saya rasa sudah
waktunya BUMN-BUMN kita melewati tahap transformasi gelombang kedua. Pada transformasi
tahap pertama, kita sudah lakukan berbagai upaya untuk melakukan
restrukturisasi, profitisasi, dan privatisasi BUMN-BUMN kita.
Restrukturisasi
dilakukan untuk meningkatkan daya saing BUMN kita baik melalui perbaikan
skala usaha, penajaman fokus bisnis maupun menciptakan kompetensi inti.
Profitisasi dilakukan melalui efisiensi usaha sehingga meningkatkan profit
perusahaan. Kita juga sudah melakukan privatisasi.
Kita
menjual sebagian kepemilikan BUMN baik melalui penjualan langsung kepada
investor asing maupun melalui bursa efek di dalam dan luar negeri. Tapi, itu
semua belum mampu menjadikan BUMN-BUMN kita menjadi pemain-pemain yang
tangguh baik di pasar domestik maupun internasional.
Maka,
saya kira sudah waktunya kita melakukan gelombang kedua transformasi BUMN. Di
antaranya dengan menggabungkan BUMN-BUMN kita agar nyalinya lebih besar dan
lebih efisien serta sanggup bersaing di pasar internasional. Upaya untuk
mewujudkan hal itu jelas tidak mudah.
Resistensi
ada di mana-mana. Di negara kita, politik tengah menjadi panglima. Isu-isu
semacam ini tentu rawan dipolitisasi. Maka, untuk mewujudkan transformasi
gelombang kedua, kita betul-betul membutuhkan pemimpin yang punya nyali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar