Nasib
Malang PRT Migran
Anis Hidayah ; Direktur
Eksekutif Migrant CARE
|
KORAN SINDO, 21 Mei 2015
Mari
kita bayangkan kehidupan Presiden, Wakil Presiden, dan Menteri Tenaga Kerja
Hanif Dhakiri tanpa pekerja rumah tangga (PRT) di dalam rumah tangga mereka.
Presiden terpaksa tidak bisa blusukan setiap saat karena mesti membereskan
pekerjaan rumah bersama-sama anggota keluarganya. Menaker akan berpikir dua
kali atau lebih banyak lagi untuk memanjat pagar penampungan TKI karena harus
membersihkan bajunya sendiri yang mungkin dapat kotor atau robek tersangkut
pagar. Tak usah mereka, kebanyakan kita tidak akan dapat bekerja dengan baik
di luar rumah bila tak menggunakan jasa PRT.
Karena
itu, keberadaan mereka sebagai pekerja secara nyata memberikan sumbangsih
dalam kehidupan kita semua. Mereka menopang hampir seluruh tata kehidupan
kita baik secara langsung maupun tak langsung. Sayangnya, pekerjaan dan
keberadaan mereka tak banyak mendapatkan pengakuan yang layak dari kita
semua. Konversi dari kata“pembantu” ke“pekerja” belum sepenuhnya diterima
dalam masyarakat.
Padahal,
kata ini akan berimplikasi bagi perlakuan dan penghargaan kita kepada mereka.
Kita lebih sering dan senang menggunakan istilah “pembantu” dibanding pekerja
karena tak ingin memberikan upah yang layak bagi pekerjaan berat mereka yang
sering tak mengenal waktu dan melampaui batas pengabdian atau karena kita tak
ingin mereka sederajat dengan kita.
Pandangan
miring terhadap mereka seperti ini yang tengah bersemayam dalam otak dan kesadaran
kebanyakan kita, terutama mereka yang saat ini memiliki kesempatan membuat
kebijakan. Latar ini setidaknya yang menjadi konteks kebijakan larangan
pemerintah untuk mengirim PRT migran ke 21 negara di Timur Tengah.
Terlebih
nuansa ketidakmampuan pemerintah melindungi dan memastikan hak-hak mereka
sebagai pekerja lebih menonjol dibandingkan keinginan untuk membela
kepentingan dan melindungi mereka dan anggota keluarganya.
Feminisasi Migrasi
Berdasarkan
data BNP2TKI, dari jumlah buruh migran yang berangkat ke luar negeri pada
2014, dari 429.872 orang, 53% adalah perempuan yang bekerja sebagai PRT
migran. Hanya 24,85% yang lulusan SMA, 37,86% lulusan SMP, dan 32,29% lulusan
SD. Artinya, separuh lebih demografi buruh migran Indonesia di luar negeri adalah
perempuan yang bekerja sebagai PRT.
Data di
atas mestinya cukup untuk membuka mata pemerintah yang belum mampu
menyediakan lapangan pekerjaan buat mereka untuk menyadari bahwa menjadi PRT
migran ke luar negeri sesungguhnya bukan semata pilihan kebanyakan perempuan
Indonesia, tetapi lebih karena keterpaksaan bagi mayoritas keluarga miskin
yang berlatar belakang pendidikan terbatas.
Fenomena
migrasi yang banyak melibatkan perempuan ini lebih dikenal dengan istilah
feminisasi migrasi sebagai dampak dari feminisasi kemiskinan. Perempuan
dipaksa miskin dan mesti menerima setiap akibat dari kemiskinan. Mereka tidak
berdaya, tapi berani mengambil risiko untuk melanjutkan kehidupan yang mereka
harapkan lebih baik.
Tapi,
harapan tak selalu bersambut dengan kenyataan. Pelanggaran demi pelanggaran
banyak mereka terima. Baik sebelum maupun terutama ketika mereka menjadi PRT
migran. Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dihadapi PRT migran
merupakan fenomena global yang berlangsung secara sistematik dan
berkelanjutan.
Terlebih
ketika mereka mesti berhadapan dengan kondisi kerja tidak layak karena tidak
mendapatkan pengakuan sebagai pekerja dan proteksi terhadap hak-hak mereka
dari negara. Fakta-fakta pelanggaran HAM terhadap PRT ini mendorong
International Labour Organization (ILO ) pada 16 Juni 2011 mengesahkan
konvensi 189 tentang kerja layak bagi PRT.
Konvensi
ini standar internasional pertama yang mengakui PRT sebagai pekerja formal
yang harus dilindungi dan dijaminhak- haknya secara hukum. Konvensi ini telah
diratifikasi oleh 17 negara dari berbagai kawasan. Sayangnya, di ASEAN baru
Filipina yang meratifikasi, sementara sembilan negara anggota lainnya belum
memiliki kesadaran akan pentingnya meratifikasi konvensi tersebut.
Mestinya,
bagi Pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi ILO ini menjadi sebuah
kewajiban mengingat begitu besarnya jumlah PRT di dalam maupun di luar
negeri. Itu juga untuk menunjukkan komitmen melindungi warganya yang bekerja
sebagai PRT sekaligus alat diplomasi untuk meminta negara lain melindungi dan
memproteksi PRT migran Indonesia.
Larangan
bekerja bagi PRT migran Indonesia ke luar negeri sesungguhnya bukan kebijakan
baru di Indonesia. Tampaknya pemerintahan Jokowi-JK ingin melanjutkan roadmap
penghentian PRT atau Zero PRT 2017 yang telah dicanangkan oleh pemerintah
sebelumnya. Padahal, di dalam dokumen visi-misi pencapresan Jokowi dan Jusuf
Kalla, dalam halaman 23 dinyatakan bahwa mereka berkomitmen menginisiasi
pembuatan peraturan dan langkah-langkah perlindungan bagi semua PRT yang
bekerja di dalam maupun di luar negeri.
Janji
inilah yang membuat banyak PRT migran Indonesia di luar negeri memilih Jokowi
sebagai presiden Indonesia. Maka itu, larangan pemerintah untuk mengirim PRT
migran ke 21 negara di atas tidak hanya mengingkari janji mereka sendiri,
tetapi juga melanggar hak asasi warga negara untuk bekerja yang dijamin oleh
konstitusi.
Apalagi,
sejak September 2012, Pemerintah Indonesia terikat sebagai negara party
ketika meratifikasi International
Convention on The Protection off All the Rights of Migrant Workers and Their
Families. Menurut konvensi ini, setiap buruh migran berhak atas pekerjaan
di luar negeri dan dijamin bermobilitas tanpa diskriminasi.
Sejak
1984 pemerintah juga telah mengikatkan diri dengan meratifikasi konvensi
CEDAW melalui UU No 7 Tahun 1984 yang memiliki komitmen untuk menghapuskan
segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Kebijakan yang Manusiawi
Persoalan
PRT (migran) sesungguhnya tidak dapat diselesaikan dengan menghentikan
penempatan mereka ke luar negeri. Tetapi, mengharuskan negara untuk bersikap
adil sejak dalam pikiran dengan memanusiakan mereka. Selain itu, melakukan
pembaharuan kebijakan migrasi dengan membangun mekanisme migrasi yang aman
(bagi perempuan) adalah langkah mendesak yang harus segera diambil dan
menyegerakan pengesahan RUU PRT serta ratifikasi konvensi ILO 189.
Langkah
itu setidaknya untuk mengantisipasi dan sebagai komitmen mendasar negara
terhadap warga negaranya untuk mencegah dan mengatasi masalah sebelum, pada
saat, dan pasca mereka bermigrasi ke berbagai negara tujuan.
Kebijakan
ini jauh lebih manusiawi daripada menutup mata dan tak menghargai eksistensi
mereka dengan menghentikan pengiriman buruh migran ke luar negeri yang justru
berpotensi menimbulkan masalah baru seperti perdagangan dan penyelundupan
manusia (trafficking and people
smuggling). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar