Jokowi
dan Marhaenisme
Muhidin M Dahlan ; Kerani @warungarsip
|
KORAN TEMPO, 07 Mei 2015
Katakanlah Presiden
yang Terhormat Jokowi adalah petugas partai bernama PDIP. Benarkan sajalah
bahwa PDIP-dan di dalamnya Jokowi-adalah pewaris sah ajaran politik Sukarno.
Dan itu bisa kita
konfirmasi, selain genetika darah Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri, bisa
dibaca dari frase-frase yang dilekatkan dalam paras pemerintahan Jokowi:
"nawacita", "kabinet kerja", dan "trisakti".
Frase-frase yang pernah menjadi lingua franca politik pada era Sukarno itu
dihidupkan kembali di Istana Merdeka.
Mestinya, jika ingin
menghidupkan Sukarno, hidupkan dalam kebijakan harian sukma ideologi yang
dicetuskannya: marhaenisme. Apa dan siapa kaum marhaen itu?
Buka majalah Fikiran
Rajat, Nomor 1, 1 Juli 1932, halaman 2, dan biarkan Sukarno sendiri
menjelaskannya. Di artikel "Matahari Marhaenisme" itu, Sukarno
membedakan secara distingtif antara marhaen dan proletar.
Proletar jalah orang
jang "berboeroeh", ja'ni orang jang dengan mendjoeal tenaganja
"membikin" sesoatoe "barang" oentoek orang lain
(madjikannja), sedang ia tidak ikoet memiliki alat2 pembikinan
"barang" itoe.
Berangkat dari
pengertian itu, Sukarno kemudian menunjuk profesi-profesi yang menjadi domain
proletar, seperti letterzetter, masinis, dan bahkan insinyur teknik karena ia
"mendjoeal tenaganja, sedang kantor atau besi-besi atau semen jang ia
peroesahakan itoe boekan miliknja. Insinjoer itu proletar
intelektoewil."
Lalu, di golongan mana
mereka yang memiliki alat produksi sendiri, menggarap di atas tanah sendiri,
tapi tetap saja melarat, itulah kaum marhaen. Sukarno menyebutkan kaum
marhaen itu adalah kaum tani yang jumlahnya jutaan. "Barang siapa yang
berpihak pada kaum melarat itu, kaum marhaen itu, kaum tani itu, mereka
adalah marhaenis," kata Sukarno.
Sebelum Sukarno
mengambil alih perjuangan petani menjadi ideologi gerakannya, kaum ini sudah
berjibaku dalam pasang-surutnya gerakan pembangkangan. Sebagaimana dicatat
Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888, di daerah paling
barat Pulau Jawa itu sepanjang abad ke-19 sesak oleh cerita pemberontakan
petani.
Bahkan arus itu
menjadi sangat besar jika kita memasukkan Java Oorlog sebagai rantai
pemberontakan petani terbesar di Jawa yang dipimpin Diponegoro. Pemberontakan
petani pada 1825-1830 itu boleh dibilang nyaris membangkrutkan VOC.
Puncaknya adalah
pemberontakan kaum petani yang dipimpin PKI di pelbagai kota di Jawa dan
Sumatera pada 1926 yang kemudian berakhir dengan kekalahan memilukan.
Bukan deret ukur
kekalahan itu yang menjadi titik urgennya, melainkan bagaimana petani ini diperlakukan
dalam sejarah saat mereka memperjuangkan hak dan menaikkan taraf kelasnya
dari kemelaratan.
Jokowi dan partainya
mesti memegang kendali panggung yang sudah ada di tangannya, di mana
petani-petani resah saat ini. Bukan hanya resah soal pupuk bersubsidi. Bukan
hanya jumlah keluarga petani susut rata-rata 500 ribu rumah tangga per tahun.
Jokowi dan PDIP mestinya berada di saf pertama mengajeni petani saat terlibat
memperjuangkan hak-hak tanah dan airnya.
Kasus keresahan petani
Rembang/Pati, Kulon Progo, Kebumen, Karawang, dan Takalar adalah uji kadar
marhaenisme Jokowi dan partai pewaris nilai-nilai Sukarno tempat ia bernaung.
Atau momentum historis Presiden Ketujuh RI ini hanya dikenang sejarah sekadar
mengalahkan Prabowo Subianto di gelanggang pemilu. Lain tidak! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar