Jumat, 08 Mei 2015

Memvisualisasi Nabi


Ahmad Sahidah  ;  Dosen Filsafat Universitas Utara Malaysia
KORAN TEMPO, 07 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kontes menggambar kartun Nabi Muhammad mengentak orang ramai. Malangnya, sebuah pameran seni yang dijadikan ajang perlombaan menggambar Nabi di Garland, Dallas County, Amerika, telah memakan korban. Seorang penyerang bernama Elton Simpton meninggal setelah peluru aparat menembus tubuhnya. Seorang lagi teman korban belum diidentifikasi. Tragedi ini makin menebalkan persepsi orang Barat bahwa Islam begitu dekat dengan fanatisme, sehingga penganutnya mudah melakukan kekerasan.

Apakah provokasi ini benar-benar mencerminkan kebebasan yang diagungkan oleh Barat? Di sinilah, silang sengketa bermula.

Dengan merujuk pada dua pengertian kebebasan, yaitu kebebasan dari (from) dan untuk (for), sejatinya siapa pun bebas melakukan apa saja, termasuk menggugat kepercayaan orang lain. Namun, untuk apa kebebasan hendak diperjuangkan jika ia berhadapan dengan sebuah keyakinan yang dianggap suci? Kalau kontes semacam ini hadir dalam ruang yang seimbang, tentu titik-temu mungkin bisa dirayakan karena setiap yang hadir bertenggang rasa untuk meraih nilai keutamaan dari perbedaan. Tapi kebebasan yang dilakukan dengan menyinggung isu sensitif adalah "absurd", karena ia tak mendatangkan manfaat apa-apa bagi kehidupan manusia secara keseluruhan.

Bagaimanapun, ketidakpekaan pejuang kebebasan terhadap keyakinan agama sebenarnya bisa dimaklumi. Mereka tidak mempunyai pandangan yang sama tentang kesucian, karena latar belakang ideologi materialisme tidak memberikan ruang sedikit pun pada apa yang dianggap sakral. Sedangkan kaum fanatik tergesa-gesa menilai bahwa penghujat itu menistakan Nabi dan dengan motif tunggal: kebebasan. Padahal, mereka belum tentu membaca Muhammad: A Biography of Prophet yang ditulis oleh Karen Armstrong, yang menggambarkan nabi dengan adil sehingga persepsi mereka tak lebih dari sebuah khayalan belaka. Sebagaimana kaum fanatik juga gagal mengambil pesan utama kisah Nabi dari kitab suci dan ucapan Nabi sendiri.

Semestinya, isu kartun Nabi Muhammad menyadarkan penganutnya bahwa sosok Nabi tidak hanya hadir dalam wajah ideal. Dalam persepsi Barat, jika umat Islam berperilaku serampangan dan kejam, maka secara otomatis itulah yang diajarkan oleh junjungannya. Dengan mengabaikan sejarah panjang Islam dan kerumitan teks kitab suci, tak hanya Barat yang gagal membedakan antara Islam ideal dan praktis, tapi juga muslim sendiri terbelah menjadi pelbagai kelompok dalam menerapkan ide-ide agama dalam kehidupan sehari-hari. Sejarah menunjukkan bahwa sesama muslim saling berbaku bunuh atas nama agama, padahal pembelaan itu hanya helat untuk melanggengkan kekuasaan.

Dari kenyataan di atas, bagaimana penganutnya seharusnya membela Nabi? Pertama, Muhammad harus dilihat secara utuh. Dengan mengabaikan kemanusiaan Nabi, umat cenderung menjadikan sosok Nabi begitu jauh dari kehidupan sehari-hari yang bersifat rutin. Kedua, pembelaan terhadap Nabi mesti hadir dengan meneladani tindak tanduknya. Nabi hidup sederhana dan berdakwah untuk menjadikan budi pekerti sebagai tujuan tertinggi makhluk. Dengan demikian, jika penyanjungnya melakukan kekerasan kepada orang lain sebagai wujud pembelaan, jelas kecintaan seperti ini lancung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar