Ahmad Sahidah ; Dosen Filsafat Universitas Utara Malaysia
|
KORAN TEMPO, 07 Mei 2015
Kontes menggambar
kartun Nabi Muhammad mengentak orang ramai. Malangnya, sebuah pameran seni
yang dijadikan ajang perlombaan menggambar Nabi di Garland, Dallas County,
Amerika, telah memakan korban. Seorang penyerang bernama Elton Simpton
meninggal setelah peluru aparat menembus tubuhnya. Seorang lagi teman korban
belum diidentifikasi. Tragedi ini makin menebalkan persepsi orang Barat bahwa
Islam begitu dekat dengan fanatisme, sehingga penganutnya mudah melakukan
kekerasan.
Apakah provokasi ini
benar-benar mencerminkan kebebasan yang diagungkan oleh Barat? Di sinilah,
silang sengketa bermula.
Dengan merujuk pada
dua pengertian kebebasan, yaitu kebebasan dari (from) dan untuk (for),
sejatinya siapa pun bebas melakukan apa saja, termasuk menggugat kepercayaan
orang lain. Namun, untuk apa kebebasan hendak diperjuangkan jika ia
berhadapan dengan sebuah keyakinan yang dianggap suci? Kalau kontes semacam
ini hadir dalam ruang yang seimbang, tentu titik-temu mungkin bisa dirayakan
karena setiap yang hadir bertenggang rasa untuk meraih nilai keutamaan dari
perbedaan. Tapi kebebasan yang
dilakukan dengan menyinggung isu sensitif adalah "absurd", karena
ia tak mendatangkan manfaat apa-apa bagi kehidupan manusia secara
keseluruhan.
Bagaimanapun,
ketidakpekaan pejuang kebebasan terhadap keyakinan agama sebenarnya bisa
dimaklumi. Mereka tidak mempunyai pandangan yang sama tentang kesucian,
karena latar belakang ideologi materialisme tidak memberikan ruang sedikit
pun pada apa yang dianggap sakral. Sedangkan kaum fanatik tergesa-gesa
menilai bahwa penghujat itu menistakan Nabi dan dengan motif tunggal:
kebebasan. Padahal, mereka belum tentu membaca Muhammad: A Biography of Prophet yang ditulis oleh Karen
Armstrong, yang menggambarkan nabi dengan adil sehingga persepsi mereka tak
lebih dari sebuah khayalan belaka. Sebagaimana kaum fanatik juga gagal
mengambil pesan utama kisah Nabi dari kitab suci dan ucapan Nabi sendiri.
Semestinya, isu kartun
Nabi Muhammad menyadarkan penganutnya bahwa sosok Nabi tidak hanya hadir
dalam wajah ideal. Dalam persepsi Barat, jika umat Islam berperilaku
serampangan dan kejam, maka secara otomatis itulah yang diajarkan oleh
junjungannya. Dengan mengabaikan
sejarah panjang Islam dan kerumitan teks kitab suci, tak hanya Barat yang
gagal membedakan antara Islam ideal dan praktis, tapi juga muslim sendiri
terbelah menjadi pelbagai kelompok dalam menerapkan ide-ide agama dalam
kehidupan sehari-hari. Sejarah menunjukkan bahwa sesama muslim saling berbaku bunuh
atas nama agama, padahal pembelaan itu hanya helat untuk melanggengkan
kekuasaan.
Dari kenyataan di
atas, bagaimana penganutnya seharusnya membela Nabi? Pertama,
Muhammad harus dilihat secara utuh. Dengan mengabaikan kemanusiaan Nabi, umat
cenderung menjadikan sosok Nabi begitu jauh dari kehidupan sehari-hari yang
bersifat rutin. Kedua, pembelaan terhadap Nabi mesti hadir dengan meneladani
tindak tanduknya. Nabi hidup sederhana dan berdakwah untuk menjadikan budi
pekerti sebagai tujuan tertinggi makhluk. Dengan demikian, jika penyanjungnya
melakukan kekerasan kepada orang lain sebagai wujud pembelaan, jelas
kecintaan seperti ini lancung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar