Rabu, 13 Mei 2015

ISIS dan Sindrom Perang Salib

ISIS dan Sindrom Perang Salib

Sumiati Anastasia  ;  Lulusan University of Birmingham, untuk relasi Islam-Kristen
KORAN TEMPO, 08 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sebuah video buatan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) pada 20 April memperlihatkan adegan horor. Sekitar 30 penganut Kristen Ethiopia ditembak dan dipenggal di Libya. Milisi ISIS menyebut warga Kristen Ethiopia sebagai pelaku Perang Salib yang membunuh muslim.

Apa yang dilakukan ISIS dengan menyebut Perang Salib bukanlah hal yang baru. Dulu, Usamah bin Ladin dengan Al-Qaidah-nya dan dua gembong teroris Malaysia, mendiang Dr Azahari dan Noor Din M. Top, yang meneror negeri kita, juga gemar menyebut Perang Salib. Bahkan perang itu dikatakan masih terus berlangsung hingga sekarang. Hal ini jelas berpotensi merusak relasi Islam-Kristen.

Tentang Perang Salib, pertama dilancarkan pada 1095 oleh Paus Urbanus II guna menguasai kembali kota suci Yerusalem dan Tanah Suci Palestina dari kaum muslim. Perang ini berseri sampai delapan episode, berakhir dengan rontoknya benteng terakhir Kristen di Akko pada 1291.

Sementara ISIS atau para teroris membesar-besarkan perang itu, ada sejarawan Islam yang justru mengecilkan eskalasinya. Kini sudah banyak buku yang obyektif atau cover both sides dalam mengulas Perang Salib.

Menurut sejarawan Ibn Khaldun (w.1404), serangkaian peristiwa Perang Salib itu merupakan persoalan yang kecil saja. Dalam karyanya yang tebal, Muqqadima atau Introduction to History, satu-satunya rujukan ke Perang Salib disajikan dalam sedikit paragraf atau dua tiga kalimat saja, yakni mengenai kontrol angkatan laut atas wilayah-wilayah Mediterania dan dua atau tiga kalimat mengenai masjid-masjid dan bangunan-bangunan suci di Yerusalem. Mengapa demikian?

Pasalnya, ketika Yerusalem jatuh ke tangan tentara Salib, kekuasaan Islam yang paling besar saat itu dipegang oleh Dinasti Seljuk. Dinasti ini mengontrol Bagdad dan sebagian besar pusat kebudayaan Islam di timur. Dan pusat pemerintahan ada di Kota Isfahan, terletak sekitar 340 km selatan Teheran-Iran. Orang-orang di Isfahan tidak begitu peduli dengan perang yang tengah terjadi Yerusalem.

Karena itu, pengembangan wacana Perang Salib oleh ISIS, para teroris, atau golongan garis keras harus disikapi dengan bijak. Jika kita meyakini besarnya eskalasi perang itu, bahkan yakin perang itu masih terus berlangsung hingga kini, jelas hal ini kontraproduktif bagi relasi Islam-Kristen.

Dalam buku Islam, Modernism and The West, cendekiawan muslim Muhammed Arkoun mengingatkan, cara pandang yang hanya mempertentangkan Islam-Kristen harus ditinggalkan dan sebaiknya lebih fokus pada kerja sama, karena akan menentukan bagi perdamaian dunia.

Sisi baiknya, misalnya dalam perang itu umat Kristiani asli Timur Tengah, seperti Siria Ortodoks, justru lebih pro-kaum muslim dan anti-tentara Salib. Dalam konteks budaya, Perang Salib itu mendorong terjadinya pertukaran budaya Barat dan Islam yang positif kontribusinya bagi dunia, mulai dari filsafat, matematika, perdagangan, hingga kemiliteran, dan lain sebagainya.

Tentang Ethiopia, umat Islam zaman ini jangan lupa akan kontribusi Raja Negus-dari Abisinia (Ethiopia) yang Kristen tapi melindungi para pemeluk agama Islam dari Jazirah Arab, atas permintaan Nabi Muhammad di awal sejarah Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar