Rabu, 13 Mei 2015

Prostitusi Artis dan Media Sosial

Prostitusi Artis dan Media Sosial

Aris Setiawan  ;  Esais; Dosen Jurusan Etnomusikologi ISI Surakarta
JAWA POS, 12 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

BELAKANGAN ini di media massa ramai diberitakan tentang prostitusi online yang melibatkan kalangan artis. Dengan harga mencapai ratusan juta rupiah sekali kencan, prostitusi itu tergolong menyasar kalangan kelas atas atau elite. Perkembangan teknologi komunikasi, ditandai munculnya media sosial, semakin membuat ’’bisnis esek-esek’’ sistematis dan terstruktur. Jika dahulu semua transaksi dilakukan dengan tatap muka langsung (face-to-face), kini semua serbavirtual.

Namun, tidaklah mudah mengungkap sindikat prostitusi kalangan artis tersebut. Tidak setiap orang berduit bisa menjadi pelanggan. Mereka harus melalui proses secara ketat dengan sejumlah persyaratan. Otomatis, jaringan itu berjalan cukup profesional dan sulit diendus aparat.

Sebagaimana kita ketahui, artis bukanlah profesi yang kekal. Artinya, tidak selamanya dunia artis memberikan jaminan bagi hidup yang mapan. Dengan demikian, dibutuhkan ’’usaha sampingan’’ agar asap dapur tetap mengepul. Terlebih, dunia selebriti selalu menuntut kemewahan dan keglamoran. Hal itu membawa risiko ’’kalah’’ bagi mereka yang tidak mampu bertahan untuk eksis.

Karena itu, jangan heran jika kemudian hari ini seorang artis begitu dipuja dan esok hari dihujat, lalu dilupakan. Mereka hidup dari satu panggung ke panggung yang lain. Apabila panggung dan tawaran kerja keartisan semakin surut, tidak sedikit artis yang memilih jalan untuk menjadi simpanan para pejabat atau menjajakan diri sebagai pekerja seks komersial (PSK). Kasus-kasus yang demikian bukan lagi rahasia umum. Banyak artis yang hamil, memiliki anak, namun tidak diketahui siapa ayah kandung anaknya.

Tumbuh

Sebagaimana ditulis Moammar Emka dalam bukunya Jakarta Undercover (2003), dunia prostitusi di Indonesia, terutama ibu kota, telah berkembang dengan berbagai modus dan cara serta hampir melibatkan semua kalangan. Uniknya, cara kerja mereka selangkah lebih maju dari aparat. Jika hari ini polisi merazia tempat-tempat yang diduga sebagai sarang lokalisasi, pelaku prostitusi segera mengubah cara kerja dan model transaksi. Begitu seterusnya.

Kasus Deudeuh Alfisahrin alias Tata Chubby, 26, menjelaskan bahwa praktik prostitusi memasuki babak baru yang berafiliasi dengan media sosial. Bayangkan, setelah sekian lama, profesi Deudeuh baru terkuak kala dia terbunuh. Padahal, dia sudah bertahun-tahun melangsungkan praktik prostitusi secara terang-terangan tanpa sedikit pun tersentuh pihak kepolisian. Artinya, metode dalam mengungkap bisnis yang demikian harus senantiasa di-update.

Ironisnya, perkembangan media sosial menjadikan dunia prostitusi semakin sulit diawasi dan dikontrol. Berjuta-juta media sosial yang diindikasikan sebagai ajang transaksi prostitusi harus dipantau setiap saat. Terbongkarnya dunia prostitusi para artis hanya merupakan gumpalan kecil dari timbunan kasus serupa yang belum terkuak.

Hal itu mengingatkan saya pada tulisan Foucault yang berjudul The History of Sexuality (1976). Foucault telah melakukan penelitian terperinci dengan kerja telaah arsip-arsip kuno. Dia menemukan bagaimana praktik prostitusi sejak tradisi Victorian abad XVIII di Inggris begitu direpresi dan dikontrol pemerintah dengan amat ketat.

Namun, kenyataannya, semakin ditekan dan direpresi dalam bilik-bilik pengantin serta berbagai aturan yang ketat (agama dan undang-undang), praktik prostitusi akan selalu memperlihatkan bentuk dan wujud baru. Dunia prostitusi kemudian menemukan ruang pembebasan setiap saat.

Prostitusi senantiasa ada dalam setiap jejak kebudayaan, baik dalam skala kecil maupun besar. Kebudayaan selalu mengandung oposisi biner. Pertama, kebudayaan senantiasa menekankan pembentukan karakter, sikap, dan kepribadian yang baik. Di sisi lain, dengan membuat kategori ’’baik’’, berarti harus bersanding dan dihadapkan dengan apa yang disebut ’’tidak baik’’. Kebudayaan akan senantiasa berproses setiap waktu dan tidak akan mati. Dengan demikian, pertarungan antara yang baik dan tidak baik akan dilangsungkan selamanya.

Karena itu, di banyak negara, prostitusi diberi ruang dan tempat khusus agar lebih mudah dikontrol, walaupun dengan berbagai problematika serta pertentangan. Hal itulah yang mendasari ide Ahok untuk membuat tempat khusus lokalisasi di Jakarta. Tempat prostitusi di Gang Dolly, Surabaya, misalnya. Walaupun telah ditutup, tidak berarti dunia esek-esek itu telah mati dan hilang sepenuhnya. Para pelaku akan selalu berusaha mencari celah dan jalan lain agar bisnis tersebut tetap berjalan. Artinya, secara fisik dan kebendaan (tempat prostitusi) telah tiada, namun perilaku dan kebutuhan akan hal itu senantiasa tumbuh dan berkembang.

Kontemplatif

Terkuaknya bisnis pelacuran para artis menyadarkan kita bahwa dunia prostitusi telah merambah pada hampir semua golongan. Hal itu menunjukkan bahwa negara ini juga darurat prostitusi. Sudah saatnya undang-undang yang hanya menempatkan mucikari tersangka pelaku prostitusi direvisi.

Sebagaimana diketahui, jika merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), delik-delik kesusilaan dalam KUHP seperti pada pasal 281 sampai pasal 303, khususnya pasal 296 dan pasal 506, tidak ditujukan untuk PSK. Pasal-pasal tersebut lebih ditujukan kepada pemilik rumah-rumah bordil, yaitu mucikari dan para calo. Akibatnya, polisi sulit menjerat PSK dan pelanggannya karena belum ada ketentuan pidana yang mengatur.

Dengan demikian, para PSK dan pelanggannya selama ini hanya mendapat teguran serta peringatan, tidak lebih. Apalagi selama ini posisi mucikari telah diambil media sosial. Proses negosiasi prostitusi berlangsung dengan lebih efisien dan praktis. Ironisnya, hingga detik ini, belum ada undang-undang atau aturan untuk menjerat bisnis prostitusi online di negeri ini. Tidak mengherankan jika kemudian bisnis tersebut merebak bagaikan jamur pada musim hujan. Buktinya, silakan ketik kata-kata yang berhubungan dengan prostitusi (misalnya, bispak, PSK, esek-esek, atau 17 plus) di kolom pencarian media sosial Anda.

Terbongkarnya bisnis pelacuran di kalangan artis setidaknya bisa menjadi bahan renungan serta menyadarkan kita bahwa betapa daruratnya negara ini terhadap praktik prostitusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar