Prostitusi
Artis dan Media Sosial
Aris Setiawan ; Esais; Dosen Jurusan Etnomusikologi ISI
Surakarta
|
JAWA POS, 12 Mei 2015
BELAKANGAN ini di
media massa ramai diberitakan tentang prostitusi online yang melibatkan
kalangan artis. Dengan harga mencapai ratusan juta rupiah sekali kencan,
prostitusi itu tergolong menyasar kalangan kelas atas atau elite.
Perkembangan teknologi komunikasi, ditandai munculnya media sosial, semakin
membuat ’’bisnis esek-esek’’ sistematis dan terstruktur. Jika dahulu semua
transaksi dilakukan dengan tatap muka langsung (face-to-face), kini semua
serbavirtual.
Namun, tidaklah mudah
mengungkap sindikat prostitusi kalangan artis tersebut. Tidak setiap orang
berduit bisa menjadi pelanggan. Mereka harus melalui proses secara ketat
dengan sejumlah persyaratan. Otomatis, jaringan itu berjalan cukup
profesional dan sulit diendus aparat.
Sebagaimana kita
ketahui, artis bukanlah profesi yang kekal. Artinya, tidak selamanya dunia
artis memberikan jaminan bagi hidup yang mapan. Dengan demikian, dibutuhkan
’’usaha sampingan’’ agar asap dapur tetap mengepul. Terlebih, dunia selebriti
selalu menuntut kemewahan dan keglamoran. Hal itu membawa risiko ’’kalah’’
bagi mereka yang tidak mampu bertahan untuk eksis.
Karena itu, jangan
heran jika kemudian hari ini seorang artis begitu dipuja dan esok hari
dihujat, lalu dilupakan. Mereka hidup dari satu panggung ke panggung yang
lain. Apabila panggung dan tawaran kerja keartisan semakin surut, tidak
sedikit artis yang memilih jalan untuk menjadi simpanan para pejabat atau
menjajakan diri sebagai pekerja seks komersial (PSK). Kasus-kasus yang
demikian bukan lagi rahasia umum. Banyak artis yang hamil, memiliki anak,
namun tidak diketahui siapa ayah kandung anaknya.
Tumbuh
Sebagaimana ditulis
Moammar Emka dalam bukunya Jakarta Undercover (2003), dunia prostitusi di
Indonesia, terutama ibu kota, telah berkembang dengan berbagai modus dan cara
serta hampir melibatkan semua kalangan. Uniknya, cara kerja mereka selangkah
lebih maju dari aparat. Jika hari ini polisi merazia tempat-tempat yang
diduga sebagai sarang lokalisasi, pelaku prostitusi segera mengubah cara
kerja dan model transaksi. Begitu seterusnya.
Kasus Deudeuh
Alfisahrin alias Tata Chubby, 26, menjelaskan bahwa praktik prostitusi
memasuki babak baru yang berafiliasi dengan media sosial. Bayangkan, setelah
sekian lama, profesi Deudeuh baru terkuak kala dia terbunuh. Padahal, dia
sudah bertahun-tahun melangsungkan praktik prostitusi secara terang-terangan
tanpa sedikit pun tersentuh pihak kepolisian. Artinya, metode dalam
mengungkap bisnis yang demikian harus senantiasa di-update.
Ironisnya,
perkembangan media sosial menjadikan dunia prostitusi semakin sulit diawasi
dan dikontrol. Berjuta-juta media sosial yang diindikasikan sebagai ajang transaksi
prostitusi harus dipantau setiap saat. Terbongkarnya dunia prostitusi para
artis hanya merupakan gumpalan kecil dari timbunan kasus serupa yang belum
terkuak.
Hal itu mengingatkan
saya pada tulisan Foucault yang berjudul The
History of Sexuality (1976). Foucault telah melakukan penelitian
terperinci dengan kerja telaah arsip-arsip kuno. Dia menemukan bagaimana
praktik prostitusi sejak tradisi Victorian abad XVIII di Inggris begitu
direpresi dan dikontrol pemerintah dengan amat ketat.
Namun, kenyataannya,
semakin ditekan dan direpresi dalam bilik-bilik pengantin serta berbagai
aturan yang ketat (agama dan undang-undang), praktik prostitusi akan selalu
memperlihatkan bentuk dan wujud baru. Dunia prostitusi kemudian menemukan
ruang pembebasan setiap saat.
Prostitusi senantiasa
ada dalam setiap jejak kebudayaan, baik dalam skala kecil maupun besar.
Kebudayaan selalu mengandung oposisi biner. Pertama, kebudayaan senantiasa
menekankan pembentukan karakter, sikap, dan kepribadian yang baik. Di sisi
lain, dengan membuat kategori ’’baik’’, berarti harus bersanding dan
dihadapkan dengan apa yang disebut ’’tidak baik’’. Kebudayaan akan senantiasa
berproses setiap waktu dan tidak akan mati. Dengan demikian, pertarungan
antara yang baik dan tidak baik akan dilangsungkan selamanya.
Karena itu, di banyak
negara, prostitusi diberi ruang dan tempat khusus agar lebih mudah dikontrol,
walaupun dengan berbagai problematika serta pertentangan. Hal itulah yang
mendasari ide Ahok untuk membuat tempat khusus lokalisasi di Jakarta. Tempat
prostitusi di Gang Dolly, Surabaya, misalnya. Walaupun telah ditutup, tidak
berarti dunia esek-esek itu telah mati dan hilang sepenuhnya. Para pelaku
akan selalu berusaha mencari celah dan jalan lain agar bisnis tersebut tetap
berjalan. Artinya, secara fisik dan kebendaan (tempat prostitusi) telah
tiada, namun perilaku dan kebutuhan akan hal itu senantiasa tumbuh dan
berkembang.
Kontemplatif
Terkuaknya bisnis
pelacuran para artis menyadarkan kita bahwa dunia prostitusi telah merambah
pada hampir semua golongan. Hal itu menunjukkan bahwa negara ini juga darurat
prostitusi. Sudah saatnya undang-undang yang hanya menempatkan mucikari
tersangka pelaku prostitusi direvisi.
Sebagaimana diketahui,
jika merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), delik-delik
kesusilaan dalam KUHP seperti pada pasal 281 sampai pasal 303, khususnya
pasal 296 dan pasal 506, tidak ditujukan untuk PSK. Pasal-pasal tersebut
lebih ditujukan kepada pemilik rumah-rumah bordil, yaitu mucikari dan para
calo. Akibatnya, polisi sulit menjerat PSK dan pelanggannya karena belum ada
ketentuan pidana yang mengatur.
Dengan demikian, para
PSK dan pelanggannya selama ini hanya mendapat teguran serta peringatan,
tidak lebih. Apalagi selama ini posisi mucikari telah diambil media sosial.
Proses negosiasi prostitusi berlangsung dengan lebih efisien dan praktis.
Ironisnya, hingga detik ini, belum ada undang-undang atau aturan untuk
menjerat bisnis prostitusi online di negeri ini. Tidak mengherankan jika
kemudian bisnis tersebut merebak bagaikan jamur pada musim hujan. Buktinya,
silakan ketik kata-kata yang berhubungan dengan prostitusi (misalnya, bispak,
PSK, esek-esek, atau 17 plus) di kolom pencarian media sosial Anda.
Terbongkarnya bisnis
pelacuran di kalangan artis setidaknya bisa menjadi bahan renungan serta
menyadarkan kita bahwa betapa daruratnya negara ini terhadap praktik
prostitusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar