Rabu, 13 Mei 2015

Kursi Keraton

Kursi Keraton

Heri Priyatmoko  ;  Alumnus Pascasarjana Sejarah FIB, UGM
KORAN TEMPO, 08 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kahanan Keraton Kasultanan Yogyakarta tengah memanas. Jutaan mata menyimak sabda raja kedua yang dikeluarkan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Nama putrinya, GKR Pembayun, diganti menjadi GKR Mangkubumi, dan ia pun ditunjuk sebagai putri mahkota.

Silang pendapat tak terelakkan. Di satu pihak, hal itu dianggap melenceng dari tradisi dan paugeran. Tapi, di pihak lain, dinilai bukan masalah karena sultan sebagai raja punya wewenang melakukan perubahan.

Publik menebak, gonjang-ganjing bermuara pada kursi keraton (dhampar kencana), lambang kekuasaan atau status display. Di balik keelokan fisiknya serta keindahan seni yang tinggi, kursi raja berdaya pikat luar biasa, sarat makna simbolis dan mitologis yang sakral, unik, serta adiluhung. Saking keramatnya, ia tidak gampang dijangkau masyarakat umum.

Eddy Supriyatna Marizar, dalam bukunya berjudul Kursi Kekuasaan Jawa, dengan bagus menafsirkan artefak kursi berkaitan dengan simbol kekuasaan Tuhan, dewa, dan raja. Dhampar kencana dipandang sebagai alat pamer kekayaan, mengokohkan kedudukan, kewibawaan, jabatan, keagungan, kehormatan, kejayaan, atau sebagai simbol status sosial.

Simbol di lingkungan istana punya relasi historis dengan keberadaan ragam simbol candi-candi Hindu-Buddha di Jawa. Kenyataan ini menegaskan, raja bak titisan dewa.

Esensinya, jika orang menghormati (ngajeni) pemimpin atau penguasa, termasuk kursinya, maka orang tersebut dianggap telah menghormati kebenaran dari Tuhan. Pasalnya, dalam konsep kekuasaan Jawa, para pemimpin ialah representasi dari konsep raja-dewa, gung binathara baudhendha hanyakrawati, ratu pinandhita, manunggaling kawula-Gusti.

Adanya wujud kursi yang dipakai duduk penguasa istana itu mengindikasikan penguasa sukses menempatkan dirinya sebagai wong agung yang kudu dihormati para kawula.
Tak cuma itu, pengaruh kejawen diterapkan pula dalam penciptaan dhampar kencana.

Konsep penciptaannya tidak lepas dari konsep orientasi ritual ke lautan (selatan). Rakyat percaya tempat ini dihuni makhluk halus di bawah asuhan Nyai Rara Kidul. Kemudian, ke utara berorientasi ke Gunung Merapi yang dikuasai Syeikh Maulana Jumadil Qubro. Serta konsep duduk yang berorientasi ke timur dan barat. Semua ini diimplementasikan dalam bentuk dhampar kencana sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaannya secara gaib.

Dalam tataran sosiologis seni, wujud dhampar kencana berada pada hierarki seni tinggi (high art) yang diagungkan, dimitoskan, dan disakralkan, terutama oleh masyarakat kejawen yang masih percaya adanya mitologi kekuasaan raja-raja di Keraton Yogyakarta.

Maklum kalau situasi memanas di bumi Yogyakarta tak hanya bikin risau keluarga aristokrat, tapi masyarakat Jawa juga khawatir. Dhampar kencana yang dikeramatkan itu berpeluang menjadi sumber malapetaka. Kesakralan kursi tiada artinya bila kaki kursinya berdiri berlumuran darah.

Jagad cilik guncang jika betul-betul pecah konflik kekuasaan. Cukup Keraton Kasunanan Surakarta saja yang punya riwayat "raja kembar". Bangsawan Keraton Yogyakarta kudu mampu menjadi sumber teladan di tingkat nasional. Biarlah mereka yang di gedung Senayan yang rebutan kursi dan miskin nilai keteladanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar