Kursi
Keraton
Heri Priyatmoko ; Alumnus Pascasarjana Sejarah FIB, UGM
|
KORAN TEMPO, 08 Mei 2015
Kahanan Keraton
Kasultanan Yogyakarta tengah memanas. Jutaan mata menyimak sabda raja kedua
yang dikeluarkan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Nama putrinya, GKR Pembayun,
diganti menjadi GKR Mangkubumi, dan ia pun ditunjuk sebagai putri mahkota.
Silang pendapat tak
terelakkan. Di satu pihak, hal itu dianggap melenceng dari tradisi dan
paugeran. Tapi, di pihak lain, dinilai bukan masalah karena sultan sebagai
raja punya wewenang melakukan perubahan.
Publik menebak,
gonjang-ganjing bermuara pada kursi keraton (dhampar kencana), lambang
kekuasaan atau status display. Di balik keelokan fisiknya serta keindahan
seni yang tinggi, kursi raja berdaya pikat luar biasa, sarat makna simbolis
dan mitologis yang sakral, unik, serta adiluhung. Saking keramatnya, ia tidak
gampang dijangkau masyarakat umum.
Eddy Supriyatna
Marizar, dalam bukunya berjudul Kursi Kekuasaan Jawa, dengan bagus
menafsirkan artefak kursi berkaitan dengan simbol kekuasaan Tuhan, dewa, dan
raja. Dhampar kencana dipandang sebagai alat pamer kekayaan, mengokohkan
kedudukan, kewibawaan, jabatan, keagungan, kehormatan, kejayaan, atau sebagai
simbol status sosial.
Simbol di lingkungan
istana punya relasi historis dengan keberadaan ragam simbol candi-candi
Hindu-Buddha di Jawa. Kenyataan ini menegaskan, raja bak titisan dewa.
Esensinya, jika orang
menghormati (ngajeni) pemimpin atau penguasa, termasuk kursinya, maka orang
tersebut dianggap telah menghormati kebenaran dari Tuhan. Pasalnya, dalam
konsep kekuasaan Jawa, para pemimpin ialah representasi dari konsep
raja-dewa, gung binathara baudhendha hanyakrawati, ratu pinandhita,
manunggaling kawula-Gusti.
Adanya wujud kursi
yang dipakai duduk penguasa istana itu mengindikasikan penguasa sukses
menempatkan dirinya sebagai wong agung yang kudu dihormati para kawula.
Tak cuma itu, pengaruh
kejawen diterapkan pula dalam penciptaan dhampar kencana.
Konsep penciptaannya
tidak lepas dari konsep orientasi ritual ke lautan (selatan). Rakyat percaya
tempat ini dihuni makhluk halus di bawah asuhan Nyai Rara Kidul. Kemudian, ke
utara berorientasi ke Gunung Merapi yang dikuasai Syeikh Maulana Jumadil
Qubro. Serta konsep duduk yang berorientasi ke timur dan barat. Semua ini
diimplementasikan dalam bentuk dhampar kencana sebagai alat untuk
melegitimasi kekuasaannya secara gaib.
Dalam tataran
sosiologis seni, wujud dhampar kencana berada pada hierarki seni tinggi (high
art) yang diagungkan, dimitoskan, dan disakralkan, terutama oleh masyarakat
kejawen yang masih percaya adanya mitologi kekuasaan raja-raja di Keraton Yogyakarta.
Maklum kalau situasi
memanas di bumi Yogyakarta tak hanya bikin risau keluarga aristokrat, tapi
masyarakat Jawa juga khawatir. Dhampar kencana yang dikeramatkan itu
berpeluang menjadi sumber malapetaka. Kesakralan kursi tiada artinya bila
kaki kursinya berdiri berlumuran darah.
Jagad cilik guncang
jika betul-betul pecah konflik kekuasaan. Cukup Keraton Kasunanan Surakarta
saja yang punya riwayat "raja kembar". Bangsawan Keraton Yogyakarta
kudu mampu menjadi sumber teladan di tingkat nasional. Biarlah mereka yang di
gedung Senayan yang rebutan kursi dan miskin nilai keteladanan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar