Reformulasi Kebijakan Perberasan
Khudori ; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan
Pusat; Penulis Buku ”Ironi Negeri Beras”; Peminat Masalah Sosial-Ekonomi
Pertanian dan Globalisasi
|
KORAN
SINDO, 04 April 2015
Presiden Jokowi menerbitkan Inpres Perberasan. Pada 17 Maret
lalu, inpres yang ditunggu-tunggu itu keluar. Inpres No 5/2015 menggantikan
Inpres No 3/2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras
oleh Pemerintah. Substansi isi tidak berbeda.
Inpres merupakan kebijakan Presiden yang ditujukan kepada
menteri terkait (delapan kementerian) dan para gubernur/ bupati/wali kota
untuk mengatur koordinasi dan pelaksanaan di setiap kementerian dalam rangka
kebijakan perberasan nasional. Inpres No 5/2015 mengatur harga pembelian,
menunjuk pelaksananya, mengatur hasil pembelian untuk keperluan apa, serta
menunjuk siapa yang melakukan koordinasi dan evaluasi.
Yang tak diatur adalah pola pembiayaan dan siapa yang
bertanggung jawab bila terjadi kerugian. Harga gabah kering panen di petani
Rp3.700/kg (sebelumnya Rp3.300/kg), gabah kering giling di gudang Bulog
Rp4.650/kg (sebelumnya Rp4.200/kg), dan beras di gudang Bulog Rp7.300/ kg
(sebelumnya Rp6.600/kg). Rata-rata naik 11%.
Kebijakan perberasan, terutama kebijakan harga tunggal atau
harga beras medium (satu kualitas), tidak mengalami perubahan sejak beleid
ini diberlakukan 46 tahun lalu. Padahal, selama lebih empat dekade pelbagai
aspek perberasan dan lingkungan berubah signifikan. Harga pembelian
pemerintah (HPP) tunggal yang tidak mempertimbangkan aspek musim dan kualitas
beras tidak lagi relevan.
Kebijakan itu hanya akan mempersulit pemerintah dalam
mengintervensi ketika terjadi kegagalan pasar: harga naik atau turun. Tanam
padi yang serentak telah menghasilkan irama panen ajek, hampir tidak
mengalami perubahan dari tahun ke tahun: musim panen raya (Februari-Mei
dengan 60-65% dari total produksi padi nasional), panen gadu (Juni-September
dengan 25-30% dari total produksi), dan musim paceklik (Oktober-Januari).
Pergerakan harga gabah/beras berfluktuasi mengikuti irama panen:
harga rendah saat panen raya (Februari-Mei), naik di musim gadu
(Juni-September), dan melambung tinggi saat paceklik (Oktober-Januari).
Pergerakan harga gabah/beras itu terjadi bukan semata-mata lantaran
berlakunya hukum supply-demand,
tetapi juga terkait dengan kualitas gabah/beras: kualitas gabah/beras rendah
saat panen raya, membaik pada panen gadu, dan baik saat paceklik.
Saat panen raya, petani tidak bisa mengandalkan panas matahari
untuk mengeringkan gabah. Akibatnya, kualitas gabah menurun. Petani menjual
hasil panen dengan kualitas seadanya. Kondisi sebaliknya terjadi pada saat
panen gadu dan di musim paceklik. Kenyataan di atas menunjukkan kualitas
gabah/ beras bervariasi mengikuti irama panen. Artinya, ada lebih satu
kualitas gabah/beras.
Inpres Perberasan yang selalu direvisi secara ajek dengan harga
HPP gabah/beras hanya satu kualitas alias kualitas tunggal tidak hanya
”melawan” pergerakan harga gabah/beras musiman (Sawit, 2009), tetapi juga
mengingkari kenyataan yang ada di lapangan. Untuk beras, di kios-kios
kelontong misalnya, ada 4-5 jenis beras, tidak hanya kualitas medium seperti
diatur Inpres Perberasan.
Di Pasar Induk Beras Cipinang misalnya ada 17 jenis (kualitas)
beras. Jenis-jenis beras itu mencerminkan perbedaan kualitas, yang harganya
juga berbeda-beda. Kebijakan harga tunggal juga telah mengingkari kenyataan
ada segmentasi pasar beras sesuai preferensi konsumen: segmen menengah-atas
yang mengonsumsi beras premium, dan segmen bawah yang mengonsumsi beras
medium.
Lebih dari itu, mempertahankan kebijakan harga tunggal semakin
menyulitkan pemerintah dalam menjalankan berbagai kebijakan salah satunya
intervensi harga melalui operasi pasar. Dengan hanya satu jenis beras
(kualitas medium), apalagi stok lama, mustahil operasi pasar bisa meredam
instabilitas harga semua jenis beras yang ada di pasar.
Selain sejumlah faktor lain, inilah salah satu penyebab operasi
pasar akhir-akhir ini tak efektif. Karena itu, sudah saatnya kebijakan harga
tunggal, baik untuk gabah maupun beras medium, diakhiri. Opsinya: mengganti
dengan HPP multikualitas, multilokasi, dan multivarietas. Kebijakan HPP
multikualitas pada gabah diperkirakan meningkatkan pendapatan petani.
Kebijakan ini diperkirakan bakal mendorong petani meningkatkan
produksi gabah dengan kualitas yang lebih baik melalui input produksi (bibit
unggul, pemupukan) maupun teknik budi daya yang baik (pengairan,
pemberantasan hama dan penyakit, serta teknik budi daya selaras alam).
Kebijakan HPP multikualitas pada beras diyakini akan mendorong
pedagang/penggiling untuk meningkatkan produksi beras berkualitas lewat
proses penggilingan yang lebih baik, dan perbaikan mesin dan operator.
HPP multikualitas dapat dirancang lewat kombinasi kriteria:
kualitas gabah/beras, musim panen, dan varietas (Sawit dan Halid, 2010). Pada tahap awal cukup dwikualitas: medium
dan premium. Setelah cukup berpengalaman, berikutnya bisa dikembangkan
menjadi lebih dari dua kualitas. Kebijakan HPP gabah dan beras multi lokasi
sebaiknya dihindari.
Meski biaya produksi padi bervariasi antarlokasi, menerapkan HPP
gabah dan beras multi lokasi bakal menciptakan diskriminasi. Akan lebih baik
dan adil bila faktor lokasi itu diakomodasi dalam kriteria varietas. Hampir
di semua daerah sentra produksi padi, sebagian petani masih menanam
varietas-varietas lokal (Winarto, 2011;
Soedjito, 1996).
Varietas lokal bisa diakomodasi dalam kebijakan HPP yang lebih
tinggi. Kebijakan ini diperkirakan akan menjamin lestarinya plasma nutfah
padi lokal. Pengalaman selama pu-luhan tahun menunjukkan, penyerapan beras
atau gabah setara beras oleh Bulog sebesar 60% terjadi di musim panen raya,
30% di musim gadu, dan 4% saat paceklik.
Besar-kecil penyerapan ini mengikuti irama panen dan pola
produksi padi, dengan demikian juga mengikuti pergerakan harga dan kualitas.
Dengan HPP gabah dan beras multi kualitas, pola penyerapan bisa disesuaikan
dengan irama panen: menyerap gabah dan beras secara besar-besaran pada panen
raya untuk memenuhi kuota beraskualitas medium.
Pada saat panen gadu dan musim paceklik, penyerapan gabah dan
beras ditujukan untuk memenuhi kuota beras kualitas premium. Sebagian beras
kualitas medium masih bisa diserap pada saat panen gadu. Dengan pola seperti
ini, penyerapan gabah dan beras bisa dimungkinkan akan berlangsung sepanjang
tahun.
Cara ini akan membantu pemerintah dalam mengendalikan harga
gabah/ beras, dan inflasi. Penyerapan beras kualitas medium ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan program Raskin. Sebaliknya, beras kualitas premium untuk
penyaluran non-Raskin, khususnya untuk mengisi cadangan beras pemerintah
(CBP).
Besaran beras medium dan premium harus dijaga seimbang, terutama
terkait stok akhir Bulog agar lembaga penyangga harga ini tidak terbebani
beban bunga komersial yang besar. Sebagai perusahaan umum, Bulog juga harus
efisien dan mampu menyetorkan keuntungan kepada negara.
Ketika Bulog merugi karena beban bunga komersial dalam
menjalankan fungsi-fungsi sosial (public
service obligation/PSO), seperti menyangga harga gabah/beras, menyerap
gabah/beras domestik, mengelola CBP, dan menyalurkan Raskin, direksi bisa
dinilai tidak perform dan setiap saat kursinya terancam tergusur.
Ini membuat direksi gamang. Output-nya, kinerja Bulog dalam
menjalankan tugastugas sosial menjadi tidak optimal. Dengan serangkaian
reformulasi ini dimungkinkan beleid pemerintah lebih operasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar