Tarikan
Politik Pilkada Serentak
Anna Luthfie ; Ketua DPP Partai Perindo
|
KORAN SINDO, 18 April 2015
Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada)
yang dilakukan secara serentak akan menjadi agenda politik babak kedua
setelah digelarnya Pemilihan Umum 2014.
Tarik-menarik soal penyelenggaraan dan konflik kepengurusan di
internal partai politik menjadi faktor yang turut mewarnai bagaimana potret
pilkada ini nanti digelar. Dasar hukum pelaksanaan pilkada sebenarnya sudah
digodok dalam rapat paripurna DPR, kemudian mereka mengesahkan dua peraturan
pemerintah pengganti undangundang (Perppu) menjadi undang-undang.
Sebanyak 442 anggota Dewan menyatakan setuju bahwa Perppu Nomor
1/2014 tentang perubahan atas UU Nomor 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Wali Kota, serta Perppu Nomor 2/2014 tentang Perubahan atas UU
Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, dapat disahkan menjadi
undang-undang (20/12/2014). Namun, sejumlah anggota DPR melihat masih ada
yang perlu perbaikan yang perlu dilakukan terkait permasalahan dalam Perppu
Nomor 1 dan 2 Tahun 2014.
Pasalnya, diperlukan pemenuhan kebutuhan landasan yuridis yang
komprehensif dan lebih baik dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah,
terutama tahun 2015 yang sudah memasuki tahapan persiapan. Dinamika di DPR
kemudian terjadi terkait waktu pelaksanaan. Pada awal Februari lalu fraksi-fraksi
di Komisi II DPR menyepakati pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota
serentak yang semula dijadwalkan 15 Desember 2015 diundur menjadi Februari
2016.
Pilkada berikutnya akan dilakukan pada 2017 dan 2018.
Pengunduran dilakukan untuk persiapan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Untuk
kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2015 bersama dengan
berakhirnya masa jabatan pada awal 2016, penyelenggaraan pilkada dijadikan
satu pada Februari 2016.
Untuk 2017 pilkada serentak dilakukan untuk kepala daerah yang
masa jabatannya berakhir pada paruh kedua 2016 dan 2017. Untuk kepala daerah
yang berganti masa jabatan pada 2019, pilkada digelar pada 2018 bersama
kepala daerah yang habis masa jabatan pada 2018. Perubahan jadwal ini
sebenarnya menindaklanjuti usulan KPU agar DPR memundurkan jadwal pilkada
serentak menjadi pertengahan 2016.
Namun, langkah DPR ini terlihat kurang disepakati oleh
pemerintah. Presiden Joko Widodo meminta pilkada serentak tetap berlangsung
pada September 2015. Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo
beralasan, jika pilkada langsung tetap digelar September 2015, sebagian besar
jadwal pilkada yang berjumlah 204 dapat dilaksanakan pada tahun ini juga.
Hanya tersisa 10 pilkada di kabupaten/ kota yang akan dipindah
pada pelaksanaan pilkada serentak tahun berikutnya. Hal ini diupayakan tidak
akan mengganggu proses penganggaran dan pembangunan di daerah serta laporan
pertanggungjawaban. Meskipun kemudian DPR dan pemerintah menyepakati pilkada
tetap digelar pada Desember 2015 dengan beberapa gelombang, harus diakui soal
pembahasan waktu ini menjadi tarikan politik pertama pelaksanaan pilkada
serentak.
Tarikan politik kedua adalah konflik kepengurusan partai
politik. Publik tentu masih ingat, sejak pemerintahan baru Jokowi-Jusuf Kalla
dilantik dua konflik partai politik lahir. Pertama kasus dualisme
kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) antara Muktamar Surabaya dan
Muktamar Jakarta. Kementrian Hukum dan HAM telah memutuskan PPP versi
Muktamar Surabaya yang diketuai Romahurmuziy sebagai kepengurusan PPP yang
sah.
Kubu PPP versi Muktamar Jakarta yang memilih Djan Faridz, juga
didukung mantan ketua umum Suryadharma Ali, mengajukan gugatan ke Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN). Hasilnya, kubu PPP pimpinan Djan Faridz dinyatakan
sebagai DPP PPP yang sah. Menariknya, pemerintah melalui Kemenkum HAM
mengajukan banding, termasuk kubu Romahurmuziy.
Padahal, jamak dipandang pemerintah semestinya bertindak netral,
siapa pun pengurus sebuah partai politik, pemerintah tidak memiliki
kepentingan apa pun. Ketika pemerintah mengajukan banding, tentu tuduhan
bahwa pemerintah memiliki kepentingan politik wajar terjadi. Apalagi saat
pengesahan PPP kubu Romahurmuziy, tidak lama dari menteri Hukum dan HAM
dilantik menjadi menteri.
Kedua adalah konflik Partai Golkar. Perseteruan Golkar versi
Munas Bali yang dikomandani Aburizal Bakrie dengan Golkar versi Munas Jakarta
yang dipimpin Agung Laksono seakan mengulang langkah Kemenkum HAM dalam
memperlakukan PPP. Menteri Hukum dan HAM telah mengesahkan Golkar versi Agung
Laksono berdasarkan putusan Mahkamah Partai Golkar.
Padahal, menurut versi kubu Munas Bali, tidak ada putusan
Mahkamah Partai yang memenangkan salah satu pihak. Golkar kubu Munas Bali pun
mengajukan gugatan ke PTUN. Putusan sela majelis hakim PTUN memerintahkan
Kemenkum HAM menunda putusannya terkait kepengurusan Golkar. Akibat putusan
sela ini, Golkar tatus quo dan kubu Munas Bali menyebut kepengurusan kembali
ke hasil Munas Riau 2009 di mana ketua umum dijabat Aburizal Bakrie dan
posisi sekretaris jenderal oleh Idrus Marham.
Konflik kedua partai ini diakui menjadi tarikan politik,
mengingat menjelang dihelatnya pilkada serentak, tentu partai politik butuh
konsolidasi dan kohesivitas politik. Bagaimanapun, pilkada menjadi momentum
bagi partai melakukan pemanasan awal sekaligus menguji jaringan politik. Seperti
diketahui, Koalisi Merah Putih berniat akan membangun koalisi ini sampai ke
daerah-daerah. Tentu, dengan konflik yang terjadi di internal PPP dan Partai
Golkar akan banyak memengaruhi bangunan koalisi politik yang dimiliki oleh
KMP.
Perbaikan Pilkada
Sejumlah perbaikan terhadap pelaksanaan pilkada telah dilakukan
dalam perubahan perundang- undangan. Tarikan politik ketiga adalah terkait
perubahan aturan dalam penyelenggaraan pilkada tersebut. Dalam revisi UU
Nomor 1/2015 tentang Pilkada disebutkan ada tiga perubahan, yakni pembatasan
politik kekerabatan atau politik dinasti, syarat pengajuan pasangan calon
harus memiliki dukungan 20 persen kursi DPRD atau minimal 25 persen suara
dalam pemilu, serta syarat kemenangan pemilu yang hanya berlaku satu putaran.
Jadi pasangan calon kepala daerah yang meraih suara terbanyak
langsung ditetapkan sebagai pemenang pilkada. Salah satu yang menjadi polemik
dan tarik-menarik adalah terkait syarat pencalonan, terutama yang berhubungan
dengan pembatasan politik kekerabatan. Syarat ini melarang calon yang maju di
pilkada memiliki hubungan darah dengan petahana. Hal ini tidak lepas dari
gejala politik kekerabatan di daerah yang terjadi begitu masif sejak era
reformasi.
Kekuasaan keluarga di daerah akan mengganggu sirkulasi politik
di daerah. Namun, sejumlah pihak yang lain menilai larangan ini dianggap
tidak sesuai UUD 1945 yang memberikan kepada semua orang memiliki kesempatan
yang sama untuk dipilih dan memilih sejauh hak politiknya tidak dicabut oleh
pengadilan. Sejumlah pihak saat ini sedang mengajukan uji materi terkait
aturan larangan politik kekerabatan tersebut dalam syarat pencalonan di
pilkada.
Setidaknya ada enam perkara yang mempersoalkan syarat pencalonan
itu, antara lain larangan konflik kepentingan, larangan calon yang pernah
dijatuhi pidana lima tahun atau lebih untuk mengikuti kontestasi, serta
larangan pegawai negeri sipil maju sebagai pasangan calon di pilkada. Dalam
pertimbangan para pengaju uji materi, rakyat memiliki kedaulatan penuh untuk
memilih langsung pemimpinnya.
Dengan pembatasan yang terjadi pada syarat pencalonan di atas,
seakan-akan pembuat undang-undang menghukum seseorang tanpa batas waktu dan
selamanya tidak berhak menjadi kepala daerah. Polemik aturan hukum inilah
yang dipandang oleh penulis sebagai tarikan politik ketiga yang akan menjadi
ganjalan pada pelaksanaan pilkada langsung serentak yang pertama kali digelar
tersebut. Dalam konteks demokrasi, tentu tarikan-tarikan politik ini menjadi
ujian tersendiri, terutama bagi partai politik untuk melakukan komunikasi dan
konsolidasi politik. Bagaimanapun, partai politik adalah ujung tombak dari
sebuah kontestasi politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar