Minggu, 19 April 2015

Pergaulan Tanpa Perjumpaan

Pergaulan Tanpa Perjumpaan

Damhuri Muhammad  ;  Sastrawan; Tinggal di Depok
KOMPAS, 18 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sepuluh tahun lalu, warung kopi barangkali masih lazim jadi tempat berkumpul, ruang yang lapang untuk bertemu-muka, dan bercengkerama dengan kawan-kawan sebaya.

Namun, pada era digital ini, kedai kopi-di kota-kota besar dimodernkan jadi kafe-telah beralih rupa jadi tempat paling layak guna mengasingkan diri. Saban petang selepas jam kerja, dua orang yang selama berminggu-minggu duduk berdampingan meja di kafe yang sama bisa tidak saling sapa, apalagi  berkenalan.

Masing-masing sibuk dan asyik memencet keypad telepon pintar, tanpa peduli kanan-kiri. Keganjilan itu lumrah dan mungkin bisa dimaklumi karena hampir semua pengunjung di kafe itu datang dengan itikad yang serupa: mencari kesendirian.

Ini pula yang terjadi saban pagi di gerbong-gerbong kereta api listrik (commuterline) di Jakarta. Dalam situasi keberimpitan, ketika lutut nyaris tak bisa digerakkan dan kuduk hampir beradu dengan siku penumpang lain, setiap orang masih nyaman dan tampak lincah memainkan tombol-tombol telepon pintar dengan sebelah tangan, sementara tangan satu lagi tetap kuat berpegangan.

Orang-orang yang bahu dan lengan mereka setiap hari saling bersentuhan di gerbong yang sama boleh jadi tak pernah saling menyapa, apalagi berbincang dengan saling bertatapan. Bahkan, agar terhindar dari percakapan, banyak yang sengaja memasang perangkat handsfree di telinga masing-masing.

Beberapa sahabat lama yang bertemu setelah belasan tahun terpisah oleh jarak dan waktu kecewa karena reuni singkat itu jauh dari harapan. Betapa tidak? Setelah berbasa-basi sekadarnya, lantas sedikit bernostalgia tentang masa-masa bersama di sebuah restoran, satu per satu kemudian sibuk dengan gawai sendiri-sendiri. Meja pertemuan yang semula dibayangkan bakal riuh dan riang tiba-tiba sunyi dari obrolan dan canda-tawa. Kerinduan yang meluap-meluap itu tak terlunaskan. Rencana pertemuan selanjutnya mungkin tak layak dilanjutkan. Reuni itu dingin dan tak bermutu.

Begitulah kemarau kehangatan yang sedang melanda karena kita gandrung bersembunyi di rumah virtual dalam telepon pintar. Hubungan persahabatan yang secara manusiawi direkat oleh ekspresi muka yang berseri-seri kini sekadar angka-angka jumlah teman di Facebook, jumlah follower di Twitter dan Instagram. Lalu, di mana wajah yang dalam gagasan filsuf Emmanuel Levinas (1906-1995) dipandang sebagai syarat utama perjumpaan? Bagi Levinas, hidup bersama adalah hidup yang terus berdenyut dengan pertemuan antarwajah. Demikian pula dengan keseharian kita. Kekariban sesungguhnya hanya terwujud atas dasar muka bertemu muka. Ekspresi dan emosi yang terpancar di raut wajah adalah bagian paling inti dalam relasi persahabatan.

Gamang

Pada tingkat yang lebih janggal, telepon pintar telah sukses membuat banyak orang gamang pada perjumpaan. Banyak yang hampir percaya, bukan hanya muka dan segenap anggota tubuh, melainkan perasaan juga bisa di-online-kan.

Pada masa lalu, jika kita hendak mencari sebuah alamat, ada peribahasa lama yang selalu memandu: malu bertanya sesat di jalan. Maka, sebelum tiba di tujuan, kita bisa dua-tiga kali bertanya kepada warga sekitar. Bukan bertanya kepada aplikasi global positioning system (GPS) di perangkat telepon pintar, sebagaimana kini banyak dilakukan. GPS mungkin tak pernah salah dalam menunjuk arah, tetapi ia mengasingkan para penggunanya dari relasi sosial yang lumrah, menjauhkan kita dari keramahan yang sejak lama telah menjadi basis kebudayaan kita.

Demam gawai tidak mungkin dibendung. Harganya kian terjangkau. Selain karena iming- iming cicilan ringan, kita memang gemar berbelanja barang-barang yang sebenarnya tak dibutuhkan. "Jangankan anak- anak sekolah, tukang beruk pun kini punya ha-pe," begitu sinisme seorang petani di kampung saya, saat anak perempuannya-kelas III SMP-merengek minta dibelikan telepon genggam layar sentuh.

Di pelosok-pelosok, dalam jarak hanya 4-5 rumah, seorang ibu rumah tangga yang hendak meminjam wajan dan rupa-rupa perkakas makan untuk hajatan tak perlu berjalan kaki menyampaikan maksudnya. Cukup menelepon dan beres persoalan. Namun, bagaimana dengan kekerabatan bertetangga yang dulu berpijak pada hubungan antarmuka? Bagaimana dengan etos keguyuban yang tak mungkin ada tanpa bertemu muka?

Rumah virtual yang kita pancangkan di telepon genggam telah merenggutnya sedemikian rupa hingga kita merasa tidak lagi butuh perjumpaan ragawi. Dunia cyberspace memang telah melipat ruang spasial, tetapi-pada saat yang sama-ia juga menggali jurang sosial yang nyaris tak terjembatani. Inilah etos pergaulan tanpa perjumpaan di era digital. Alih-alih memperkokoh relasi sosial, ia justru melahirkan personalitas yang asosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar