Selasa, 21 April 2015

Memilih Kembali Megawati adalah Keputusan Bijaksana

Memilih Kembali Megawati

adalah Keputusan Bijaksana

Salim Said  ;  Guru Besar Ilmu Politik Pertahanan Indonesia;
Direktur Eksekutif Institut Peradaban
SINAR HARAPAN, 15 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Keputusan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memilih kembali Megawati sebagai ketua umum (ketum) adalah keputusan bijaksana. Ini bukan tanpa direncanakan. Keputusan mengangkat kembali Megawati sebagai Ketum PDIP sudah disepakati pada Rakernas PDIP di Semarang sekian bulan silam. Adalah berlebih-lebihan kerendahanhatinya jika Mega mengaku "tidak menyangka" dipilih kembali sebagai Ketum PDIP.

Megawati jelas berkepentingan memimpin kembali PDIP. Ini karena kalau kongres dibiarkan berjalan  secara demokratis, hampir tak ada jaminan PDIP tidak dilanda perpecahan seperti yang dialami beberapa partai lainnya akhir-akhir ini.

Salah satu acara kongres, munas, atau muktamar berbagai partai akhir-akhir ini adalah munculnya "agenda" perpecahan karena perebutan kepemimpinan. Dilihat dari sudut ancaman seperti ini, Megawati sangat bijaksana bersepakat dengan sejumlah kadernya untuk tetap menjadi Ketum PDIP.

Apakah Megawati gagal melakukan kaderisasi? Ya, tapi juga tidak. Kelihatannya gagal. Namun, jika demikian  sebagian besar partai politik (parpol) kita juga mengalami kegagalan bersama. Partai-partai kita  sekarang ini sebagian besar memang partai-partai yang berpusat pada poros pribadi. Inilah penjelasannya kenapa sulit membayangkan Partai Demokrat (PD) sanggup bertahan utuh tanpa SBY (dan mungkin kelak juga tanpa  keturunannya), Hanura tanpa Wiranto,Gerindra tanpa Prabowo, dan mungkin juga nanti  Nasdem tanpa Surya Paloh.

Lagi pula kaderisasi, terutama hanya mungkin jika partai-partai merumuskan ideologi dan agenda politik yang jelas. Di masa-masa sebelumm Orde Baru yang terjadi adalah justru sebaliknya. Ideologi terlalu menonjol sehingga kerja sama antara partai tak kunjung tercapai. Rezim Orde Baru adalah pemerintahan antiideologi, tapi sebenarnya menciptakan ideologinya sendiri yang tidak lain adalah pragmatisme.

Di masa itu yang penting adalah pembangunan sebagai pelaksanaan pragmatisme. Tampaknya partai-partai pasca-Orde Baru telanjur terlena dalam cara berpolitik Orde Baru yang risih terhadap ideologi. Megawati memang selalu bicara tentang ajaran Soekarno. Namun ajaran yang mana, tidak pernah jelas kecuali Trisakti. Sulit dibayangkan ada orang Indonesia yang menolak Trisakti. Akan tetapi, persoalannya adalah agenda apa yang harus dijalankan untuk sampai pada tingkat Trisakti.

Setelah terpilih melanjutkan "kontrolnya" atas PDIP yang ditengarai sangat tergantung pada trah Soekarno, beban tambahan bagi Megawati sejak kongres Bali adalah mengaderisasi (mempersiapkan) cucu-cucu Soekarno untuk melanjutkan kepemimpin trah itu atas PDIP.

Pertanyaan-pertanyaan yang dihadapi Megawati dan PDIP ke depan, apakah akan menemukan cucu Soekarno yang bisa diterima massa PDIP? Dalam hal ini dua hal yang perlu diingat. Megawati muncul sebagai tokoh politik penting pasca-Orde Baru bukan melulu karena dia putri Soekarno, melainkan juga karena dirinya dipersepsikan sebagai korban kezaliman Orde Baru. Dengan kata lain, yang membesarkan Megawati tak hanya Soekarno, tapi terutama Soeharto.

Hal kedua yang tidak kurang penting bagi keutuhan PDIP dan kelanggengan trah Soekarno pada kepemimpinan PDIP adalah dinamika politik yang  tercipta dan terus berkembang oleh perubahan masyarakat dan makin jauhnya jarak generasi sekarang  dan generasi mendatang dari masa Soekarno.

Juga harus diingat, PDIP bukan kelanjutan Partai Nasional Indonesia (PNI), melainkan gabungan banyak dan berbagai partai, meski yang mayoritas adalah mantan anggota PNI. Karena itu, kalau Megawati terlalu menekankan ajaran Soekarno sebagai ciri PDIP, bukan tidak mungkin sang ketum secara berangsur mengalienasi anggota PDIP yang sumbernya bukan PNI.

Di Bali beberapa hari lalu, pertanyaan-pertanyaan demikian mungkin belum mendesak dipikirkan. Itu karena yang jadi soal bagi Megawati hari-hari ini adalah menguatkan kembali kontrolnya atas "petugas partai' yang dipilih dan didukungnya sebagai presiden. Urusan partai sudah dipandang beres.

Dari Bali, Megawati pulang sebagai penguasa tunggal PDIP tanpa ancaman yang mengusik keutuhan partai dan dominasi sang ketum. Namun, untuk berapa lama?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar