Lonceng
Munir dari Den Haag
Ali Nur Sahid ; Peneliti Pusat Studi Agama dan
Demokrasi (PUSAD) Paramadina
|
KORAN SINDO, 18 April 2015
Kita patut berbangga, seorang pejuang HAM Indonesia dijadikan
nama jalan di sudut Kota Den Haag, Belanda, bersebelahan dengan Jalan Martin
Luther King.
“Munirpad: Munir Said
Thalib 1965-2004, Indonesische voorvechter van de bescherming de rechten van
de mens” (Jalan
Munir: Munir Said Thalib 1965-2004, Advokat Pejuang HAM). Sebuah penanda
solidaritas kemanusiaan, sekaligus dukungan atas penuntasan kasus pembunuhan
Munir 11 tahun silam. Di sisi lain, janji Presiden Jokowi untuk menuntaskan
impunitas tak kunjung terwujud.
Suciwati, istri almarhum Munir, dalam pidatonya di depan wali
kota Den Haag (14/4/15), terharu sekaligus berharap ada yang terang di
negerinya. “Saya yakin apresiasi ini
pasti tidak sembarangan. Nama Munir ada di sini karena apa yang dia lakukan.
Sayangnya, ini bukan di tanah airnya sendiri, bukan di negeri tempat ia lahir
dan dibesarkan bersama orang-orang lain yang mengaku sebangsa. Dan bukan
diberikan oleh Ibu Pertiwi yang kepadanya ia bersumpah setia sepanjang
hidupnya”.
Tidak dengan tiba-tiba jalan Munir ini tertancap menghubungkan
dengan kawasan di jalan-jalan yang dinamai para aktivis HAM dunia. Awalnya,
WaliKota Den Haag, Jozias van Aartsen, yang sebelumnya
menjabatmenteriluarnegeri Belanda, ragu membuat Munirpad karena alasan politis
diplomatik.
Tapi karena ada desakan dari sejumlah pegiat HAM (Amnesti
Internasional) dan dukungan publik, akhirnya pada 2011 Munirpad ini
dicanangkan. Ada empati sekaligus tuntutan di sudut jalan Munirpad. Tertanam
ingatan dan selalu dikenang oleh setiap orang yang melewatinya; tentang Munir
dan perjuangannya. Jika di negeri orang dedikasi Munir diabadikan, di tempat
kelahirannya penuntasan kasusnya terseok-seok, bahkan diabaikan.
Langkah pencarian kebenarannya mentok di pelaku lapangan
Pollycarpus yang sekarang bahkan sudah menghirup udara bebas. Padahal, tidak
adanya penuntasan juga menjadi momok bagi para pegiat kemanusiaan: kejadian
serupa bisa menimpa siapa saja dan di mana saja. Dan kelam itu kita semua tak
ingin terjadi. Meski kasusnya sudah sebelas tahun berlalu, perjuangan atas
kasus pelanggaran hak asasi manusia tak pernah sirna.
Ada yang universal dan nilai-nilai kemanusiaan dihargai bersama.
Bahwa pembunuhan, pa lagi pada pegiat HAM, adalah ancaman bagi demokrasi dan
kebebasan. Dari surat yang dibuat The Right
Livelihood Awards (nobel
alternative), lembaga yang memberikan penghargaan bagi para penganjur
perdamaian dan keadilan, sebanyak 158 tokoh penerima award dari 65 negara
menyerukan Presiden Jokowi berani menuntaskan kasus Munir.
Dorongan yang sama dilakukan Amnesty Internatinal, ribuan orang
dari 86 negara berharap keadilan serupa. Solidaritas kemanusiaan yang terus
mengalir dari belahan dunia ini juga mengingatkan pemerintah Indonesia agar
tidak tersesat pada wacana belaka. Banyak tokoh dunia mendukung, tak perlu
ragu melangkah. Tengok saja ada Asma Jahangir (Pakistan), Sima Samar
(Afghanistan), Asghar Ali Engineer (India), Carmel
Budiardjo (UK), dan Johan Galtung (Norway).
Surat resmi mereka akan disampaikan pada Presiden Jokowi pertengahan
April 2015 ini. “Munir telah membuat
upaya yang luar biasa untuk memperbaiki situasi hak asasi manusia di
Indonesia,” ungkap Eduard Nazarski, sirektur Amnesty International Belanda. Lonceng dari Den Haag ini patut
jadi pemicu agar kasus Munir dituntaskan. Dukungan dari berbagai masyarakat
belahan penjuru dunia hendaknya bisa mendorong pemerintah saat untuk membuat
penanda konkret tentang penyelesaian kasus Munir.
Dengan membuka kembali laporan Tim Pencari Fakta (TPF) 2005, dan
mengevaluasi jaksa agung atas proses hukum yang tak menyeret otak pembunuh
Munir. Tentunya, membentuk penyelidikan baru dapat dilakukan agar lapisan
pelakunya terungkap. Pembelaan Munir pada kemanusiaan memang perlu dicatat.
Pemberian nama jalan di Belanda hendaknya tak hanya berhenti pada pemaknaan
simbolik, tapi juga laku politik dan hukum di Indonesia.
Praktiknya ditentukan oleh komitmen Jokowi-JK selama periode
kepemimpinannya. Masih hangat dalam ingatan, pada Desember 2014 lalu,
Presiden mengoordinasikan tiga lembaga setingkat menteri untuk membicarakan
kasus Munir. Di dalamnya melibatkan Kejaksaan Agung, Menteri Hukum dan HAM,
dan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Masukan sejumlah pegiat HAM dan
Komnas HAM pun sudah di tangan. Publik menunggu langkah nyata berikutnya.
Barangkali Munir tidak berharap namanya dikenang menjadi jalan.
Semasa hidupnya dia tak mabuk sanjungan, meski beberapa kali diganjar
penghargaan Internasional. Cita-cita Munir
sederhana: negeri yang dicintainya, yang telah merampas nyawanya dengan
semena-mena, menghargai hak asasi manusia, mewujudkan keadilan untuk kaum
papa yang dibelanya. Dan semoga Nawacita bisa mewujudkannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar