Pemimpin
Bukan ‘Petugas’
Zaenal A Budiyono ; Direktur Eksekutif Developing
Countries Studies Center (DCSC) Jakarta
|
REPUBLIKA, 17 April 2015
Kongres PDIP IV di Bali belum lama ini mengirim pesan
mengejutkan. Pesan ini dikirim oleh sang Ketua Umum Megawati Soekarnoputri
untuk menyindir para elite dan kader PDIP, termasuk Presiden Joko Widodo.
"Sebagai kepanjangan tangan partai, kalian adalah
petugas partai. Kalau enggak mau disebut petugas partai, keluar!" Itulah kutipan pidato Mega yang setidaknya menggambarkan sikap
politik PDIP terhadap jabatan publik.
Idiom petugas partai bukan kali pertama ini muncul sebagai isu
nasional. Sejak memenangi Pilpres 2014, polemik "petugas partai"
sudah muncul dari Mega dan Puan Maharani. Kedua tokoh kunci PDIP saat itu
menggambarkan posisi politik Presiden Jokowi dan relasinya dengan partai.
Adalah benar kader partai merupakan pengikut, pelayan, atau
petugas partai. Sebagaimana dikatakan Gabriel Almond, salah satu fungsi
partai politik adalah rekrutmen politik. Partai melakukan penyeleksian kader
partai untuk mengisi jabatan di pemerintahan. Dalam perkembangannya, partai
menunjukkan sikap dan pengakuan adanya "batas
antara kekuasaan partai dan kekuasaan rakyat".
Seperti yang terjadi di Partai Demokrat AS awal 1960. Saat itu,
John F Kennedy, kader Partai Demokrat, memenangkan Pilpres 1961. Sesaat
setelah terpilih, Kennedy mengatakan, "My
loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins."
Sikap tegas Kennedy menunjukkan dia bisa memisahkan antara ruang publik dan
ruang partai, kepentingan negara dan kelompok.
Meskipun saat kampanye presiden ia didukung Partai Demokrat,
Kennedy merasa tidak ada salah dengan sikapnya itu. Partai Demokrat AS pun
mendukung penuh loyalitas Kennedy ke negara di atas loyalitas ke partai.
Partai Demokrat pada kongres partai atau acara lainnya tak pernah menyindir
Kennedy terkait loyalitasnya. Sebaliknya, Demokrat justru menjadi kekuatan
utama pendukung presiden di parlemen.
Sikap atau ijtihad demokrasi Kennedy sangat besar pengaruhnya.
Pandangan politik Kennedy mengilhami banyak elite partai di negara-negara
demokrasi untuk menghargai dan memisahkan antara "tugas negara" dan
"tugas partai". Tak terkecuali di Indonesia pasca-Orde Baru ketika
demokrasi mulai tumbuh dan mekar.
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang terpilih pada Pemilu
1999 tidak pernah menunjukkan sikap tunduk terhadap partainya, PKB, maupun
koalisi pendukungnya. Sampai saat ia diturunkan oleh MPR yang di dalamnya
termasuk koalisi partai pendukungnya, 2002, Gus Dur tak pernah menunjukkan
tanda-tanda tunduk kemauan partai. Walaupun untuk itu, ia membayar mahal
sikap kerasnya dengan terusir dari istana.
Presiden Megawati Soekarnoputri yang menggantikan Gus Dur juga
tak pernah terlihat ditekan partainya dan koalisi. Ini karena Mega—sama
seperti Gus Dur—juga memiliki pengaruh politik di atas elite PDIP manapun.
Begitu pun dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berkuasa pada
2004-2014, tidak kesulitan mengendalikan Demokrat dan koalisi pendukungnya.
Elite Partai Demokrat justru "memprotes" minimnya
perhatian dan waktu SBY untuk partainya dibandingkan mengurus negara. Kendati
kemudian, Demokrat mulai terbiasa dengan gaya kepemimpinan SBY yang
mementingkan tugas negara dibandingkan partai.
Bila ketiga pemimpin Indonesia terdahulu tidak banyak hambatan
dalam relasi presiden-partai, tidak demikian dengan Presiden Jokowi. Publik
melihat Mega dan PDIP seakan-akan mengintervensi Jokowi. Kalau ini benar
terjadi, tentu ada sesuatu yang mis di PDIP, khususnya dalam manajemen
konflik dan komunikasi politik internal antarkader yang biasanya berjalan
harmonis, dengan Mega sebagai faktor tunggal.
Manajemen konflik menjadi tema menarik untuk menggambarkan
"pertarungan" pengaruh antara Mega dan Jokowi. Meskipun pengaruh Mega
secara formal tak tergoyahkan hingga kini—kembali terpilih secara aklamasi di
kongres—faksi pro-Jokowi di PDIP terus menguat. Faksi ini menganggap Jokowi
lebih layak memimpin PDIP. Hal ini linier dengan temuan survei Lembaga Survei
Indonesia (LSI) mengenai ketum PDIP pilihan rakyat. Hasil survei menunjukkan
Jokowi diunggulkan dibandingkan Megawati dengan 36,8 persen, sedangkan Mega
23,9 persen.
Meskipun memiliki modal sosial lebih dari cukup, faktanya Jokowi
tak menggunakan itu untuk memperbaiki PDIP ke depan. Ia memilih diam dan
menerima dominasi Mega meskipun ia "teralienasi" di tengah kongres
lalu.
Sudah menjadi konvensi bila presiden atau wapres hadir di
kongres parpol, ia akan mendapat panggung untuk pidato. Parpol pun merasa
terhormat bila RI-1 hadir dan memberikan sambutan. Namun, hal ini tidak
terjadi di Bali.
Presiden Jokowi yang sudah menyiapkan draf pidato tidak
diberikan waktu pidato. Padahal, awalnya pihak Istana mengonfirmasi Jokowi
akan tampil (Majalah Tempo, 13 April
2014). Seolah Presiden Jokowi "tak dianggap" oleh Mega dan
PDIP. Dan puncaknya—sebagaimana awal tulisan ini—Mega menegaskan pentingnya
loyalitas "petugas partai". Mega juga menyinggung pihak yang ia
istilahkan "menyalip di tikungan" dan "pemimpin yang tidak
taat konstitusi". Ketiga frasa di atas sulit untuk tidak dikaitkan
dengan Presiden Jokowi.
Menyoal penekanan
Mega agar pemimpin taat konstitusi dan penggunaan logika "kehendak partai
sejalan dengan kehendak rakyat", itu terlalu
menyederhankan masalah. Faktanya, keinginan rakyat kerap berseberangan dengan
agenda parpol.
Pencalonan Kapolri Komjen Budi Gunawan yang mendapat penolakan
masyarakat memaksa Presiden Jokowi tunduk pada tekanan publik. PDIP justru
menyerang kebijakan Jokowi dan memaksa mengangkat BG karena penolakan Jokowi
tak berdasarkan konstitusi. Namun, Jokowi terlihat gamang, dengan tidak
segera mengambil keputusan yang membuat kegaduhan politik. Kegamangan
Presiden Jokowi disinyalir akibat tekanan partainya sendiri, bahkan sempat
muncul isu Jokowi akan menyeberang ke Koalisi Merah Putih (KMP).
Apa yang terjadi pada Jokowi saat ini bukanlah sesuatu yang baru
dalam politik. Di politik dikenal istilah populer, "tak ada lawan dan kawan abadi, yang ada kepentingan abadi".
Dari sana Presiden Jokowi seharusnya bisa menyimpulkan dukungan dari Mega,
PDIP, dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) bukanlah sesuatu yang mutlak.
Semuanya sangat dinamis tergantung dari kepentingan masing-masing pihak.
Sebaliknya, oposisi KMP juga bukanlah perlawanan tanpa akhir,
selama kepentingannya bisa didamaikan. Dengan kata lain, meskipun mendapat
tekanan dari Mega dan PDIP, sejatinya jalan Presiden Jokowi untuk menegaskan
dirinya sebagai pemimpin 250 juta rakyat Indonesia sangat terbuka. Tinggal menunggu
keberanian dan sikap tegas Jokowi untuk memilih dan mementingkan loyalitas
kepada rakyat (pemilihnya) atau loyalitas kepada partai yang menganggapnya
hanya seorang petugas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar