Gelora
Daya Dasasila
Asep Salahudin ; Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren
Suryalaya;
Peneliti di Lakpesdam PWNU Jawa Barat
|
KOMPAS, 18 April 2015
"And I beg of you, do
not think of colonialism only in the classic form which we of Indonesia, and
our brothers in different parts of Asia and Africa, know. Colonialism has
also its modern dress, in the form of economic control, intellectual control,
actual physical control by a small but alien community within a nation."
Kalimat di atas adalah cuplikan dari pidato Bung Karno pada
pembukaan Konferensi Asia Afrika yang diselenggarakan di Bandung, 60 tahun
silam, tepatnya pada 18-25 April 1955. Sebuah pidato dengan menggunakan
bahasa Inggris fasih selama 40 menit, yang suaranya tak berhenti sebatas
dinding Gedung Merdeka, tetapi bergema
menggetarkan seantero dunia.
Singa Podium yang sudah terlatih berbicara di hadapan khalayak
semenjak menjadi manusia pergerakan itu pesan politiknya tidak saja mampu
menghipnotis para kepala negara yang datang dari Benua Asia dan Benua Afrika,
tetapi juga menjadi perhatian dua blok Timur dan Barat yang sedang
bersengketa. Sekaligus kata-katanya yang
penuh rajah telah membangkitkan
massa di sejumlah negara yang masih berada dalam sekapan kaum kolonial untuk
memperjuangkan takdir gelapnya.
Dasasila Bandung adalah bukti otentik bagaimana si Bung Besar
memastikan kehadirannya sebagai sosok yang terampil memainkan peran politik
di tingkat internasional. Seakan Sang Proklamator itu hendak berkata, seperti
tampak pada butir-butir Dasasila, bahwa segenap perilaku kolonialisasi sama
sekali tidak memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang di belahan bumi mana
pun.
Bahwa kolonialisme adalah bertentangan dengan akal sehat dan
sepenuhnya berseberangan dengan hak-hak dasar manusia. Perdamaian abadi
seharusnya menjadi misi kolektif dan setiap perselisihan diselesaikan lewat
perundingan, persetujuan, arbitrase, ataupun cara damai lainnya, menurut
pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan Piagam PBB. Menghormati
kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa merupakan keniscayaan.
Di Konferensi Asia Afrika, Bung Karno mewujudkan mimpinya tidak
saja sebagai penyambung lidah rakyat negeri kepulauan yang baru saja merebut
kemerdekaannya, tetapi juga sekaligus penyambung lidah masyarakat Asia dan
Afrika yang kebanyakan masih terbelit kaum penjajah.
Seperti dalam pengakuan jujur tokoh pemimpin Afrika Selatan,
Nelson Mandela, bahwa sosok Bung Karno besar pengaruhnya dalam kemerdekaan
bangsa-bangsa Afrika, menjadi ilham bagi perjuangan menghapus politik
apartheid yang telah menjebak Afrika Selatan dalam politik kelam diskriminasi
sepanjang 1948 sampai awal 1990-an.
Nubuat Bung Karno
Lewat nubuat pidatonya
Bung Karno seperti sedang dirasuki kenangan silam ketika menyampaikan pleidoi "Indonesia
Menggugat" saat harus mempertanggungjawabkan sikap revolusionernya di
hadapan pengadilan Hindia Belanda pada Desember 1929.
Namun, alih-alih gentar, justru semakin menginjeksikan sebuah
keyakinan futuristik dan kesabaran revolusioner (Karl Marx) bahwa proklamasi
itu sudah "hamil tua" dan hanya tinggal menunggu waktu yang tidak
akan lagi terlampau lama. Tidak mustahil bayangan Sang Guru Tjokroaminoto
yang disebut-sebut sebagai Raja Jawa tanpa mahkota terus melintas menggedor
alam pikirnya, Sang Guru sebagai mentor utama yang menanamkan kesadaran
"berbangsa", keinsyafan pentingnya terbebas dari aneksasi Hindia
Belanda.
Bung Karno seolah tidak ingin hanya bangsanya saja yang merdeka.
Kemerdekaan itu harus juga dirasakan bangsa-bangsa lain. Sebut saja,
misalnya, bagaimana saat itu dari 43 negara di Afrika hanya ada 5 negara yang
sudah merdeka, yakni Afrika Selatan
(1910), Mesir (1922), Liberia dan Etiopia (1947), Libya (1951). Dan sisanya
sebagian besar masih dalam cengkeraman penjajah Inggris, Perancis, Belgia, dan Jerman.
Itulah salah satu kelebihan Bung Karno, kelebihan orang-orang
besar yang sudah makrifat dan maqam-nya tak sekadar presiden, tetapi
"menjadi" presiden: lebih memperhatikan khalayak ketimbang diri dan
kepentingan sempit partainya sendiri. Seorang pemimpin yang sayap imajinasinya melintasi garis
khatulistiwa melanglang buana
menjangkau horizon yang sangat jauh,
menyentuh Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Bagi Bung Karno, usia kemerdekaan yang baru saja diraihnya
bukanlah alasan untuk tidak berbuat kepada negara lain. Justru sebaliknya
Bung Karno tampil percaya diri mendorong Indonesia mengambil inisiatif dalam kancah diplomasi pergaulan
internasional dengan kepala tegak,
percaya diri, berdaulat, dan penuh harkat.
Relevansi
Tak terasa, 60 tahun sudah Konferensi Asia Afrika itu
dilangsungkan. Kalau 19-24 April 2015
Konferensi Asia Afrika "dirayakan" kembali dengan mengundang 109
kepala negara, tentu bukan hanya tapak tilas mengembalikan ingatan lampau,
melainkan sebagai satu pintu masuk guna menyuntikkan satu kenyataan getir
bahwa apa yang dirisaukan Bung Karno tentang kolonialisasi itu benar adanya
dan masih terus berlangsung.
"Saya tegaskan kepada
Anda semua, kolonialisme belumlah mati. Dan, saya meminta kepada Anda jangan
pernah berpikir bahwa kolonialisme hanya seperti bentuk dan caranya yang
lama, cara yang kita semua dari Indonesia dan dari kawasan-kawasan lain di Asia
dan Afrika telah mengenalinya. Kolonialisme juga telah berganti baju dengan
cara yang lebih modern, dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual,
dan kontrol langsung secara fisik melalui segelintir elemen kecil, tetapi
terasing dari dalam suatu negeri. Elemen itu jauh lebih licin, tetapi bisa
mengubah dirinya ke dalam berbagai bentuk."
Konferensi Asia Afrika itu memiliki tautan relevansi kuat justru
ketika kolonialisasi fisik khatam dan kemudian bermetamorfosis dalam wujud
yang tidak kalah getir: penjajahan yang dilakukan bangsa sendiri.
Bung Karno seperti bangkit dari alam kubur dan mengingatkan lewat mikrofon Gedung
Merdeka bahwa selama politik dikelola secara partisan dan politisi belum
ikhlas mewakafkan dirinya demi kepentingan bangsa ketika diangkat menjadi
pejabat negara, relasi sosial gaduh dengan aneka macam kekerasan, intelektualisme dihinakan dalam
tata kelola pemerintahan, ekonomi
hanya berpihak kepada segelintir orang, dan Ketuhanan yang Maha Esa kian
tidak berkebudayaan sementara kekuatan asing semakin leluasa menguasai sumber
daya alam kita, selama itu pula sesungguhnya kita sedang mempertaruhkan roh
kemerdekaan itu sendiri.
Spirit Dasasila kita terakan sebagai rute menuju jalan
keindonesiaan yang merdeka. Semerdeka-merdekanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar