Cek
Kosong Bangsa
Garin Nugroho ; Penulis Kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 19 April 2015
”Setiap kandidat presiden
di negeri ini seperti memberi cek kosong kepada rakyat atas nama
berbeda-beda, kemudian harus mengisinya secepatnya ketika terpilih.”
Presiden Soekarno membawa cek kosong atas nama popularitas yang
visioner berbasis spirit nasionalisme, kemerdekaan, dan keadilan. Soekarno di
awal pemerintahannya mampu mengisi cek kosong dengan mentransformasi
Indonesia dalam peran dunia di tengah langkanya sumber daya manusia di
berbagai bidang dan belum terbentuknya dasar dan infrastruktur organisasi
berbangsa, bahkan dalam ekonomi yang minus.
Presiden Soeharto yang tidak populis membawa cek kosong atas
nama kestabilan ekonomi dan keamanan. Ia mampu mengisi cek kosong pada awal
pemerintahannya dengan mentransformasi pertumbuhan ekonomi dan keamanan lewat
sistem militeristiknya.
Pascareformasi, Gus Dur membawa cek kosong atas nama
kepemimpinan kerakyatan dan multikultur, Presiden Megawati atas nama Ibu
Ideologi, Habibie cek kosong atas nama transisi politik yang bersih dan
terjaga lewat intelektualitas. Pada akhirnya, SBY membawa cek kosong atas
nama popularitas berbasis pemilihan langsung sekaligus wajah sipil dalam
tubuh militer yang membawa citra kestabilan dan pertumbuhan hati-hati yang
terjaga.
Lalu bagaimana dengan
Presiden Jokowi?
Presiden Jokowi membawa cek kosong atas nama popularitas sebuah
ruang massa yang besar dalam era teknologi digital, meriah namun juga
sekaligus maya karena tidak memiliki basis massa serta dasar dan
infrastruktur konkret dalam berbagai perspektifnya, terlebih basis kekuatan
politik makro dan mikro Indonesia dalam relasi militer, agama, politik,
hingga partai.
Hal ini berbanding terbalik dengan presiden sebelumnya, SBY,
yang telah mempunyai karier militer, politik, dan birokrasi dalam ruang makro
Indonesia. Maka, SBY mampu mengisi cek kosong lewat seluruh dasar struktur
dan infrastruktur yang pernah dilalui lewat politik keseimbangan bertumbuh
yang hati-hati.
Membaca situasi di atas, sungguh tidak mudah bagi Jokowi mengisi
secepatnya cek kosong tersebut. Sebutlah, mentransformasi gaya kepemimpinan
relawan menjadi daya dukung birokrasi yang menggerakkan 65 persen bangsa ini.
Kemudian mengelola kekuatan kepentingan militer dan polisi serta
pilar-pilar penegakan hukum yang mengalami puncak perebutan kepentingan yang
memerlukan pemecahan masalah genuine
sekaligus mampu mengelola hubungan kompleks pilar-pilar tersebut. Atau juga,
mentransformasi puncak pertumbuhan ekonomi minyak yang dalam keadaan krisis,
bahkan devisa negara hingga target pajak yang sangat tinggi yang bahkan tidak
mungkin dilakukan banyak negara di tengah kebutuhan utang yang memerlukan
campur tangan global, demikian juga menurunnya kemampuan produktif bangsa
yang tinggal 10 persen, sementara 13 kementerian harus mengalami perombakan
organisasi yang memerlukan waktu. Belum lagi mentransformasi budaya impor
yang konsumtif menjadi budaya produktif, yang berarti melawan konglomerasi
importir. Yang harus disadari dan lebih penting: rakyat telah mentransformasi
euforia popularitas menjadi tuntutan kerja nyata.
Kepemimpinan populis di tengah era industri hiburan digital dan
politik sebagai gaya hidup adalah sebuah ciri dari abad ini. Presiden Obama adalah
salah satu fenomena terbaik. Sementara di Indonesia, masyarakat, meski hidup
dalam industri informasi digital, lebih sebagai dunia hiburan dan gosip
ketimbang data dan fakta. Alhasil, pemerintahan Jokowi yang lahir dari dunia
maya tanpa dukungan konkret, kini, terimbas dunia gosip digital dalam
berbagai aspek berbangsa, yang menjadikan masyarakat serba kebingungan dan
ragu terhadap kepemimpinan. Sebutlah, kebingungan hubungan dukungan partai
dengan Jokowi atau juga dukungan birokrasi, demikian juga begitu ragu dengan
kemampuan pembantu Presiden membaca dan memecahkan masalah ekonomi. Alhasil,
Presiden Jokowi masih terasa membawa cek kosong.
Membaca situasi di atas, Presiden Jokowi paling cepat mampu
mengisi perlahan cek kosong dalam waktu dua tahun, sekiranya tidak ada faktor
X yang menolongnya. Namun, dua tahun bukanlah waktu pendek, terlebih pada
masyarakat melodramatik industri hiburan ini, yang sangat mudah jatuh cinta
namun juga kecewa, serba gosip massa yang menghakimi sekaligus memaafkan, serba
berganti topik dan berpindah, serba penuh perhatian namun juga tak peduli.
Inilah sesungguhnya ujian era kepemimpinan populis! Kita tunggu saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar