Disonansi
Kognitif
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
|
KORAN SINDO, 19 April 2015
Saya kira hampir semua orang pernah nonton sulap. Yang
sederhana, tongkat tiba-tiba bisa jadi bunga. Yang lebih canggih, seorang
wanita cantik dimasukkan ke dalam peti, dikunci, dan digergaji menjadi tiga
bagian, dipisah-pisahkan ketiga bagian itu, tetapi ketika ketiga potongan itu
disatukan kembali dan dibuka oleh si pesulap, si wanita cantik meloncat
keluar dengan dua tangan ke atas sambil menebar senyum seksinya. Mau yang
paling canggih? David Copperfield bisa menghilangkan helikopter dan bisa
menembus Tembok Cina!
Dalam psikologi, efek dari sulap tergolong apa yang dinamakan
disonansi kognitif, yaitu suatu keadaan mental di mana satu elemen mental
terjadi pada waktu yang bersamaan dengan elemen mental yang lain yang saling
bertentangan. Tongkat bukan bunga, tetapi kok ada tongkat bisa jadi bunga?
Manusia dipotong-potong seharusnya berdarah-darah, menjerit-jerit dan mati,
kok ini malah tertawa-tawa dan hidup lagi? Helikopter sebesar itu kok bisa
lenyap ditelan angin, dan Tembok Cina setebal itu kok bisa ditembus tubuh
manusia? Tidak mungkinlah itu. Tapi nyatanya itu realita yang kita lihat.
Buat kebanyakan manusia normal seperti kita-kita ini, apa yang
kita lihat, yang kita dengar atau kita persepsikan itulah realita. Kalau
realita tidak sama dengan yang kita pikirkan, atau realita yang satu
bertentangan dengan realita yang lain, atau pikiran yang satu bertentangan
dengan pikiran yang lain, itulah disonansi kognitif.
Kalau kita menonton sulap, efek dari disonansi kognitif adalah
terhibur, kagum atau penasaran. Tetapi disonansi kognitif bisa menimbulkan
efek yang lain juga. Efek terkejut terjadi misalnya jika anda mendengar
berita bahwa seorang teman tiba-tiba meninggal dunia, padahal beberapa jam
yang lalu baru saja anda mengobrol dengan dia.
Efek sangat marah akan terjadi kalau misalnya seorang istri
mencintai suaminya yang juga mencintai dirinya seorang tiba-tiba mendapati di
HP suaminya ada pesan-pesan SMS (Selankah Menuju Selingkuh) dari seorang
wanita sahabatnya sendiri. Atau akan timbul efek lucu dan tertawa jika kita
misalnya melihat Jojon (alm) yang tinggi besar dan berkumis Hitler,
bertingkah laku seperti anak PAUD.
Aonson dan Festinger (1957, 1968) dalam teori mereka tentang
disonansi kognitif menyebutkan empat sumber situasi mental tersebut yaitu (1)
Inkonsistensi Logika. Misalnya tidak logis tongkat kok bisa jadi payung, (2)
Perbedaan Nilai Budaya, misalnya, di Arab tidak ada selingkuh, tetapi tidak
apa-apa buat seorang istri ketika suaminya memberitahu langsung bahwa ia akan
menikah lagi (kalau terjadi di Indonesia, sang istri langsung digotong ke
UGD), (3) Opini Umum. Sumber disonansi kognitif yang ini biasa terjadi pada
prasangka sosial atau prasangka politik, misalnya kok bisa Ahok jadi
gubernur, padahal opini umum (bukan fakta atau norma) seharusnya pemimpin itu
muslim, dan (4) Pengalaman Masa Lalu, misalnya orang yang sudah lama tidak
pulang kampung mengalami disonansi kognitif, terkejut dan heran ketika
melihat betapa kota kelahirannya sekarang sudah banyak berubah, sudah banyak
mal, jalan-jalan sudah lebar-lebar dan sebagainya.
Tetapi apapun efeknya dan penyebabnya, orang tidak suka
berlama-lama dalam keadaan disonansi kognitif.
Ada tiga cara untuk menyelesaikan disonansi kognitifnya, yaitu
(1) mencari informasi baru yang mendukung sikap atau perilaku yang
menyeimbangkan elemen kognitif yang bertentangan, misalnya, ketika mendengar
tentang kematian seorang kawan, mengecek ke berbagai sumber untuk memastikan
apakah kawan itu benar meninggal atau tidak, (2) mengubah sikap atau perilaku
menjadi konsisten satu sama lain, seperti istri yang mendapati suaminya
selingkuh, mengubah jalan pikirannya bahwa agama tidak melarang dan anak-anak
masih membutuhkan ayahnya, sehingga istri itu malah mendorong suaminya untuk
segera menikahi WIL atau wanita idaman lain itu (ibu-ibu jangan marah duluuu
ini hanya contoh…hihihi), dan (3) trivialization
yang berarti mengabaikan atau menganggap ketidaksesuaikan antara sikap atau
perilaku penyebab disonansi sebagai hal yang biasa, misalnya, si penonton
sulap mengabaikan saja berbagai ketidaksesuaian itu sebagai tidak penting,
sudah biasa, dan tidak usah diperpanjang.
Sekarang bagaimana jadinya kalau disonansi kognitif terjadi terus-menerus,
berkelanjutan dan tidak mau hilang-hilang? Biasanya terjadi kejenuhan, capek,
burn out, putus asa, stress dan
depresi, karena walaupun seringkali menghibur, disonansi kognitif bukanlah
hal yang menyenangkan. Cobalah dengarkan lawakan yang selalu berulang-ulang,
hanya itu-itu saja. Walaupun awalnya kita ikut tertawa, tetapi lama-lama
bosan dan kesal juga, dan kalau bisa menyuruh orang itu ke laut saja dan
berhenti melawak, atau kalau mendengar dari TV ya, ganti channel saja.
Masalahnya dalam dunia politik sosial-politik Indonesia
akhir-akhir ini, disonansi kognitif itu terus-menerus dan sambung-menyambung.
Belum selesai perdebatan tentang pencalonan Kapolri. Komjen Pol BG yang sudah
disetujui DPR kemudian ditarik lagi, public sudah dirisaukan dengan ulah
Polri menangkap Wakil Ketua KPK, BW, di jalanan, diborgol pula, padahal baru
saja presiden memerintahkan agar jangan sampai antara KPK dan Polri saling
mengkriminalisasikan. Belum selesai diskusi soal itu, muncul lagi pesan Megawati
dalam penutupan Kongres PDIP bahwa petugas partai (yang dimaksud jelas
Presiden Jokowi, yang memang pada waktu pemilu diusung oleh PDIP dan
koalisinya) harus taat pada arahan partai, dan di mata PDIP yang ada hanya
Jokowi yang petugas partai, karena kalau yang hadir Presiden Jokowi, tentu
ada upacara penyambutan, “Bapak Presiden RI Joko Widodo berkenan memasuki
ruangan, seluruh hadirin dimohon berdiri!”.
Maka berdirilah semua tamu, termasuk Ketua PDIP. Tetapi itu
tidak terjadi, sehingga publik pun (minimal saya pribadi) makin disonan…
Capek deeeh…!!! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar