Masa
Depan Semangat AA
Retnowati Abdulgani Knapp ; Putri Roeslan Abdulgani; Penulis buku
Soeharto: “The Life and Legacy of Indonesia’s Second President”
|
SINAR HARAPAN, 17 April 2015
Pragmatisme adalah sikap terpenting atas berhasilnya Konferensi
Asia-Afrika (KAA) di Bandung 60 tahun silam. Solidaritas Asia-Afrika (AA)
berakar dari rasa antikolonialisme-imperialisme, yang merupakan antitesa dari
negara-negara Eropa Barat. Karenanya, bila ada yang mengira semangat AA
adalah anti-Barat, pendapat ini sama sekali tidak benar; dengan catatan,
selama negara Barat tidak anti terhadap semangat AA yang menentang
kolonialisme, dalam segala bentuk, maupun diskriminasi atas dasar ras dan
Apartheid.
Dalam hubungan ini, di manakah kedudukan Amerika Serikat (AS)
dalam masa kolonialisme negara-negara Eropa?
Presiden Soekarno dalam pidato pembukaan KAA tanggal 18 April
1955, mengatakan, “Pada 18 April 1775,
hanya 180 tahun silam, Paul Revere pada tengah malam, dengan menunggang kuda
melalui seluruh wilayah New England, mengingatkan akan mendaratnya pasukan
Inggis. Inilah yang memulai revolusi kemerdekaan AS, revolusi pertama yang
berhasil dalam sejarah menentang kolonialisme.”
Di sini sebenarnya terjadi titik temu antara sikap AS dan
Tiongkok dalam menentang kolonialisme saat itu. AS menyatakan kemerdekaannya
dari Inggris pada 4 Juli 1776. Tiongkok mengalami Perang Opium I (1839-1842)
kemudian menandatangani “Treaty
Nanking”, yang dalam pandangan Tiongkok perjanjian ini sepihak; karena
kepada Inggris diberikan indemnity
dan ekstra teritori, dengan membuka lima pelabuhan dan diambilalihnya Hong
Kong.
Kemudian diikuti Perang Opium II (1856-1860) yang dipandang
sebagai permulaan sejarah modern Tiongkok. Karenanya, AS dan Tiongkok pernah
sama-sama mengalami perlawanan masing-masing terhadap kolonialisme Inggris.
Walaupun kemudian AS terlibat dalam konflik Inggis-Tiongkok pada 1859.
Perdana Menteri Tiongkok, Zhou En-Lai, dalam pidatonya 19 April
1955 tentang adanya kekhawatiran atas subversif Tiongkok. Ia menyatakan, “Hal ini tidak beralasan karena Tiongkok
pun pernah menjadi korban subversif kekuasaan luar.”
Sampai 1939, Inggris adalah negara Eropa yang mempunyai paling
banyak koloni (lebih dari 50 daerah) di Asia, Afrika, Timur Tengah,
Australia, dan Selandia Baru. Diikuti Prancis (yang hanya mempunyai 20
wilayah), Belanda, Belgia, Portugal, Spanyol, Italia, AS, dan Jepang.
Karenanya, latar belakang KAA adalah suasana politik saat itu,
yakni perang dingin, gerakan menentang kolonialisme, perang Vietnam, dan
ketegangan hubungan AS-Tiongkok. Perang dingin memuncak dan timbul
kekhawatiran akan pecahnya perang nuklir.
Sementara itu, semua sumber ketegangan ada di kawasan Asia dan
berkaitan dengan posisi Tiongkok, karena wilayahnya yang berdekatan dengan
Korea, Vietnam, dan Taiwan. Vietnam masih terpecah, Vietnam Utara dan
Selatan, yang kedua delegasinya ikut hadir.
Keputusan berperang tidak ada di tangan negara-negara Asia,
tetapi di Washington, London, Moskwa, dan Paris, yang menguasai senjata
nuklir. Juga masih ada koloni-koloni yang belum merdeka: Indochina, Malaya,
Singapura, Goa, Makau, dan wilayah-wilayah di Afrika. Untuk itulah Indonesia
bersikeras Tiongkok harus disertakan dalam KAA walaupun ada beberapa yang
berkeberatan.
Bagi Indonesia, perjuangan memasukkan Irian Barat ke dalam NKRI
juga belum tuntas. Tiga komite dibentuk: budaya, ekonomi, dan politik. Sangat
menarik perhatian komite politik yang diketuai PM Ali Sastroamidjojo.
Tokoh-tokoh terkenal, antara lain Nasser, Nehru, U Nu, Kotelawala, Zhuo En-Lai,
Pham Van Dong, dan Romulo ikut serta.
Dalam rapat tertutup inilah, persoalan Irian Barat, yang tidak
dimasukkan Indonesia dalam agenda resmi, dibahas. Presiden Soekarno tidak
sepatah pun menyebut kata Irian Barat dalam pidato pembukaannya. Demikian
juga PM Ali Sastroamidjojo. Dalam rapat tertutup, yang menyokong kuat
tuntutan Indonesia untuk masuknya Irian Barat ke dalam NKRI adalah Yaman dan
Suriah.
Inilah suasana konferensi yang patut kita renungkan karena roda
dunia tetap berputar. Sekarang Yaman dan Suriah bergolak dengan menyedihkan. Tiongkok adalah peserta konferensi yang paling dicurigai,
serta negara yang masih miskin sekali 60 tahun silam, tetapi sekarang menjadi
negara adikuasa ke-2 dalam bidang ekonomi.
AS dan Inggris mencurigai tujuan konferensi ini, dan sampai
detik ini mereka masih terlibat dalam pergolakan di Afganistan, Suria, dan
lainnya. Namun, hubungan AS dan Kuba mulai dibuka tahun ini. Tokoh Lee Kuan
Yew dan Nelson Mandela belum muncul saat itu, namun sekarang menjadi tokoh
yang legacy-nya tercatat dalam
sejarah AA, bahkan dunia.
Sekretaris Jenderal
KAA, Roeslan Abdulgani, mencatat pasang-surutnya peristiwa dalam
penyelenggaraan KAA, antara lain kecaman keras dari majalah Time setelah
pertemuan pendahulu AA, yakni konferensi di Bogor pada 28 Desember 1954.
Dalam tulisan itu, dilaporkan di hotel tempat peserta tinggal airnya tidak
keluar, listrik sering mati, tidak ada gantungan baju dalam kamar, dan
lain-lain. Bahkan, ditulis salah satu delegasi menyatakan, “These beggars never learn (pengemis
ini tidak akan belajar).”
Namun, kritikan pedas ini menjadikan semangat panitia membara
seperti “banteng ketaton”, banteng yang dilukai. Kemudian peristiwa jatuhnya
pesawat Kashmir Princess di perairan Natuna, yang dikhawatirkan PM Zhou ada
di dalamnya. Untungnya tidak. Pada 13 Maret 1955, terjadi usaha pembunuhan PM
Nehru, yang untungnya gagal.
Juga “perang dingin” antara Presiden Soekarno dengan PM
Sastroamidjojo mengenai biaya untuk memperbaiki Gedung Merdeka. Waktu itu, sistem pemerintahan kita masih demokrasi liberal.
Keputusan keuangan ada di tangan kabinet di bawah perdana menteri, tidak di
tangan presiden.
Sebagai seorang arsitek, Presiden Soekarno berpendapat ruangan
gedung konferensi kurang menarik, “dingin” tanpa “kehangatan”. Untuk itu,
Presiden Soekarno ingin menggunakan arsitek Silaban (yang kemudian
bertanggung kawab atas
pembangunan Masjid Istiqlal). Namun, PM Sastroamidjojo bersikeras menolak
dengan alasan biayanya tidak mencukupi.
Impian Perdamaian
Terpenting adalah
surat tertanggal 21 Maret 1955 dari AS yang dikirimkan kepada PM
Sastroamidjojo. Surat ini berasal dari 14 akademikus, humanis, termasuk
penulis terkenal Pearl S Buck dan Emily Bach, pemenang hadiah Nobel untuk
perdamaian.
Mereka mengharapkan
KAA berhasil baik dan menyatakan masih banyak penduduk dunia yang hidup dalam
kemiskinan, ketakutan atas perang. Namun, banyak negara besar yang justru
membentuk persekutuan berdasarkan kekuasaan mereka masing-masing. Di sini, kita menyaksikan impian hidup damai tidak hanya
terdapat dalam bangsa-bangsa AA, tetapi juga idaman dari bangsa AS dan semua
bangsa yang mendambakan kerukunan dan kesejahteraan hidup.
Persoalan Palestina belum selesai sampai saat ini. Persoalan
nuklir di Iran dan Korea Utara masih menjadi perdebatan hangat. Timbulnya
gerakan Islamic State atau ISIS
mengingatkan kita pada gerakan DI/TII di Tanah Air. Inilah kenyataan sejarah.
Untuk itu, demi suksesnya KAA 1955, Indonesia tidak membawa
persoalan Irian Barat. Tiongkok juga tidak membawa persoalan Taiwan, serta
tidak masuknya Tiongkok dari keanggotaan PBB dalam agenda. Hal ini akan
menyebabkan perselisihan tanpa penyelesaian.
Seperti dinyatakan PM Zhou, “Tidak ada dari kita yang diminta melupakan pendirian
masing-masing, karena perbedaan pendapat adalah kenyataan objektif.”
Kalimat ini penting untuk kita renungkan. Untuk itu, semangat
KAA harus tetap digali, dipelajari dengan sikap pragmatis yang harus kita
lakukan.
Semoga KAA kali ini tidak hanya bersifat upacara megah, tetapi
inti dan semangat KAA 1955 tidak atau kurang dipahami dengan baik; ibarat
hanya mementingkan kulit ketimbang isi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar