Selasa, 21 April 2015

Mempertanyakan Posisi Seni dan Kebudayaan

Mempertanyakan Posisi Seni dan Kebudayaan

Arahmaiani  ;  Perupa, Tinggal di Yogyakarta
KOMPAS, 19 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Seni rupa atau kadang juga diistilahkan sebagai seni visual adalah media ekspresi yang bersifat pluralis dan demokratis. Medium ini begitu lentur sehingga bisa menjadi sangat dinamis, di mana berbagai hal, berbagai gagasan, konsep, dan pemikiran bisa diungkapkan dalam bingkai selera estetika visual yang dianggap cocok atau yang dipilih oleh pembuatnya, yang amat variatif dengan beragam teknik dan cara ungkap, dan dengan segala kemungkinan yang masih amat terbuka.

Pendeknya boleh dikatakan seni rupa sebagai media ungkap kreativitas yang kaya kemungkinan. Seperti umum disepakati di dalam sistem yang demokratis pada dasarnya cara berungkap macam apa pun sepanjang tidak melanggar aturan dan hukum diperbolehkan. Inilah aspek budaya yang sangat menarik dalam dunia seni rupa. Sebab pada dasarnya kebebasan berekspresi di sini diungkapkan lewat berbagai cara dan kemungkinan sehingga berbagai sistem estetika dan nilai bisa dibabarkan tanpa harus menimbulkan pertentangan sekalipun bisa saja menimbulkan gesekan. Dan gesekan di sini biasanya menjadi hal positif sebagai pemicu pengembangan kreativitas. Praktisi juga biasanya tidak pernah membedakan atau mengelas-ngelaskan diri berdasarkan latar belakang budaya, keyakinan, warna kulit, ataupun kebangsaan.

Seni rupa memang mengalami proses dinamisasi sejak awal abad ini sehingga hampir segala macam elemen dan disiplin seni bisa ”dicangkokkan” ke dalam media ini dan kemudian dianggap menjadi karya seni rupa. Mulai dari bunyi, gerak, hingga aspek teater, bahkan bebauan serta ”kejadian” bisa dikombinasikan ke dalam berbagai bentuk karya visual: mulai dari seni pertunjukan, seni video, seni foto, ataupun apa yang disebut sebagai seni media baru.

Dalam perkembangan dan dinamikanya kemudian muncul pertanyaan mendasar yang menyentuh ranah filsafat, yaitu tentang pemisahan disiplin. Awalnya seni menjadi disiplin ilmu tersendiri dan terpisah dengan disiplin ilmu pengetahuan (science) ataupun spiritualitas. Lalu dipertanyakan karena terdeteksi ada masalah di sana. Dan hal ini masih terus bergema serta dipertanyakan lebih lanjut hingga saat ini. Kesadaran akan masalah yang ditimbulkan oleh pemilahan disiplin ini telah mendorong para seniman, ilmuwan, ataupun rohaniwan untuk menemukan ”jalan alternatif” menuju sistem yang terintegrasi. Dan seni cenderung dianggap sebagai faktor yang bisa menghubungkan disiplin satu dan lainnya sehingga seniman bisa ditempatkan di posisi sebagai seorang mediator yang bisa memiliki peran penting dalam proses transformasi budaya.

Kata kunci

Kreativitas adalah kata kunci, entah itu dihubungkan dengan karya seni yang bersifat transdisiplin ataupun segala upaya yang membawa dampak transformasi sosial politik, budaya, ataupun kesadaran yang bersifat spiritual. Memang kreativitas pada dasarnya adalah milik semua orang dan bukan wilayah khusus seniman saja sekalipun seniman mungkin memiliki kesempatan yang lebih leluasa dalam menjelajahinya. Dan jika kita coba tengok ke dalam konteks dunia seni di Tanah Air, kita akan menemukan banyak hal yang menarik. Kehidupan kreatif di wilayah seni rupa pada dasarnya tampak bersemangat sekalipun perlu dipertanyakan lebih lanjut dasar apa yang membuat dunia seni rupa masih tampak begitu dinamis. Apakah hanya disebabkan pretensi untuk laku di pasar ataupun menjadi terkenal saja? Tidakkah ada motif dasar lain yang tak kalah penting di sini, seperti mencari pola organisasi sosial yang lebih kreatif dan manusiawi ataupun ambisi lain yang bersifat mendorong agenda perubahan seperti gerakan kebudayaan, misalnya? Apalagi jika mengingat bagaimana sektor kebudayaan hanya mendapat sedikit perhatian dan dukungan dari pihak pemerintah.

Kenyataan bahwa kehidupan kini pada dasarnya penuh gejolak dan ketidakpastian, baik pada tataran politik, ekonomi, maupun budaya, telah menyebabkan munculnya berbagai masalah serius. Seperti masalah penegakan hukum yang menimbulkan kegelisahan, bahkan kekecewaan di kalangan masyarakat umum. Bagaimana usaha pemberantasan korupsi yang merupakan persoalan paling mendasar dan berbahaya karena bisa menghancurkan sendi-sendi kehidupan bernegara dan peradaban kini jelas terancam tak bisa terus diupayakan. Seakan terjadi situasi di mana nilai-nilai sudah tak diacuhkan lagi, yang menyebabkan kerusakan mendasar, mulai dari dunia pendidikan, kerekatan hubungan sosial, hingga lingkungan hidup. Apakah situasi ini masih akan membuat para seniman tertarik untuk menanggapi lewat karya ataupun upaya kolektif untuk sebuah gerakan kebudayaan? Untuk mengubah keadaan dan berupaya mewujudkan kehidupan budaya yang tidak korup dalam pengertian yang seluas-luasnya? Atau sudah tak mau ambil pusing lagi karena putus asa sebab dunia politik sudah sedemikian korup dan manipulatif serta sudah sangat dikuasai oleh para koruptor dan predator?

Apakah seni akan kita ceraikan dari kehidupan dan kita kurung di dalam estetika ”seni untuk seni” dan mungkin diabdikan pada pasar saja? Untuk hanya ditampilkan di art-fair, festival, ataupun berbagai pameran di galeri-galeri komersial dan mapan? Ya, ada banyak pertanyaan yang bisa kita ajukan, mulai dari yang bersifat praktis dan strategis hingga ideologis. Intinya adalah menjawab pertanyaan dan mengupayakan untuk bisa menjembatani dua macam gagasan: antara ”hidup untuk seni” dan ”seni untuk hidup”. Jika seorang kawan seniman mengajukan pertanyaan: ”Akan dibawa ke mana seni rupa kita?”, memang amat relevan. Sebab kini kita berada di persimpangan jalan dan harus membuat keputusan. Seperti yang terjadi di ranah politik, ranah seni budaya pun perlu ketegasan. Apakah kita hanya akan menyerah pada jalannya nasib dan ikut hanyut dalam arus kehidupan yang cenderung konsumtif dan menjadikan acuan ekonomi sebagai panglima kehidupan? Atau kita akanbangkit berdiri memulai gerakan kebudayaan dan menjadikan kehidupan beradab, adil, serta manusiawi? Yang memiliki visi dan misi untuk menyelamatkan kehidupan generasi mendatang.

Jawaban ada di tangan kita dan bukan ditentukan oleh para politisi dan penguasa yang terlalu percaya dengan uang dan manipulasi wacana keberpihakan pada ”wong cilik”. Kita harus membuka mata pada kenyataan, menyadari potensi dan kekuatan namun juga sekaligus kelemahan. Tidak melulu mengkritisi dan menyalahkan pihak asing atas keterpurukan yangkita alami. Atau dengan lain perkataan hanyut dalam trauma keterjajahan.

Kita juga harus mengembangkan kemampuan untuk mengkritisi diri sendiri. Untuk menerima kekurangan dan kelemahan sebagai upaya memperbaiki diri dan mengatasi ilusi. Tidak hanya mementingkan kesuksesan diri sendiri atau kelompok tapi mulai menyadari bahwa kita semua hidup dalam negara kesatuan dan sistem global yang saling-terkait. Bahwa petaka yang menimpa orang lain akhirnya akan membawa dampak pada kehidupan kita. Pendek kata kita akan harus peduli pada kehidupan dan nasib masa depan manusia di planet bumi yang terancam kehancuran ini. Kita akan harus membangun jaringan kerja, sistem yang terintegrasi di antara manusia dengan berbagai macam latar belakang budaya, keyakinan, warna kulit, ataupun bangsa. Dengan anggapan dasar kita semua setara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar