Prospek Pertumbuhan
Ekonomi Dibayangi Risiko Subsidi Yopie Hidayat ; Reporter Majalah Tempo, Kontributor
Tempo |
MAJALAH TEMPO, 11
Juni
2022
PROSPEK pertumbuhan
ekonomi dunia makin suram. Itulah inti laporan Bank Dunia terbaru, Global Economic Prospect, yang terbit
awal Juni ini. Dua fokus khusus laporan itu semuanya berisi sentimen negatif:
datangnya stagflasi global dan invasi Rusia ke Ukraina. Menimbang buruknya latar
belakang itu, Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2022
menjadi 2,9 persen, merosot 1,2 persen ketimbang hitungan Januari lalu.
Pertumbuhan di negara dan ekonomi yang sedang berkembang atau emerging market
and developing economies (EMDEs) juga melambat. Bank Dunia menurunkan
proyeksi pertumbuhan EMDEs tahun ini menjadi 3,4 persen, 1,2 persen lebih
rendah daripada laporan Januari. Kabar baiknya, ketika
ekonomi dunia mulai lesu, ekonomi Indonesia malah bergairah terdongkrak
lonjakan harga komoditas ekspor. Itu sebabnya Bank Dunia memproyeksikan
ekonomi Indonesia tahun ini masih bisa tumbuh 5,1 persen, hanya 0,1 lebih
rendah dari hitungan Januari lalu. Kendati demikian, investor
sebaiknya tetap mengawasi beberapa kemungkinan. Misalnya tingginya harga
komoditas juga berpotensi menambah inflasi karena pesatnya ekspansi sektor
pertambangan ataupun perkebunan yang menghasilkan komoditas ekspor. Para
pengusaha tentu menggunakan kesempatan baik ini untuk menambah kapasitas.
Pertumbuhan yang cepat di sini akan memperbesar inflasi di dalam negeri
dengan rentetan dampak negatif yang begitu panjang. Risiko fiskal Indonesia
juga makin besar. Anggaran negara sekarang harus memikul tambahan beban
sangat berat karena pemerintah meredam inflasi dengan memberi subsidi. Salah
satunya subsidi energi. Harga Pertalite dan elpiji 3 kilogram serta tarif
listrik rumah tangga berkapasitas 3.000 watt ke bawah diikat tak boleh naik.
Ongkos kebijakan itu sangat besar dan bisa meledak jauh lebih tinggi dari Rp
520 triliun yang dianggarkan tahun ini. Sebab, subsidi ibarat
candu. Sekali konsumen menikmati, subsidi susah sekali dicabut. Biarpun
kondisi keuangan pemerintah sudah tak tertahankan untuk melanjutkan subsidi,
konsumen akan tetap menuntutnya. Sampai dua tahun ke depan pun beban subsidi
kemungkinan besar terus menggerogoti anggaran negara. Ketika jadwal pemilihan
umum makin dekat, keberanian politikus mencabut subsidi pun makin kecil. Kondisi finansial
pemerintah bisa kian runyam jika harga komoditas yang disubsidi terus
melonjak. Harga minyak Brent, misalnya, yang merupakan patokan dunia untuk
harga minyak ataupun energi, per akhir pekan, 10 Juni lalu, sudah mencapai
US$ 122. Kenaikan ini bisa terus berlanjut, entah sampai mana batasnya.
Kesehatan fiskal Indonesia kini terancam harus menanggung risiko yang bisa
dibilang tanpa batas itu. Karena anggaran tersedot
subsidi yang jumlahnya begitu besar, pemerintah harus tetap membuat utang
baru untuk menutup defisit anggaran. Padahal lonjakan utang pemerintah dalam
dua tahun terakhir sudah luar biasa besarnya. Sejak akhir 2019 hingga Maret
2022, ada tambahan utang pemerintah Rp 2.266 triliun. Laporan Bank Dunia
menyebutkan lonjakan utang di EMDEs juga berpotensi memicu krisis finansial.
Itu sebabnya pasar finansial saat ini menaruh perhatian besar pada posisi
utang pemerintah yang per Maret 2022 sudah mencapai Rp 7.052 triliun. Pertanyaan kuncinya:
apakah anggaran masih kredibel, mampu menanggung beban pembayaran utang dan
bunganya dalam jangka panjang? Beban pembayaran utang ini akan bertambah
dengan pesat jika pemerintah tetap menambah utang ketika situasi pasar global
sedang bergejolak dan bunga naik di mana-mana. Jika tak dikelola dengan
sangat berhati-hati, lonjakan utang yang tak terkendali dapat menjebloskan
ekonomi Indonesia ke dalam marabahaya. Ada pelajaran penting dari
1980-an yang semestinya membuat investor tak terbuai proyeksi mengkilap.
Ketika dunia akhirnya terjerumus ke dalam resesi, harga komoditas jatuh
terempas. Ekonomi negara-negara eksportir komoditas, yang sebelumnya terbuai
nikmatnya harga, terpuruk kehilangan daya. Maka janganlah terbuai
prediksi pertumbuhan ekonomi yang mengkilap. Ketika air hujan datang
melimpah, lebih baik kita siapkan embung demi menghadapi masa kerontang yang
niscaya akan tiba. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar