Dari Mana Sumber Dana
Operasional Khilafatul Muslimin Agung Sedayu : Wartawan Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 11
Juni
2022
PULUHAN bocah berusia 6-10
tahun berhamburan keluar dari Masjid Kekhalifahan Islam di kawasan Pesantren
Ukhuwwah Islamiyyah, Pekayon, Bekasi, Jawa Barat, pada Kamis sore, 9 Juni
lalu. Pesantren Ukhuwwah Islamiyyah, salah satu pesantren milik Khilafatul
Muslimin yang dipimpin oleh Abdul Qadir Hasan Baraja, memang tak memiliki
ruangan kelas khusus untuk belajar. Proses belajar santri
laki-laki dilakukan di dalam masjid. Santri perempuan belajar di asrama.
“Kami memiliki sekitar 250 santri yang berasal dari berbagai daerah. Meski
fasilitas sederhana, semua siswa tidak dipungut biaya,” ujar pengasuh Pondok
Pesantren Ukhuwwah Islamiyyah, Muhammad Firdaus. Khilafatul Muslimin
memiliki empat jenjang pendidikan dengan masa pendidikan singkat. Pendidikan
dasar setara dengan sekolah dasar diberi nama Unit Khalifah Usman Bin Affan.
Masa pendidikannya hanya tiga tahun. Sedangkan pendidikan menengah setara
dengan sekolah menengah pertama disebut Unit Khalifah Umar Bin Khattab yang
ditempuh selama dua tahun. Masa pendidikan tingkat
atas atau Unit Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq juga berlangsung selama dua
tahun. Untuk pendidikan tinggi atau Al-Jami’ah Khalifah Ali Bin Abi Thalib
wajib diselesaikan dalam waktu dua tahun. Masa pendidikan yang lebih pendek
memungkinkan para santri menjadi sarjana ala Khilafatul Muslimin di usia 16
tahun. Model pendidikan yang
berbeda dengan lembaga pendidikan umum itu menjadikan para santri lulusan
pesantren hanya bisa melanjutkan pendidikan mereka di lembaga pendidikan
Khilafatul Muslimin. Mereka tak mengacu pada kurikulum yang disusun
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta Kementerian
Agama. Itu sebabnya mereka tak
mengandalkan dana bantuan pemerintah. Dana operasional pesantren berasal dari
sumbangan jemaah melalui pengurus Khilafatul Muslimin setempat serta infak
wali santri dan masyarakat umum. “Paling banyak justru dari masyarakat umum,
tapi berupa beras dan makanan,” kata Firdaus. Amir atau pemimpin
Khilafatul Muslimin Wilayah Bekasi Raya, Abu Salma, mengatakan Pesantren
Ukhuwwah Islamiyyah adalah lembaga pendidikan pertama yang dikelola
Khilafatul Muslimin. “Ini yang paling tua. Kemudian berkembang di berbagai
daerah,” tuturnya. Pada 2011, pengurus
Khilafatul Muslimin mendaftarkan Yayasan Pendidikan Khilafatul Muslimin ke
Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia. Abdul Qadir Hasan Baraja tercatat sebagai salah satu pendiri
yayasan. Saat ini Khilafatul
Muslimin memiliki 36 pesantren yang tersebar di 18 kabupaten dan kota. Dua di
antaranya pesantren setingkat tingkat perguruan tinggi yang berada di Lampung
dan Nusa Tenggara Barat. Hampir semua lembaga pendidikan berada di bawah
naungan yayasan. Untuk pelajaran, mereka mengutamakan pendidikan Al-Quran dan
hadis. Tempo mendatangi pesantren
Khilafatul Muslimin di Desa Sanolo, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, Nusa
Tenggara Barat, pada Jumat, 10 Juni lalu. Kondisi pesantren di sana cukup
bersahaja. Tidak ada ruangan khusus yang menjadi tempat belajar santri
kecuali satu bangunan berbentuk pendapa tanpa dinding seluas 10 meter persegi. Tampak puluhan santri
belajar di bawah pohon didampingi guru mereka. Saat ini ada sekitar 300
santri yang belajar di sana. “Anak-anak lebih suka belajar di bawah pohon
asam. Tidak ada ruang tertutup di sini, semua di alam terbuka,” ujar Amir
Khilafatul Muslimin Wilayah Bima, Farid. Suasana sederhana juga
terlihat di Pondok Pesantren Ukhuwwah Islamiyyah (PPUI) Khilafatul Muslimin
di Margodadi, Kecamatan Jatiagung, Kabupaten Lampung Selatan. Beberapa
bangunan bahkan tampak hanya berdinding bata merah dan belum diplester. “Kami
sedang renovasi. Jadi semua tempat dipakai untuk belajar,” kata Dani Purnama,
pengurus PPUI Khilafatul Muslimin. Di lokasi yang sama juga
terdapat pesantren tingkat perguruan tinggi atau Jami'ah Khalifah Ali Bin Abi
Thalib. “Sementara ini, belum ada jurusan tertentu. Penekanan kurikulum masih
sebatas pembelajaran Al-Quran,” ucap Penanggung Jawab Harian Jami'ah Khalifah
Ali Bin Abi Thalib, Juhana Mukhlis. Para “mahasiswa” di sana
berusia belia, rata-rata 14 tahun. Para santri mendapat pendidikan agama
serta keterampilan praktis, seperti penggunaan komputer dan otomotif.
“Harapannya setelah lulus mereka memiliki keterampilan untuk mencari nafkah,
bukan menjadi penceramah berbayar,” tutur Juhana. Kampus ini juga
menggratiskan biaya pendidikan. Seluruh ongkos dibebankan kepada pengurus
Khilafatul Muslimin. Biaya operasional pesantren, misalnya, rata-rata
menghabiskan Rp 60 juta per bulan. Biaya ini mencakup honor para guru sebesar
Rp 1,5 juta tiap bulan. Jika ditotal, kebutuhan
seluruh biaya pendidikan Khilafatul Muslimin mencapai ratusan juta rupiah per
bulan. Abu Salma mengatakan sumber pendanaan Khilafatul Muslimin berasal dari
infak dan sedekah. Mereka memiliki lima jenjang kepengurusan yang aktif
melakukan pengumpulan dana mandiri. Dari pengurus paling bawah atau
kemas’ulan, ummul quro, wilayah, daulah, hingga Khilafatul Muslimin pusat. Penggalangan dana jemaah
dilakukan secara berjenjang dari tingkat kemas’ulan. Dana yang diperoleh
pengurus kemas’ulan akan dibagi menjadi tiga, yaitu 70 persen untuk kegiatan
dakwah, 20 persen disetorkan ke pengurus di atasnya atau ummul quro, dan 10
persen untuk pesantren yang ada di wilayah mereka. Hal yang sama berlaku di
tingkat ummul quro, wilayah, hingga daulah. “Dengan cara ini kami bisa mengumpulkan
uang untuk membantu operasional pesantren sekaligus kepengurusan Khilafatul
Muslimin,” kata Abu Salma. Urusan pendanaan ini turut
menjadi perhatian Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komisaris
Jenderal Boy Rafli Amar. Ia menuding Khilafatul Muslimin turut menerima
aliran uang dari luar negeri. “Faksi ini mendapat dukungan luar umat yang ada
di Amerika Serikat hingga Eropa,” ucapnya. Peneliti Pusat Kajian
Radikalisme dan Deradikalisasi, Adhe Bhakti, ragu terhadap klaim ini.
Khilafatul Muslimin sudah terkenal memiliki kekuatan untuk mengumpulkan dana
jemaah secara mandiri. “Kalau misal polisi menuduh ada aliran dana
mencurigakan, mesti dibuktikan. Jangan-jangan itu dari jemaah Khilafatul
Muslimin di luar negeri,” ujarnya. Pendapat senada
disampaikan pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe,
Aceh, Al Chaidar. Mantan anggota Khilafatul Muslimin ini mengatakan banyak
anggota dan simpatisan yang sukarela menjadi donatur. “Karena gerakan mereka
menyerukan perdamaian.” Abu Salma menjelaskan, tak
semua cabang memiliki dana yang cukup. Jika ada cabang yang kurang mampu,
cabang lain akan membantu dengan sistem subsidi silang. Mereka akan menyetor
bantuan ke pengurus daerah lain. “Berapa nilainya, tidak kami batasi.
Seiklasnya. Kalau dapat dikit, kami makan sayur. Kalau tidak dapat, ya kami
puasa. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar