Catatan Pinggir
Zhuangzi Antitesis
Ajaran Konghucu Goenawan Mohamad : Sastrawan, Pendiri Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 18
Juni
2022
JURU masak Ding mengerat
daging dari tubuh sapi muda yang baru disembelih itu—dan Pangeran Hui yang
sejak tadi mengamatinya takjub. Tiap kali tangan Ding menetakkan
belangkasnya, tiap kali bahunya mengayun, tiap kali kakinya menapak
bersitahan, dan tiap kali jangat sapi itu tersayat dan tulangnya terkerat,
terdengar bunyi. Bukan suara benturan, melainkan sesuatu yang halus, ritmis,
elegan, “seperti tarian Rumpun Mulberi, seperti permainan dawai Ching Shou”. Cerita ini saya ambil dari
kitab Zhuangzi, yang disebut sebagai karya utama sastra Cina klasik. Buku itu
diperkenalkan sebagai buah pikiran Guru Zhuang, pemikir Tiongkok yang hidup
di abad ke-4 Sebelum Masehi. “Filsafat” Guru Zhuang alias Zhuangzi sebenarnya
hanyalah esai-esai pendek, tak sistematis, dengan cengkerma, puisi, main-main
dan humor—dan sebab itu ia pernah dianggap kurang berbobot. Tapi ia juga sebuah
antitesis bagi ajaran Konghucu yang berkuasa. Dunia pemikiran Tiongkok
praktis terbentuk selama dua abad yang kalang kabut: zaman Zhànguó Shídài,
475 SM-221 SM, masa perang kerajaan-kerajaan. Di masa seperti itu, ada
dorongan mengutamakan ketertiban dalam hidup pribadi dan sosial-politik,
ketertiban yang dikukuhkan ritual yang ajek—dengan kekuasaan dan otoritas.
Konghucu penganjur utama asas itu. Zhuangzi—mirip seorang
anarkis—sebaliknya. Sebagaimana disimpulkan Tao Jiang (guru besar di
Departemen Filsafat di Rutgers University, dalam majalah digital Aeoll), bagi
Zhuangzi, perspektif Konghucu terbatas. Konghucu, bak kodok dalam sumur,
takut menjelajah kebebasan, hanya mengutamakan yang pasti, bukan
kemungkinan-kemungkinan baru. Sementara itu, Zhuangzi, menurut Tao Jiang,
“penganjur kebebasan pribadi, dengan imajinasi yang luas”. Guru Zhuang
memandang penjaga ketertiban, terutama negara, dengan ambivalen. “Saya jenis
orang yang berkelana dalam fangnei, di dalam dunia kehidupan,” kata Zhuangzi. Maka baginya yang utama
bukanlah aturan dan sistem, melainkan dunia kehidupan dengan jiwa yang
luwes—yang tanpa ego yang tegar dan selalu waspada. “Aku membawa tubuhku
seperti sebatang pohon yang melengkung, menggunakan lenganku seperti cabang
tua yang kering. Betapapun besarnya langit dan bumi, betapapun banyaknya hal
ihwal di dunia, yang aku minati hanya getar sayap cengkerik.” Orang Jawa akan
menyebutnya sikap sumeleh, bukan pasrah. Zhuangzi menyebutnya wu wei. Sikap
ini juga yang membuat juru masak Ding bukan sebuah energi yang brutal. Ia
“aku” yang tak semena-mena. Ketika Pangeran Hui yang
terkesima berseru: “Tuan begitu mahir!”, Ding cuma menjawab: “Hamba hanya
mengikuti celah dan lekuk, menuruti raut tubuh alami hewan ini. Hamba tak
menggunakan parang untuk memotong tulang rawan di sendi, apalagi menebas
iga.” Lalu ia menambahkan (kali
ini dengan nada bangga): “Juru masak piawai berganti kelewang tiap
tahun—sebab ia memotong. Koki biasa menggantinya tiap sebulan—sebab ia
membacok. Tapi hamba memakai belangkas ini selama 19 tahun.” Tentu kisah ini tak
dimaksudkan jadi petunjuk praktis para koki. Cerita ini sebuah parabel
tentang kemerdekaan: juru masak Ding tak memaksakan kekuasaannya kepada alat kerjanya,
tidak kepada anatomi seekor lembu yang mati, apalagi kepada jiwanya sendiri.
Dalam ajaran Guru Zhuang, hubungan antara Ding dan goloknya, antara Ding dan
si lembu, bukan hubungan subyek yang menundukkan obyek. Ada pertalian yang
merdeka, bukan hierarkis, antara manusia dan dunianya. Maka menurut saya
kemerdekaan yang dirayakan Zhuangzi bukanlah kemerdekaan pribadi seperti
dikatakan Tao Jang, melainkan kemerdekaan gairah hidup. Ini sebuah kemeriahan
tersendiri, sebuah karunia yang mengekspresikan “kebahagiaan tuhan”. Metafisika Zhuangzi adalah
metafisika kebahagiaan itu. Isi dunia ini, tulisnya, punya benih yang renik
dan berlaksa-laksa, dan berubah terus. Air akan jadi selaput tubuh kerang.
Kupu-kupu akan jadi serangga. Yinghsi bertaut dengan bambu dan jadi
khing-ning…—dan “manusia pun masuk ke dalam Evolusi agung dari mana semua hal
yang lain lahir”. Tak berarti metafisika
Zhuangzi pendahulu Darwin yang memperlihatkan makhluk hidup berubah melalui
seleksi alamiah, di mana hanya yang paling fit berada di atas. Zhuangzi pun
tak membayangkan sebuah dunia yang berstruktur seperti pohon (akar di bawah,
batang di tengah, daun dan pucuk di atas). Gambaran dunianya lebih mirip apa
yang dalam biologi disebut “rimpang”, atau yang dalam filsafat Deleuze disebut
rhizome: “tanpa awal dan akhir, selalu di tengah, antara sesama”. Kita bisa merasakan naluri
egalitarian dalam pandangan dunia seperti itu. Lihatlah tubuh manusia.
Manusia adalah 300 sendi, enam organ—masing-masing lengkap dalam dirinya.
Mana yang kita anggap kerabat terdekat? Kita menyukai semua, atau hanya
sebagian? Apakah mereka bergiliran jadi pengatur, ataukah ada salah satu dari
mereka yang selamanya jadi pengatur? Tak ada yang selamanya. ● Sumber :
https://majalah.tempo.co/read/catatan-pinggir/166234/zhuangzi-antitesis-ajaran-konghucu |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar