Bagaimana Melindungi
Candi Borobudur Melalui Kebijakan Publik Opini Tempo : Redaktur Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 11
Juni
2022
RENCANA Kementerian
Koordinator Kemaritiman dan Investasi menaikkan harga tiket Rp 50 ribu
menjadi Rp 750 ribu memasuki stupa Candi Borobudur mengandung dua masalah
besar, yaitu kewenangan dan bias kelas. Perumusan kebijakan tersebut
berangkat dari kesalahan prosedur dan kekacauan melihat akar masalah. Soal kewenangan, menurut
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2019, Kementerian Koordinator Kemaritiman
semestinya hanya bertugas menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan
pengendalian urusan kementerian. Ada enam kementerian dan lembaga negara yang
berkhidmat di bawah koordinasi kementerian yang dipimpin Luhut Pandjaitan
ini. Kementerian Pariwisata salah satunya. Maka semestinya penetapan
harga tiket Candi Borobudur berada di Kementerian Pariwisata, yang
bertanggung jawab dalam urusan ini. Menteri Luhut yang menyinkronkannya
apakah menaikkan tarif itu sesuai dengan tujuannya, yakni melindungi candi
berusia 12 abad di Magelang, Jawa Tengah, itu. Menjadi ganjil, menteri
koordinator yang semestinya menjadi penguji kebijakan kementerian teknis
malah mengambil alih kewenangan tersebut. Sebagai warisan dunia,
Candi Borobudur memang harus dilindungi. Perubahan iklim, letusan gunung api,
dan perilaku pengunjung menjadi ancaman pokok tempat ibadah umat Buddha ini.
Perubahan iklim yang menaikkan suhu di sekitar candi membuat batu-batunya
melapuk, abu vulkanis Gunung Merapi membuat pori-pori batu rusak, ditambah
perilaku tak terpuji pengunjung yang membuang sampah, permen karet, dan
puntung rokok ke dalam stupa-stupanya. Jika cara melindungi
Borobudur dengan menaikkan tarif agar hanya sedikit orang yang bisa
mengunjunginya, jelas ini datang dari pikiran bias kelas. Menteri Luhut
seolah-olah menganggap hanya orang kelas menengah-atas yang bisa berperilaku
baik terhadap warisan budaya. Padahal perilaku tak terpuji lintas kelas, yang
miskin atau kaya, yang berpendidikan atau tak berpengetahuan. Kebijakan publik
seharusnya ditopang sistem. Jika soalnya beban Borobudur yang kelebihan
pengunjung, pemerintah bisa memakai teknologi digital untuk membatasinya.
Jika masalahnya vandalisme, teknologi pula yang bisa memantau, lalu aturan
sanksi sebagai penegakan hukumnya. Katakanlah, sesuai dengan riset Direktorat
Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, daya tampung Borobudur 1.200
orang per hari, aplikasi dengan mudah membendung 10.200 pengunjung seperti
jumlah wisatawan sebelum masa pandemi Covid-19. Kebijakan melindungi
barang publik dengan tarif mahal adalah ciri pemerintahan yang malas
berinovasi. Kekonyolan ini kian lengkap dengan kebiasaan pemerintah Presiden
Joko Widodo yang tertutup dan tak partisipatif. Melalui Instagram, Menteri
Luhut mengumumkan tarif baru Borobudur tanpa didahului komunikasi publik
mumpuni yang menjelaskan latar belakangnya. Langkah ini menambah
panjang daftar kekacauan pemerintah Jokowi dalam membuat kebijakan publik.
Terbukti, setelah pro-kontra merebak, pemerintah menunda penerapan tarif
Borobudur. Jika tiap-tiap kebijakan menunggu protes, selamanya Indonesia akan
gaduh dengan kontroversi. Semestinya tidak cukup
menunda, Menteri Luhut seharusnya membatalkan rencana kenaikan tarif yang
tidak berdasar tersebut. Pemerintah cukup membangun sistem yang melindungi
Borobudur, lalu menyerahkan pengelolaannya kepada umat Buddha, yang lebih
berhak memuliakan tempat ibadah mereka. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar