Apa Saja Tugas Ombudsman Indonesia Abdul Manan ; Wartawan Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 25
Juni
2022
OMBUDSMAN Republik
Indonesia mendapat mandat dari Undang-Undang Ombudsman untuk mengawasi
kepatuhan kementerian, lembaga, hingga pemerintah daerah dalam pelayanan
publik. Jumlah laporan yang masuk ribuan. Kasus yang paling banyak diadukan
adalah mengenai pertanahan, penerimaan pegawai, dan penanganan kasus di
kepolisian. Selain menerima aduan, Ombudsman bisa memeriksa kasus yang
menjadi sorotan publik, seperti kelangkaan minyak goreng kemasan. Ombudsman kini sedang
menangani laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan,
Indonesia Corruption Watch, serta Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi
mengenai penetapan penjabat kepala daerah oleh Kementerian Dalam Negeri pada
Jumat, 3 Juni lalu. Ombudsman memutuskan kasus ini masuk kategori reaksi
cepat ombudsman (RCO). “Kalau masuk RCO, (penanganannya) maksimal tiga bulan atau
90 hari,” kata Ketua Ombudsman Republik Indonesia Mokhammad Najih di
kantornya di kawasan Kuningan, Jakarta, Kamis, 16 Juni lalu. Dalam wawancara
sekitar satu jam, Najih menjelaskan kepatuhan pemerintah dalam melayani
masyarakat. Doktor politik hukum dari Universitas Kebangsaan Malaysia ini
menuturkan pula masalah tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai Komisi
Pemberantas Korupsi (KPK) dan kelangkaan minyak goreng. Apa
saja kasus publik yang ditangani Ombudsman? Ombudsman
menyelesaikan sejumlah laporan masyarakat, terutama yang cukup menonjol. Itu,
misalnya, yang berkaitan dengan kelangkaan minyak goreng dan seleksi aparatur
sipil negara. Sampai April 2022, 337 dari ribuan laporan masyarakat mengenai
penerimaan calon pegawai negeri sipil telah diselesaikan. Yang juga sedang
menjadi perhatian kami adalah ihwal pertanahan. Ini masih mendominasi sampai
sekarang, terutama penyelesaian pengurusan hak milik dan penyelesaian ganti
rugi ketika ada penggunaan lahan untuk kepentingan umum. Laporan
ke Presiden kapan? Laporan sudah
diterima Presiden. Kami menyampaikan secara langsung laporan akhir tahun pada
April lalu. Laporan triwulan pada Mei lalu disampaikan melalui surat. Itu
sebagai bentuk pelaksanaan tugas yang menurut undang-undang harus melapor
secara periodik dan tahunan ke presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Apakah
Presiden memberikan catatan atas laporan itu? Waktu kami bertemu
Presiden, respons yang menarik adalah agar Ombudsman makin banyak mengambil
langkah pengawasan di aspek pencegahan malaadministrasi. Salah satu yang jadi
perhatian adalah hasil survei kepatuhan pada 2021. Dalam laporan akhir tahun
ada perkembangan bahwa daerah yang masuk zona hijau makin banyak. (Zona hijau merujuk
pada wilayah dengan kepatuhan tinggi dalam pelayanan publik, zona kuning
untuk kepatuhan sedang, dan zona merah untuk kepatuhan rendah). Kepatuhan
lembaga itu seperti apa? Untuk kementerian,
baru 24 kementerian. Yang mendapat zona merah kosong, zona kuning 7, hijau
17. Di lembaga, yang di zona kuning ada 3 dan hijau 12. Di 34 provinsi,
sebanyak 13 masuk zona hijau, 19 kuning, dan 2 merah. Dari 98 pemerintah
kota, 3 di zona merah, 51 kuning, dan 34 hijau. Untuk 416 pemerintah
kabupaten, 87 di zona merah, 226 kuning, dan 103 hijau. Apakah
ada penghargaan dan hukuman atas kepatuhan ini? Kami masih memberikan
semacam saran perbaikan dan pendampingan. Kami belum sampai memberikan
hukuman, yang bukan kewenangan Ombudsman. Ombudsman ranahnya kan pencegahan
malaadministrasi. Harapan kami, karena ini menjadi bagian dari prioritas
nasional, itu semestinya memberi pengaruh terhadap indeks kerja, mempengaruhi
anggaran. Kami harapkan ke sana. Ini sedang kami diskusikan dengan Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional juga Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi serta Menteri Dalam Negeri. Sebab, dalam
Undang-Undang Pemerintahan Daerah ada ketentuan bahwa pemerintah daerah yang
tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman dapat diberi sanksi oleh Menteri
Dalam Negeri. Ombudsman
memang tidak ada kewenangan memberi sanksi? Tidak ada. Masyarakat
memang sering kali menilai Ombudsman tidak punya taring. Tapi masyarakat
harus paham bahwa Ombudsman sebagai pengawas eksternal fungsinya adalah
magistrature of influence (lembaga pemberi pengaruh) dalam konteks teori
kelembagaan negara. Tugasnya adalah memberikan pengaruh supaya ada perubahan,
perbaikan, dan pembaruan. Jadi ranah kami bukan magistrature of action yang
memberikan sanksi. Bagaimana
ihwal penetapan penjabat kepala daerah? Ini memang masih
dalam tahap verifikasi laporan. Pertama, apakah pelapor punya legal standing.
Kedua, apakah obyeknya menjadi kewenangan Ombudsman, yaitu ada (dugaan)
malaadministrasi. Ketiga, subyek yang dilaporkan apakah tepat. Dalam rapat
pimpinan Ombudsman (Senin, 13 Juni lalu), laporan mengenai penjabat kepala
daerah masuk reaksi cepat Ombudsman (RCO). Kalau masuk RCO, (penanganannya)
maksimal tiga bulan atau 90 hari. Mudah-mudahan prosesnya tidak lama karena,
kan, bulan berikut ini akan ada penetapan baru. Bagaimana kami mengejar
supaya nanti penetapan berikutnya tidak ada potensi malaadministrasi. Apakah
memang ada dugaan malaadministrasi? Seperti yang ada di
media, ada dugaan malaadministrasi dalam proses penetapan. Misalnya, dasar
hukum dalam prosesnya belum lengkap. Ada yang tidak memenuhi persyaratan tapi
tetap diangkat. Lalu soal asas imparsialitas. Syarat untuk ditunjuk menjadi
penjabat, kan, tidak boleh punya kepentingan politik tertentu. Misalnya,
bentuk tekanan dari pihak mana sehingga ada pemilihan orang yang tidak tepat.
Faktanya, ada yang baru dilantik, terus mundur dalam beberapa menit (setelah
dilantik). Itu contoh dugaan terjadi malaadministrasi. Itu yang sedang kami
dalami, apakah ada kelemahan dalam regulasi atau aspek yang lain. Apakah
Menteri Dalam Negeri sebagai terlapor akan diperiksa? Secara kelembagaan,
kan, Kementerian Dalam Negeri. Biasanya, dalam proses permintaan keterangan,
kami belum tahu siapa yang ditugaskan, apakah Menteri Dalam Negeri langsung
atau pejabat terkait. Bisa juga tidak hanya Kementerian Dalam Negeri, tapi
juga Kementerian Sekretariat Negara. Kami belum bisa memastikan pihak mana
saja yang akan dimintai keterangan. Ombudsman
juga memeriksa kelangkaan minyak goreng? Manakala ada fenomena
yang bersifat masif, meluas, dan sistematis, Ombudsman dapat berinisiatif
melakukan pemeriksaan atas prakarsa sendiri. Tapi ini berangkat dari problem
di masyarakat, dugaan malaadministrasi yang fenomenanya meluas, skalanya
nasional, yang bisa jadi masyarakat tidak akan melaporkan secara individual. Apa
hasil kajian Ombudsman? Kami merekomendasikan
dari aspek tata kelolanya, bagaimana agar peran pemerintah dengan pihak
swasta ada keseimbangan, antara pemegang regulasi dan pelaku usaha. Bagaimana
agar pemerintah juga punya kendali yang kuat agar tidak bisa diolah oleh
pelaku usaha. Saya kira (pemerintah) juga perlu memperbaiki regulasi tata
kelola, dari hulu sampai hilir. Pertanyaannya kemudian dalam pelayanan
publik: minyak goreng sebenarnya sebagai komoditas perdagangan yang bisa
mudah dilempar ke pasar ataukah memang kebutuhan pokok yang menjadi
kewenangan pemerintah dan regulasinya harus kuat serta tidak boleh dilepas ke
pasar sepenuhnya? Kami harapkan dari aspek regulasi supaya pemerintah, dalam
tata kelolanya, bisa lebih mengendalikan. Selama ini dianggap kurang
(terkendali) sehingga komoditas ini berpotensi dimanfaatkan lebih besar untuk
kepentingan pasar, bukan kepentingan masyarakat. Ihwal
minyak goreng juga, kan, diikuti dengan adanya reshuffle kabinet. Betul ada dampak
politiknya. Itu kan sudah ranah (politik), sudah bukan ranah pelayanan
publik. Meskipun, bagi saya, sebenarnya partai politik seharusnya punya
perhatian terhadap isu pelayanan publik. Setiap menyiapkan kadernya di posisi
jabatan pemerintahan, seharusnya partai berpesan, “Kamu harus punya perhatian
pada pelayanan publik, keberpihakan pada masyarakat”. Fungsi partai politik,
kan, menghasilkan calon pemimpin yang berpihak kepada masyarakat, bukan pada
partai. (Reshuffle) dilakukan karena minyak goreng atau bukan, itu sudah
ranahnya presiden. Yang penting bagi Ombudsman, sejauh mana komitmen pemimpin
yang ditunjuk punya perhatian pada isu pelayanan publik. Bagaimana
tren aduan ke Ombudsman dalam lima tahun terakhir? Kami melihat laporan
masyarakat cenderung fluktuatif. Ada 8.300 laporan pada 2017, 8.000 pada
2018, dan 6.900 pada 2019. (Pada 2020 sebanyak 7.204 laporan dan pada 2021
terdapat 7.186 laporan. Lembaga
apa yang paling banyak diadukan dan tentang apa? Pemerintah daerah.
Paling tinggi pelayanan agraria, kemudian kepegawaian dan administrasi
kependudukan. Termasuk ihwal sengketa tanah, isu pengurusan sertifikat, dan
pengalihan hak, yang terutama di Badan Pertanahan Nasional. Laporan
masyarakat paling tinggi dari 2014 sampai sekarang di bidang agraria. Soal
kepegawaian di peringkat kedua. Kepegawaian, misalnya, mengenai pengangkatan
guru, pemilihan rektor, rekrutmen pegawai, kepangkatan, dan pensiun. Kalau
berhubungan dengan Kepolisian RI, pengajuannya paling banyak pada aspek
penyelesaian perkara. Contohnya penetapan tersangka. Orang ini sudah
ditetapkan tersangka lama, kok tidak jelas statusnya. Ada juga soal surat
keterangan catatan kepolisian, surat izin mengemudi, dan izin keramaian. Apa
yang dilakukan Ombudsman kemudian? Semua laporan kami
verifikasi. Regulasinya seperti apa, apa benar ada malaadministrasi. Lalu,
kami meminta keterangan terlapor. Kalau terjadi malaadministrasi, di
kepolisian, misalnya, kami minta perbaiki. Misalnya, ada penetapan buron
dalam DPO (daftar pencarian orang) sampai bertahun-tahun. Ada keluarganya yang
mengadukan. Mengapa
keluarga melaporkan tentang DPO itu? Itu berkaitan dengan
kebutuhan status dan berimplikasi bagi keluarganya. Misalnya, saya sebagai
suami masuk DPO sampai tua. Istri tidak bisa melakukan perbuatan hukum
terhadap aset-asetnya. Kalau (aset) mau dijual, kan, harus ada izin suami.
(Ombudsman merekomendasikan perlu ada pembatasan waktu DPO, katakanlah 10
atau 15 tahun). Bagaimana
kepatuhan lembaga terhadap teguran Ombudsman? Dari aspek kepatuhan,
cukup tinggi, sekitar 80 persen. Mengukurnya dari laporan hasil pemeriksaan
(LHP) Ombudsman yang dilaksanakan oleh lembaga, kementerian, atau pemerintah
daerah. Ombudsman produk akhirnya rekomendasi. Undang-undang rekomendasi
hukumnya wajib dilaksanakan. Kalau tidak dilaksanakan, Ombudsman harus
melaporkan ke Presiden dan DPR supaya dua lembaga ini yang memberikan sanksi.
Rekomendasi Ombudsman tiap tahun puluhan saja yang kami keluarkan. Pada 2021,
tidak sampai 10 rekomendasi. Itu indikasi bahwa kepatuhan terhadap LHP
Ombudsman tinggi. Begitu ada rekomendasi, dia tak melaksanakan, ada teguran. Rekomendasi
Ombudsman mengenai TWK oleh KPK tak dilaksanakan. Bagaimana penyelesaiannya? Rekomendasinya
(kepada Presiden) untuk memberi tindakan kepada Ketua KPK agar melaksanakan
LHP Ombudsman. Presiden yang memerintahkan. Cuma, saya tidak bisa berasumsi.
Ketika (rekomendasi) sampai ke Presiden (pada April 2022), itu sudah aspek
politis. Bentuk pelaksanaan rekomendasi Ombudsman, apakah dalam bentuk
kebijakan lain, itu enggak dijawab oleh Presiden. Tapi substansi keluhan
masyarakat tentang masalah itu sudah dipenuhi. Apa
bukti substansinya dipenuhi? Ini asumsi saya. Bisa
jadi Presiden tidak memerintahkan Ketua KPK, tapi memerintahkan instansi
lain, mungkin Kepala Kepolisian RI. Tapi ini saya nggak tahu kebenarannya.
Mungkin saja Presiden meminta Kapolri mengangkat yang 57 orang itu menjadi
aparatur sipil negara. Tapi apakah itu karena rekomendasi Ombudsman, kami
tidak bisa jawab. (Sebanyak 44 dari 57
pegawai KPK yang tidak lulus TWK itu resmi menjadi AS di Polri, 9 Desember
2021 — Red) Teguran
Ombudsman kepada KPK bagaimana? Rekomendasinya,
karena terjadi malaadministrasi, KPK supaya mengangkat para pegawai ini (57
pegawai KPK yang tidak lulus TWK) menjadi aparatur sipil negara (ASN) dan
memperbaiki regulasi karena salah satu kelemahannya di regulasi. Proses TWK
yang menjadi keberatan para pelapor. Kan,
teguran itu juga ditujukan kepada Badan Kepegawaian Negara (BKN)? Kalau ke BKN sudah
dilaksanakan. Yang belum (dilaksanakan) malah KPK. BKN kami minta membuat
peta jalan perencanaan penyusunan aparatur sipil negara. Strategi untuk
merekrut pegawai masuk peta jalan atau tidak. Jadi, kalau ada perubahan
kelembagaan dan menjadi ASN, dasarnya peta jalan tadi. Saya kira ini sudah
dilakukan oleh BKN. Apa
jawaban Presiden atas rekomendasi itu? Memang tidak ada
ketentuan Presiden harus menjawab. Memang di situ ada sisi kekosongan dalam
undang-undang kita bahwa setelah rekomendasi disampaikan ke Presiden, apakah
Ombudsman boleh menanyakan kembali kepada Presiden. Kewenangannya tidak
sampai ke sana. Jadi
kasus TWK sudah selesai? Secara substansi
selesai karena sudah dipenuhi oleh pemerintah karena kami tidak menolak
regulasi bahwa untuk menjadi ASN ada mekanismenya, yang namanya seleksi.
Persoalannya, seleksinya ini yang jadi masalah. Apakah
kewenangan Ombudsman sudah cukup untuk membuatnya disegani? Ombudsman memang
didesain oleh undang-undang maupun ataupun sebagai lembaga yang memberi
pengaruh supaya orang lebih patuh kepada regulasi. Maka, dalam undang-undang,
tujuan pembentukan Ombudsman adalah membangun budaya patuh hukum, yang akan
membuat masyarakat menjadi antikorupsi. Artinya, kalau kita patuh regulasi,
insya Allah orang itu tidak akan melakukan perbuatan melawan hukum.
Kecenderungannya terjadi malaadministrasi (karena) orang tidak mematuhi
aturan. Kecenderungan malaadministrasi ini akan bermuara terjadinya korupsi
dan penyalahgunaan wewenang. Sudah terbukti bahwa terjadinya korupsi pasti
dimulai dari malaadministrasi. ● Sumber :
https://majalah.tempo.co/read/wawancara/166275/apa-saja-tugas-ombudsman-indonesia |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar