Presidential
Threshold Biang Demokrasi Indonesia Merosot Bivitri Susanti : Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia
Jentera |
MAJALAH TEMPO, 18
Juni
2022
HARI-HARI ini kita banyak
melihat pertunjukan politik. Yang terbaru: perubahan susunan atau reshuffle
kabinet. Seperti biasa, kita hanya menjadi penonton, sembari berpikir, apakah
menteri baru akan bisa menurunkan harga-harga yang makin mencekik? Apakah
hidup kita akan berubah setelah menteri berganti? Dalam sistem presidensial,
penentuan kabinet memang hak prerogatif presiden. Namun hak itu berada dalam
arena pilihan tentang bagaimana hak tersebut dilaksanakan. Presiden bisa
memilih menjalankan negara secara demokratis dengan tata kelola yang baik
(good governance) atau memakai hak prerogatif itu untuk kepentingan pragmatis
menjalankan pemerintahan yang stabil agar pembangunan berjalan lancar. Tak salah jika kita
menduga perombakan kabinet tak bertujuan membuat kehidupan masyarakat lebih
baik. Tak ada keterangan tentang evaluasi kinerja menteri lama dan rekam
jejak menteri baru. Proses pemilihannya pun sangat tertutup. Kita hanya bisa
melihat berita tentang siapa yang datang ke Istana Negara,
pertemuan-pertemuan elite partai politik, juga makan siang bersama para ketua
partai pada hari pelantikan menteri. Selebihnya, kita hanya bisa menduga-duga
dan bergosip berdasarkan gerak-gerik atau berprasangka setelah mendengar
tanggapan komentator politik. Dari sini terlihat bahwa
penentuan kabinet bukan soal siapa yang punya kapasitas mengelola isu terkait
dengan wewenang kementerian, melainkan siapa yang harus mendapat kursi
sebagai balas jasa atas kerja politik. Praktik ini terjadi karena sistem tata
negara kita punya dua masalah mendasar: ambang batas pencalonan presiden dan
partai politik yang tidak demokratis. Kelindan antara penentuan
kabinet dan ambang batas pencalonan presiden terlihat dari motivasi pemilihan
menteri dan wakil menteri. Ada dua kemungkinan alasan penentuan kabinet:
menjaga keseimbangan politik dan menyiapkan pemilihan presiden. Di atas kertas, sistem
presidensial sebenarnya membuka peluang pembentukan kabinet yang terdiri atas
menteri-menteri yang punya kapasitas dan integritas. Dalam sistem
presidensial, presiden memilih sendiri menteri tanpa melihat asal partai
seperti pada sistem parlementer. Namun, dalam sistem multipartai, presiden
terpilih harus mengelola koalisi seperti dalam sistem parlementer karena
partainya tidak mungkin mendapatkan suara mayoritas (Mainwaring, 1993;
Shugart & Carey, 1992; Stepan & Skach, 1994; Hanan, 2012). Bila tak
dikelola, kepentingan-kepentingan politik akan menyebabkan presiden sulit
membuat kebijakan. Cara efektif mengelola kepentingan politik adalah berbagi
kekuasaan. Karena itu, jabatan menteri dan wakil menteri menjadi alat tukar
dalam negosiasi. Dalam konteks Indonesia,
ada motivasi lain yang mungkin timbul dari bagi-bagi kekuasaan eksekutif,
yakni ambang batas pencalonan presiden. Ambang batas pencalonan presiden atau
presidential threshold menentukan batas kuantitatif tentang siapa yang bisa
maju menjadi calon presiden. Undang-Undang Pemilihan Umum mengatur hanya
partai politik atau gabungan partai politik yang meraih suara 20 persen dari
jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau 25 persen dari suara sah nasional
yang bisa mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Akibatnya,
partai-partai itu punya hak istimewa menentukan siapa yang bisa maju menjadi
calon pemimpin negara ini. Privilese yang terbentuk
oleh ambang batas pencalonan presiden ini membuat partai-partai berlaku
seperti kendaraan politik untuk meraih kekuasaan. Tak ada urusan dengan visi
dan program kerja. Calon yang terpilih menjadi presiden kemudian membagi
kekuasaannya melalui kursi menteri dengan partai pendukung pencalonannya
dalam ambang batas itu. Menjelang pemilihan berikutnya, kabinet kembali
dirombak untuk menggaet sekutu potensial 20 persen. Kursi menteri pun menjadi
komoditas politik, bukan sarana pelayanan publik dalam sistem demokrasi. Tak berhenti sebagai
komoditas, wewenang menteri kerap disalahgunakan untuk kepentingan ekonomi,
baik keuntungan langsung melalui korupsi maupun pembuatan kebijakan guna
memudahkan kegiatan bisnis oligarki. Fenomena ini terlihat dari kasus-kasus
korupsi para menteri yang melakukan state-capture corruption, perampokan uang
negara dan sumber daya alam secara sistematis melalui kebijakan. Contoh
paling jelas adalah pembuatan Undang-Undang Cipta Kerja serta Undang-Undang
Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Ambang batas pencalonan
presiden yang menjadi akar masalah komoditas politik ini diatur undang-undang
yang dibuat DPR dan presiden. Sayangnya, saat masyarakat sipil mengujinya,
Mahkamah Konstitusi malah memberi pembenaran. Sanggahan konstitusional
tentang ambang batas pencalonan presiden pertama kali ditolak hakim
konstitusi pada 2008, berlanjut hingga 20 perkara pengujian. Bila kita
cermati, konstitusi hanya memberi ruang bagi pembuat undang-undang untuk
mengatur tata cara pelaksanaan pemilihan (pasal 6A) dan persyaratan calon
presiden (pasal 6). Artinya, pengaturan bersifat teknis belaka, bukan
bertujuan membatasinya secara substantif. Persoalan menjadi lebih
pelik karena Mahkamah Konstitusi, pada 2013, menetapkan pemilihan anggota
legislatif yang seharusnya menjadi penentu ambang batas pencalonan presiden
digelar berbarengan dengan pemilihan presiden. Akibatnya, suara dan kursi
hasil pemilihan sebelumnya menjadi dasar penentuan calon presiden. Dampaknya,
partai-partai politik punya waktu makin panjang untuk bernegosiasi. Tawar-menawar
terjadi tak hanya dalam satu-dua bulan setelah pemilihan legislatif,
melainkan dua-tiga tahun. Tawar-menawar kekuasaan
antar-partai politik bukan fenomena Indonesia. Partai politik sama sekali
bukan musuh demokrasi. Justru ia bagian penting dalam demokrasi perwakilan.
Masalah terletak pada bagaimana partai politik itu dikelola. Tata kelola
partai mencerminkan tujuan pendiriannya: berperan mewujudkan tujuan bernegara
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 atau sekadar mengeruk keuntungan dari
jabatan publik. Partai politik yang
didirikan untuk menopang demokrasi akan dikelola pula secara demokratis dalam
pengaderan, penentuan pengurus, hingga penentuan calon-calon wakil di lembaga
legislatif. Partai juga berperan penting dalam pendidikan politik. Partai
seharusnya membongkar pemahaman dan perilaku politik masyarakat yang terpaku
pada popularitas. Partai harus mengajari rakyat bagaimana memilih wakil-wakil
mereka berdasarkan kapasitas dan integritas. Alih-alih melakukan tugas
demokrasi itu, partai politik malah memanfaatkan keawaman masyarakat untuk
mendulang suara dengan memenuhi ruang publik dengan baliho dan slogan. Partai seharusnya membuat
mekanisme pencalonan presiden secara transparan dan akuntabel, misalnya,
melalui konvensi nasional seperti yang kita lihat dalam model pemilihan calon
presiden sebuah partai di Amerika Serikat. Para elite partai tidak menentukan
secara tertutup siapa yang menjadi calon presiden partainya. Para calon
presiden itu yang berpromosi menyampaikan visi, misi, program kerja. Rekam jejak dan kemampuan
para calon presiden dibuka luas dan diperbincangkan secara luas oleh
pemilihnya. Memang, pada akhirnya, tak semua anggota partai ataupun publik
bisa menentukan nama calon presiden. Tapi keterbukaan proses dan mekanisme
yang terang membuat rakyat tak hanya menjadi penonton belaka, yang harus
menerima begitu saja gambar foto calon presiden di hari pencoblosan. Sudah cukup banyak kajian
mengenai reformasi partai politik, tapi tak banyak perbaikan berarti. Dalam
pendekatan rekayasa konstitusional (constitutional engineering), reformasi
partai politik bisa “dipaksa” oleh undang-undang. Tapi kita akan kembali
membentur tembok penghalang karena undang-undang dibuat oleh partai-partai
politik yang enggan keluar dari zona nyaman. Siklus ini membuat kualitas
demokrasi kita terus merosot. Mungkin kita sudah muak
dan apatis terhadap keadaan ini. Namun menanggalkan perhatian pada politik
hanya akan membuatnya berada di tangan politikus busuk, sementara politikus
yang tak busuk tersingkir karena tak mendapat dukungan publik. Perlu ada
kesadaran bersama untuk merombak sistem agar dua tahun menjelang Pemilu 2024,
kita tak kembali menjadi penonton. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/kolom/166206/presidential-threshold-biang-demokrasi-indonesia-merosot
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar