Keterlambatan Proyek
Menara Internet untuk Masyarakat Terpencil Opini Tempo : Redaktur Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 11
Juni
2022
PEMERINTAH perlu segera
menghentikan sementara proyek pembangunan stasiun pemancar atau BTS jaringan
seluler 4G di wilayah tertinggal, terluar, dan terdepan. Sebab, ada dugaan
kesalahan prosedur dalam penentuan pemenang proyek yang berdampak molornya
target rencana perluasan jaringan seluler ini. Melalui Badan
Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti), badan di bawah
Kementerian Komunikasi dan Informatika, pemerintah menargetkan pendirian BTS
di 7.904 desa yang belum tersentuh sinyal 4G. Lokasinya tersebar di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan Papua Barat. Seharusnya semua menara
terbangun per akhir tahun ini. Namun pengerjaan tahap pertama—sebanyak 4.200
unit, yang ditargetkan rampung akhir tahun lalu—macet. Per April lalu, baru
3.600-an tower yang jadi. Dampaknya, tahap kedua yang berlangsung tahun ini
ikut terhambat dan proyek dilanjutkan pada 2023. Alasan Bakti yang menunjuk
pandemi dan faktor keamanan sebagai biang kerok keterlambatan sulit diterima.
Sebab, ketertinggalan terjadi di Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara
Timur. Sebaliknya, pembangunan menara BTS di Papua, yang jelas-jelas
terhalang faktor keamanan, relatif lancar dengan capaian mendekati 98 persen. Sumber masalah diduga ada
di pelaksana proyek senilai Rp 5,19 triliun ini. Barisan menara BTS yang tak
kunjung jadi itu dibangun oleh konsorsium Fiberhome, yang menggandeng Telkom
Infra dan Datang Mobile asal Cina. Mereka adalah perusahaan yang dikenal
sebagai pengembang jaringan fiber optik, bukan pembangun menara BTS.
Fiberhome masuk melalui tender yang janggal. Dampak dari kecurangan itu
teramat mahal. Di atas kertas, dari jumlah menara yang tak terbangun,
taksiran kerugian sekitar Rp 2,54 triliun. Namun kemudaratannya jauh melebihi
nilai rupiah. Internet sudah menjadi kebutuhan pokok. Hak atas Internet bukan
hanya hak atas informasi, tapi juga jalan untuk pengentasan angka kemiskinan,
pemerataan pendidikan, serta pemberdayaan komunitas tertinggal. Saat ini kesenjangan
digital—disparitas antara mereka yang memiliki akses terhadap teknologi informasi
dan komunikasi dan mereka yang tidak—Indonesia sangat besar. Meski sebagian
besar atau 73,7 persen dari 277 juta warga Indonesia adalah pengguna
Internet, sebarannya tak merata. Hampir separuh atau 41,7 persen berada di
Jawa. Di Sumatera, misalnya, hanya 16,2 persen penduduknya yang terhubung
dengan Internet. Di Papua, jumlahnya lebih kecil, cuma 2,2 persen. Itu pun
dengan kecepatan koneksi yang jauh di bawah Jawa. Padahal masyarakat di
wilayah terpencil memiliki hak yang sama dengan warga kota besar. Mereka
memang tidak perlu memesan makanan cepat saji, tapi Internet dapat membantu
anak-anak menggali bahan pelajaran sekolah dan pemuda mencari lowongan kerja
ataupun menjual hasil pertanian. Berbagai layanan publik juga butuh koneksi
Internet, termasuk laporan status kesehatan dan pengiriman obat bagi pasien
Covid-19 lewat PeduliLindungi. Karut-marut proyes BTS di
bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika ini telah mencabut kesempatan
warga terpencil menikmati segudang kemudahan yang tersedia lewat Internet.
Akibatnya, mereka gagal melompat dari semua pembatasan geografis yang selama
ini mengungkung. Harus ada sanksi yang setimpal bagi biang kerok kekacauan
ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar