Bagaimana
Menyelamatkan Jakarta dari Pencemaran Udara Terburuk Opini Tempo : Redaktur Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 25
Juni
2022
KUALITAS udara Jakarta
terburuk di dunia pada dua pekan lalu. Begitulah menurut situs web IQAir,
yang rutin memantau pencemaran udara di kota-kota dunia. Anehnya, alih-alih
bergegas mengambil langkah untuk mengurangi polusi, pejabat seperti Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar malah sibuk membantah fakta
bahwa udara Jakarta tidak sehat. IQAir menempatkan Jakarta
sebagai kota terpolutif sejagat karena indeks kualitas udara (AQI) melampaui
angka 150 alias tidak sehat. Hasil pantauan ini sebetulnya tak mengejutkan.
Pelonggaran pembatasan kegiatan masyarakat, setelah dua tahun lebih terkurung
pandemi Covid-19, berimbas pada naiknya volume kendaraan bermotor yang
berseliweran di Jakarta. Perkantoran kembali dipadati karyawan. Mesin-mesin
pabrik serta pembangkit listrik kembali beroperasi penuh. Logis saja bila
belakangan ini udara Ibu Kota kembali ke hari-hari terburuknya. Jadi apa
gunanya menyangkal fakta yang demikian terang. Ketika kehidupan Ibu Kota
kembali normal, pemerintah seharusnya berupaya lebih keras mengendalikan
pencemaran udara. Penyangkalan oleh pejabat seperti Menteri Lingkungan justru
berbahaya karena bisa membuat orang awam terjebak dalam rasa aman palsu.
Warga kota bisa terus menghirup udara kotor tanpa menyadari risikonya bagi
kesehatan mereka. Pejabat pemerintah tidak boleh
tipis kuping ketika udara di Ibu Kota dinilai “tidak sehat”. Apalagi, kita
tahu, meski telah direvisi tahun lalu, baku mutu udara ambien nasional masih
terlalu longgar. Indeks Standar Pencemaran Udara milik Kementerian Lingkungan
terpaut jauh dari batas aman yang direkomendasikan Badan Kesehatan Dunia
(WHO). Artinya, udara yang diklaim sehat oleh pemerintah kita belum tentu
benar-benar sehat menurut standar dunia. Karena itu, sudah tepat
ketika sejumlah warga dan pegiat lingkungan menggugat pemerintah Jakarta dan
pemerintah pusat yang mereka anggap lalai dalam memenuhi hak masyarakat
Jakarta untuk menghirup udara bersih. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
pun sudah seharusnya memenangkan gugatan warga tersebut. Putusan hakim yang
menyatakan Presiden, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Dalam Negeri, Menteri
Kesehatan, serta Gubernur DKI Jakarta melakukan tindakan melawan hukum layak
mendapat apresiasi. Begitu pula dengan keberanian hakim menghukum Presiden
untuk mengetatkan baku mutu udara ambien yang melindungi manusia, lingkungan,
dan ekosistem. Masalahnya, alih-alih mematuhi putusan pengadilan pertama itu,
pemerintah malah mengajukan permohonan banding. Ketika kualitas udara Ibu
Kota kembali memburuk, para pejabat juga seharusnya membuang jauh anggapan
bahwa hal itu hanya urusan pemerintah DKI Jakarta. Ruang udara tak disekat
seperti ruang kaca. Pencemaran udara di Jakarta akan berdampak pada wilayah
sekitarnya. Begitu pula sebaliknya. Karena itu, pemerintah pusat—yang
sebagian besar kegiatannya berlangsung di Jakarta—wajib berusaha keras
memulihkan udara Jakarta. Begitu pula pemerintahan yang berbatasan dengan Ibu
Kota. Daripada sibuk membantah,
Menteri Lingkungan Hidup seharusnya berfokus menyelia Gubernur Jakarta, Jawa
Barat, dan Banten agar lebih kompak mengendalikan pencemaran udara lintas
batas wilayah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar