Peran Abdul Qadir
Hasan Baraja dalam Gerakan Komando Jihad Linda Trianita : Wartawan Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 11
Juni
2022
HAMZAH memacu sepeda
motornya dari Bekasi, Jawa Barat, menuju Markas Kepolisian Daerah
Metropolitan Jakarta Raya, Jakarta Selatan, pada Selasa malam, 7 Juni lalu.
Ia mendengar polisi menangkap pemimpin Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Hasan
Baraja. Amir Daulah Khilafatul Muslimin Jawa-Madura itu ingin bertemu dengan
sang khalifah. Perjuangannya berhasil.
“Kami ngobrol sambil makan soto dan ayam bakar,” kata Hamzah pada Kamis, 9
Juni lalu. Tak ada raut kegelisahan
di wajah Abdul Qadir. Dalam pertemuan itu, ia berpesan agar jemaah Khilafatul
Muslimin tetap melanjutkan perjuangan. Sesekali keduanya saling melontarkan
senda gurau. “Khalifah itu orangnya memang kalem dan lucu,” ujar Hamzah. Pengamat terorisme dari
Departemen Antropologi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh, Al
Chaidar, membenarkan perilaku Abdul Qadir yang bersahaja. Sementara Hamzah
bergabung dengan Khilafatul Muslimin pada 2005, Al Chaidar pernah dibaiat di
kelompok itu pada 2003. “Beliau sering menceritakan masa lalunya kepada
kami,” tuturnya. Abdul Qadir Hasan Baraja
lahir di Taliwang, Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, 77 tahun yang lalu.
Dia nyantri di Pondok Pesantren Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur,
pada 1956. Ia kemudian menikah dengan perempuan asal Lampung. Meski jenaka dan murah
senyum, Abdul Qadir memiliki masa lalu yang keras. Lulus menjadi santri, ia
langsung bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) kelompok Haji Ismail
Pranoto. Dari sini perjalanannya sebagai “prajurit” dimulai. Ia menjadi bagian dari
Komando Jihad, yang kerap menebar teror mulai 1970-an hingga 1980-an. Abdul
Qadir pernah dua kali ditangkap. Ia ditahan dalam kasus teror Warman pada
1979. Ia kembali ditahan pada 1985 karena dituding terlibat bom Borobudur.
Semua penangkapan ini berlangsung saat Abdul Qadir masih menjadi anggota
Komando Jihad. Dosen hukum Universitas
Islam Indonesia, Busyro Muqoddas, pernah menjadi pengacara salah seorang
tokoh Komando Jihad, Abdullah Umar, yang menjadi terpidana mati teror bom. Ia
mewawancarai terdakwa lain dan mengumpulkan berita acara pemeriksaan (BAP).
Hasil penelitiannya itu menjadi disertasi dan kemudian disusun ke dalam buku
berjudul Hegemoni Rezim Intelijen, yang terbit pada 2011. “Saat itu peran
Abdul Qadir Baraja sebenarnya tak terlalu mencolok,” tuturnya. Buku Busyro Muqoddas turut
melampirkan sejumlah BAP yang menceritakan peran Abdul Qadir Hasan Baraja.
Abdul Qadir pernah bergabung dengan Angkatan Perang Negara Islam Indonesia
pada 1962. Dia bersama tokoh NII lain, seperti Abdullah Umar, Mochamad Yusuf
Latif, Abu Bakar Ba’asyir, Hasan Basyir B.A., Nuri Suharsono Al Farhan, dan
Thohari Al Choliq, membaiat 100 anggota Komando Jihad Yogyakarta pada 1978. Kelompok ini disebut
sering mengadakan pertemuan untuk membahas guru dan murid Pondok Ngruki,
Sukoharjo, Jawa Tengah, yang akan dilibatkan dalam “berjihad”. Kelompok ini
ditengarai menjadi cikal bakal Jamaah Islamiyah pimpinan Abu Bakar Ba’asyir
dan Abdullah Sungkar. Selain aktif mengikuti
rapat, Abdul Qadir menulis brosur berjudul “Hijrah untuk Jihad”. Brosur ini
kerap dibagikan dan menjadi bahan diskusi dalam pengajian rutin yang
diselenggarakan Abu Bakar Ba’asyir. Brosur itu di antaranya memuat metode
jihad fi sabilillah yang bertujuan menegakkan syariat Islam seluas-luasnya. Kebiasaan menulis itu
terus berlangsung hingga kini. Setelah membentuk Khilafatul Muslimin, Abdul
Qadir tetap rajin menulis buku dan artikel majalah. Beberapa karyanya di
antaranya berjudul “Gambaran Global Pemerintahan Islam”, “Iman Hijrah Jihad”,
“Memilih Jemaah yang Benar”, “Poligami”, dan “Islam Tidak Bermazhab”. Hamzah mengklaim sang
khalifah sudah bertobat. Kepada Hamzah, Abdul Qadir mengaku menyesali
terlibat kasus teror Warman dan bom Borobudur. Abdul Qadir menceritakan,
kala itu, ia menerima order merakit bom ikan dari salah seorang tokoh
Al-Ikhwan al-Muslimun di Indonesia. Ternyata bom itu digunakan untuk mengebom
Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. “Dia mengaku terkejut pas
ditangkap,” ujar Hamzah. Akibat terlibat perkara ini, Abdul Qadir mendekam di
Lembaga Pemasyarakatan Kalisosok, Surabaya, hingga tahun 2000. Khilafatul Muslimin
berdiri pada 18 Juli 1997, saat Abdul Qadir masih berada di balik bui. Saat
itu banyak anggota jemaah yang mengunjunginya. Selama di penjara, ia menulis
maklumat tentang pendirian khilafah. Ia membagikan tulisan itu kepada para
pembesuk dan diminta agar disebarkan. Maklumat itu beredar dan
diklaim didukung banyak orang. Pengikut Abdul Qadir Hasan Baraja mendatangi
banyak ulama dan membicarakan pendirian khilafah. Tapi tak ada satu pun yang
bersedia menjadi khalifah. “Akhirnya beliau diangkat menjadi khalifah
sementara hingga kini,” ucap Hamzah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar