Bagaimana PLTS Atap
Terganjal Izin PLN Retno Sulistyowati : Wartawan Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 18
Juni
2022
SEBANYAK 32 lembar panel
surya berjajar rapi di atap rumah I Wayan Gede Mardika di Desa Kayu Putih,
Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali. Dengan bantuan perusahaan
rintisan atau startup lokal, Wayan ingin menjadikan huniannya yang berada di
dekat area wisata Pantai Lovina itu memakai pembangkit listrik tenaga surya
atau PLTS atap yang ramah lingkungan. Demi mewujudkan impian
akan rumah dengan energi bersih atau green energy, Wayan berbelanja hingga Rp
200 juta. PLTS atap yang ia pasang bisa menambah daya listrik di rumahnya.
Saat ini daya listrik rumah Wayan yang berasal dari jaringan PT Perusahaan
Listrik Negara (Persero) atau PLN mencapai 17 ribu volt-ampere (VA). Tapi pemasangan PLTS atap
tak mudah. Wayan mesti memohon izin ke kantor perwakilan PLN di Bali. Sudah
sebulan lebih izinnya tak kunjung turun. “Ada kendala dalam perizinan,” kata
pria yang bekerja sebagai pengacara itu kepada Tempo, Kamis, 16 Juni lalu. Menurut Wayan, PLN
membatasi pemasangan PLTS atap on-grid atau yang tersambung dengan jaringan
PLN 10-15 persen dari daya tersambung. Artinya, dengan daya tersambung 17
ribu VA, Wayan hanya bisa membangun tiga-lima panel surya berkapasitas
1.700-2.550 VA. Padahal, dia menambahkan, aturan dari Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM) mengizinkan pengguna PLTS atap memasang panel
surya hingga 100 persen dari daya tersambung. “Kebijakan internal PLN ini
menabrak regulasi menteri,” ujarnya, kecewa. Nasib serupa menimpa
seorang pelanggan PLN di Pulo Gadung, Jakarta Timur. Pada Jumat, 10 Juni
lalu, PLN mengirim surat yang menyatakan dia hanya bisa memasang PLTS atap
maksimal 330 watt-peak (WP) di rumahnya, yang memakai sambungan PLN 2.200 VA.
Panel surya yang diperlukan tak sampai satu unit karena setiap lembarnya cuma
menghasilkan setrum 500 WP. Tindakan PLN membatasi
instalasi PLTS atap yang selalu diperbincangkan kalangan pelaku dan pengguna
sektor ini bermula dari bocornya surat pimpinan Divisi Retail Regional Jawa,
Madura, dan Bali PLN kepada general manager unit induk distribusi Banten,
Jakarta Raya, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Yogyakarta, Jawa Timur, serta Bali.
Surat bertanggal 17 Maret 2022 itu berisi strategi pelayanan sementara atas
permohonan pemasangan PLTS atap. PLN merilis kebijakan
tersebut setelah permohonan pelanggan untuk memasang PLTS atap kian
membeludak. Sembari menunggu petunjuk teknis dari pemerintah, manajemen PLN
menyusun strategi pelayanan sementara. Yang pertama adalah membatasi
kapasitas PLTS atap 10-15 persen dari daya terpasang. Untuk pelanggan dengan
daya besar, PLN akan mengkaji ulang pemasangan PLTS atap untuk mengetahui
dampaknya terhadap sistem transmisi. Strategi lain adalah
menetapkan skema ekspor-impor listrik antara pengguna PLTS atap dan PLN
sebesar 65 persen, mengacu pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018.
PLN tidak menggunakan aturan baru, yaitu Peraturan Menteri ESDM Nomor 26
Tahun 2021 yang menetapkan tarif ekspor-impor 100 persen. PLN pun akan membuka jalur
komunikasi dengan pemohon segmen daya besar. Harapannya, kelompok pelanggan
ini bisa memahami kondisi neraca daya PLN dan upaya perseroan melakukan
harmonisasi dalam implementasi Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021.
Sebagai gantinya, PLN menawarkan jaringan bersertifikat energi terbarukan
(renewable energy certificate) yang diklaim sebagai bagian dari program nol
emisi karbon (net zero emission). Namun tetap saja strategi
PLN membatasi PLTS atap dipertanyakan pelaku usaha. Ini yang terjadi dalam
rapat sosialisasi Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021 di Surabaya pada
Rabu, 8 Juni lalu. Saat itu Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi
Jawa Timur bersama General Manager PLN Unit Induk Distribusi Jawa Timur,
Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), serta perusahaan pengembang energi
surya—salah satunya PT SUN Energy—berdialog dengan sejumlah asosiasi
industri. Dalam paparannya, perwakilan
PLN menyatakan perlu aturan teknis agar operasi PLTS atap tetap aman. PLN
saat itu mengaku telah beberapa kali mengadakan pertemuan dengan Kementerian
ESDM untuk membahas aspek teknis, seperti fluktuasi tegangan, harmonisasi,
dan kenaikan susut. PLN juga melibatkan akademikus, antara lain dari Institut
Teknologi Bandung dan Universitas Gadjah Mada. Untuk sementara, PLN melayani
permohonan PLTS atap dengan mempertimbangkan besarnya kapasitas, profil
konsumsi energi, serta keandalan sistem kelistrikan. Namun Ketua Umum AESI
Fabby Tumiwa mengatakan tidak ada yang mengharuskan keberadaan aturan teknis.
PLN, dia menambahkan, justru telah melanggar peraturan Menteri ESDM tentang
PLTS atap karena memberlakukan tarif ekspor-impor berdasarkan aturan lama
yang sudah direvisi. “Itu aturan sepihak PLN yang merugikan pelanggan,”
ucapnya kepada Tempo. Fabby mengaku telah meminta PLN tidak membatasi
perizinan. “Kalau mau ada pembatasan, batasi di dalam sistem,” dia
menyarankan. Direktur Aneka Energi Baru
dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM Andriah Feby Misna mengatakan program
PLTS atap tersendat antara lain karena kondisi kelistrikan nasional yang
mengalami surplus. “Kami masih mengupayakan aturan menteri terbaru dapat
terlaksana sepenuhnya,” katanya pada Jumat, 17 Juni lalu. Andriah membenarkan kabar
bahwa Kementerian ESDM bersama PLN sedang membahas petunjuk teknis
pelaksanaan aturan PLTS atap. Di antaranya kriteria pembatasan kapasitas
pelanggan yang saat ini sedang berlangsung. Nantinya, dia menambahkan, petunjuk
teknis ini akan menjadi pegangan bagi PLN ataupun pelanggan sehingga tidak
terjadi perbedaan persepsi. Kendati pelaksanaan program tersendat,
Kementerian ESDM belum akan merevisi target pembangunan PLTS atap yang telah
ditetapkan sebesar 3,6 gigawatt secara bertahap hingga 2025. ••• PEMERINTAH sangat berharap
pembangkit listrik tenaga surya bisa mengerek porsi penggunaan energi baru
dan terbarukan (EBT) dalam sistem kelistrikan nasional. Lantaran
pembangunannya lebih sederhana dan singkat, pembangkit listrik ini bisa
memenuhi target porsi pemakaian EBT 23 persen pada 2025. Karena itu, tutur
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, pembangunan PLTS atap
akan digenjot dengan menetapkannya sebagai proyek strategis nasional.
"Kami akan menggunakan tenaga surya sebagai tulang punggung energi
terbarukan," ujar Arifin beberapa waktu lalu. Menurut Arifin, Indonesia
diuntungkan oleh letak geografisnya yang berada di garis khatulistiwa
sehingga potensi energi matahari melimpah. Kementerian ESDM memproyeksikan
potensi energi surya di Indonesia mencapai 3.294 gigawatt-peak. Sedangkan
potensi radiasi matahari bisa lebih dari 3,75 kilowatt-jam (kWh) per meter
persegi per hari sehingga panel surya dapat bekerja maksimal untuk
menghasilkan listrik. Pemerintah menghitung,
dalam empat dekade ke depan, Indonesia memerlukan investasi US$ 169,7 miliar
atau sekitar Rp 2.500 triliun untuk membangun PLTS berkapasitas 361 gigawatt.
Angka ini setara dengan 61 persen dari total kapasitas EBT saat itu, yang
bisa mencapai 587 gigawatt. Bukan cuma pemerintah,
pada Februari 2020 lembaga pembangunan internasional Amerika Serikat (USAID)
juga mengkaji dampak ekonomi program PLTS atap di Indonesia. Menurut USAID,
dampak ekonomi kotor dari tersebarnya 1.000 unit pembangkit surya atap
berkapasitas 4,9 kilowatt dan 1.000 unit sistem surya berdaya 4,2 kilowatt di
perumahan akan menciptakan 710 lapangan pekerjaan dan menambah produk
domestik bruto (PDB) US$ 4,9 juta atau sekitar Rp 72 miliar. Pertumbuhan
terjadi di sektor konstruksi, manufaktur, dan jasa profesional. USAID juga
menyebutkan program ini akan menciptakan 14 pekerjaan setiap tahun dan
menyumbang PDB US$ 92 ribu. Karena itu, pemerintah
menggalakkan pembangunan PLTS atap dan menjanjikan insentif. Pada Februari
lalu, misalnya, Kementerian ESDM membagikan voucher diskon bagi masyarakat
yang berminat memasang panel surya atap. “Masyarakat yang ingin memasang PLTS
atap bisa mendapat potongan harga,” kata Direktur Jenderal Energi Baru,
Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana dalam talk
show tentang G20, beberapa waktu lalu. Dadan memberi contoh, jika warga
memasang PLTS atap 2 kWh, pemerintah memberikan voucher yang bisa diuangkan.
“Ini jadi pengurang biaya.” Program insentif ini
menggunakan dana hibah dari Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(UNDP) melalui Sustainable Energy Fund. Kementerian ESDM bekerja sama dengan
lembaga itu untuk meningkatkan kapasitas terpasang PLTS atap sebesar 5
megawatt-peak untuk 1.300 pelanggan. Program ini menyasar
pelanggan rumah tangga (R1-R3), pelanggan bisnis (B1-B2), industri skala
kecil-menengah (I1-I3), serta konsumen kelompok sosial seperti
sekolah/bangunan pendidikan, rumah sakit, dan rumah ibadah (S2-S3). Insentif
berlaku mulai 10 Februari hingga November 2022. Insentif ini membuat
peminat PLTS atap membanjir. Tim verifikasi UNDP mencatat sekitar 500
pelanggan PLN dari berbagai segmen mengajukan permohonan insentif. Tapi,
hingga Jumat, 17 Juni lalu, tim verifikasi UNDP baru menyetujui 28 di antaranya
dengan total nilai insentif Rp 254.750.000. Menurut ketua tim verifikasi
UNDP, Yovi Dzulhijjah Rahmawati, banyak pemohon tak memenuhi syarat dokumen
seperti izin dari PLN dan izin usaha perusahaan pemasang panel. Yovi
mengatakan, berdasarkan hasil evaluasi, syarat dokumen izin dari PLN memang
sulit diperoleh. Karena itu, UNDP akan mengkaji kembali syarat itu. Hingga pekan lalu,
penerbitan izin dari PLN masih seret. Seperti yang dialami Edgard, warga
Jimbaran, Bali. Panel surya seluas 10 meter persegi berkapasitas 1.800
watt-peak di atap rumahnya tak bisa berfungsi karena masih menunggu izin PLN.
Padahal Edgard telah menghabiskan Rp 26 juta untuk memasang panel itu. Bila
izin terbit, PLN akan memasang alat untuk mengukur ekspor-impor setrum.
Edgard mengaku sudah beberapa kali menguji sistem itu tanpa meteran, tapi
saldo listriknya tersedot habis. “Harus ada meterannya. Kalau tidak, konsumen
yang rugi,” ujarnya pada Jumat, 17 Juni lalu.
Saat diminta tanggapan
mengenai hal ini, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo tak memberi
penjelasan. Namun beberapa waktu lalu Darmawan menyatakan PLN sedang berupaya
mengembangkan PLTS di seluruh Indonesia. Tak hanya berfokus pada sisi jumlah,
PLN juga mencoba menekan tarif listrik yang dihasilkan panel surya. Menurut Darmawan, sudah
ada penurunan harga yang cukup signifikan. Dia mengatakan, saat PLN melelang
energi surya tujuh tahun lalu, harganya US$ 25 sen. Pada 2017, biaya
berkurang menjadi US$ 10 sen. Pada lelang terbaru yang dibuka 1 Maret lalu,
tarif per kWh ditekan hingga US$ 3,5 sen. “Atau sekitar Rp 500,” tutur
Darmawan dalam seminar tentang de-dieselisasi sumber energi di Yogyakarta
pada 23 Maret lalu. Sedangkan Vice President
Komunikasi Korporat PLN Gregorius Adi Trianto mengatakan perseroan mendukung
program pemerintah melakukan transisi energi dan mengembangkan pemanfaatan
EBT. Namun, dia menambahkan, transisi energi harus dilakukan secara cermat
dan tepat. "Kami sudah memiliki peta jalan untuk mencapai netral karbon
pada 2060 dan sudah memiliki Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
2021-2030 yang menjadi dasar pengembangan infrastruktur
ketenagalistrikan," ujarnya. Gregorius juga mengirimkan
tautan berita Aljazeera.com tentang nasib proyek PLTS atap di Vietnam. Berita
itu menyebutkan masifnya pemasangan PLTS atap membuat perusahaan listrik di
Vietnam kelebihan pasokan di tengah lesunya permintaan. Kondisi ini mirip
dengan yang menimpa PLN saat ini. Di Vietnam, para pemilik PLTS atap diminta
menonaktifkan panel pada jam tertentu dan petugas perusahaan listrik akan
mendatangi pelanggan yang membandel. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/166223/bagaimana-plts-atap-terganjal-izin-pln |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar