Jumat, 04 November 2016

Tersangka: Dahlan Iskan

Tersangka: Dahlan Iskan
AS Laksana ;   Sastrawan; Pengarang; Kritikus Sastra yang dikenal aktif menulis
di berbagai media cetak nasional di Indonesia
                                                    JAWA POS, 31 Oktober 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KEJAKSAAN Tinggi Jawa Timur menetapkan Dahlan Iskan sebagai tersangka kasus korupsi dan di media sosial yang riuh orang-orang membuat tanda pagar #SaveDahlanIskan. Saya membaca berita penahanannya, yang prosesnya berlangsung cepat, dan membaca pernyataan dari pihak kejaksaan kenapa dia lekas ditahan: Agar nanti tidak menghilangkan barang bukti dan tidak memengaruhi saksi-saksi.

Alasan penahanan itu terdengar menyedihkan. Mereka memperlakukannya seperti seorang kriminal yang sangat membahayakan dan harus diringkus secepat-cepatnya. Tetapi, pihak kejaksaan tentu boleh membuat alasan apa saja untuk segera melakukan penahanan terhadap orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Yang tidak boleh adalah membiarkan para tersangka atau terdakwa kasus korupsi lari.

Sialnya, kasus buron semacam itu sudah sering terjadi. Kita kerap membaca berita tentang para pelaku korupsi, terutama kasus BLBI, yang tiba-tiba sudah berada di luar negeri. Sebagian bisa ditangkap lagi, sebagian tidak terlacak, dan ada yang sudah berganti kewarganegaraan. Pada 2011, Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah mengeluarkan daftar 45 orang yang lari ke luar negeri.

Setiap kali membaca berita para tersangka atau terdakwa lari ke luar negeri, saya selalu menaruh prasangka buruk bahwa sepertinya mereka sengaja dibiarkan lari. Atau ada persekongkolan yang memberikan jalan bagi mereka untuk menghindari proses hukum. Mudah-mudahan itu prasangka yang tidak benar.

Tentang Dahlan Iskan, mungkin pihak kejaksaan berpikir bahwa jika tidak segera ditahan, si tersangka besok pagi akan lari ke Singapura, negeri favorit para koruptor, dan berpindah kewarganegaraan. Atau lebih jauh lagi, ke Benua Afrika dan menjadi warga negara Gabon, misalnya. Karena itulah, terhadap Dahlan Iskan, mereka bersikap tegas dan trengginas.

Saya merasa agak mengenal Dahlan Iskan bertahun-tahun lalu, saat saya mengirimkan pesan singkat kepada Arief Santosa, redaktur budaya koran ini. Bunyinya, ”Apa salah saya terhadap Jawa Pos sehingga tidak pernah mau memuat cerpen saya?”

Tak lama setelah itu, ada panggilan masuk ke ponsel saya, dari Arief. Dia mengaku tidak pernah menerima kiriman cerita pendek saya. ”Mungkin tidak terkirim, Bung,” katanya. ”Coba dikirim ulang.”

Saya tertawa. ”Memang belum saya kirim,” kata saya. ”Itu tadi peringatan awal. Maksud saya, cerpen akan segera saya kirim dan jangan sampai Sampean menerima SMS seperti itu tadi.”

Sebenarnya waktu itu saya hanya iseng mengganggunya, tetapi akhirnya saya membuka folder draft di komputer saya yang berisi cerita-cerita yang belum selesai, memilih satu yang paling siap diedit, kemudian mengirimkannya. Sehari setelah pemuatan cerpen tersebut, Arief menelepon dan mengabarkan bahwa Dahlan Iskan menyukai cerpen saya.

”Dia masih sempat membaca cerpen?” tanya saya. ”Hebat dia,” kata saya.

Saya sedih ketika ada kabar dia sakit keras dan dirawat di Tiongkok serta harus menjalani pencangkokan hati dengan kemungkinan gagal dan berhasil separo-separo. Saya gampang murung ketika mendengar orang-orang yang telah mengisi hidup mereka dengan melakukan tindakan-tindakan besar sakit atau meninggal. Petinju Muhammad Ali meninggal, saya menangis. Sutradara Iran Abbas Kiarostami meninggal, saya menangis. Michael Jackson meninggal, saya sedih meskipun bukan pengagum penyanyi Amerika itu.

Saya bersyukur ketika transplantasi hati berhasil serta Dahlan Iskan kembali bugar dan mampu mengerjakan lagi segala urusannya seperti semula.

Kemudian, saya membaca berita, pada 2009, dia diangkat sebagai direktur utama PLN dan bertekad mewujudkan listrik tanpa byar-pet. Pada tahun berikutnya, saat Piala Dunia 2010 digelar di Afrika Selatan, dia mengirimkan e-mail ringkas untuk saya, yang dia tulis dari ponselnya. ”Saya tidak pernah absen membaca tulisan Anda di Jawa Pos. Termasuk yang pagi ini. Sinkron sekali dengan cerpen Putu Wijaya yang juga hari ini. Bahkan, saya beri tahu teman-teman bahwa dari seluruh tulisan sepak bola kultural selama Piala Dunia kemarin, tulisan Anda adalah yang the best. Saya kagum dengan kekayaan pikiran dan kelincahan tulisan Anda. Salam. Dahlan Iskan.”

Pak Dirut PLN masih menyempatkan diri membaca apa saja rupanya. Saya sudah tidak kaget. Saya membalasnya lebih ringkas. ”Terima kasih, Pak Dahlan, saya juga menyukai tulisan-tulisan Anda. Salam.”

Sebetulnya itu saja komunikasi saya dengannya. Saya tidak kenal secara pribadi dengan Dahlan Iskan dan belum pernah berjumpa satu kali pun dengannya. Yang saya ketahui tentang Pak Dahlan pun tidak lebih banyak dibandingkan yang diketahui oleh orang-orang lain yang hanya kenal namanya. Saya hanya tahu bahwa dia orang yang memberikan nyawa baru untuk Jawa Pos, sebuah koran kecil yang semula hampir mati, dan menumbuhkannya menjadi media besar sampai beranak cucu seratus lebih media satelit di berbagai tempat. Saya bayangkan dia pasti orang kuat, memiliki pendekatan dan cara berpikir yang berbeda bila dibandingkan dengan kebanyakan orang, dan saya yakin dia pekerja keras yang sanggup bertindak kejam kepada diri sendiri.

Saya dengar beberapa tahun lalu bahwa dia tidak mau menerima gaji saat ditunjuk menjadi direktur utama sebuah perusahaan daerah di Jawa Timur dan tidak meminta fasilitas apa pun. Dan itu sebuah perusahaan daerah yang kondisinya menyedihkan, mungkin seperti Jawa Pos sebelum dia pegang. Dia di sana sepuluh tahun dan mengajak orang-orang di perusahaan itu bekerja keras (saya bayangkan orang-orang di BUMD tersebut pasti kepontal-pontal dan gelagapan mengikuti ritme kerja dia). Dan selama sepuluh tahun itu dia menerima nol rupiah dari perusahaan yang dipimpinnya. Saya memercayai kabar yang saya dengar itu. Dia sanggup menggaji dan memfasilitasi dirinya sendiri, bahkan lebih dari cukup.

Sekarang saya tahu nama perusahaan daerah yang pernah dia pimpin itu, PT Panca Wira Usaha. Dengan caranya sendiri, dengan gaya kerjanya, dengan cara berpikir yang sama yang telah digunakannya untuk membesarkan Jawa Pos, dia memimpin perusahaan daerah yang kondisinya waktu itu seperti dinosaurus pingsan. Ketika dia meninggalkannya, kondisi perusahaan tersebut berlipat-lipat lebih baik bila dibandingkan dengan saat dia masuk. Dan bertahun-tahun kemudian dia ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur karena kasus penjualan aset PT Panca Wira Usaha yang dianggap merugikan negara.

Saya tidak memahami kasusnya dan tidak mengikuti secara khusus perjalanan karir Dahlan Iskan di semua perusahaan yang dia dipercaya menjadi pemimpinnya. Dengan statusnya sebagai tersangka tahun ini, berarti sudah dua kali dia harus berurusan dengan hukum setelah selesai menjabat.

Tahun 2015, dia ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan 21 gardu induk Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Barat saat menjabat sebagai direktur utama PLN. Dia hanya dua tahun menjadi Dirut PLN dan dalam waktu sependek itu, demi mewujudkan mimpinya Indonesia tanpa byar-pet, Dahlan mengupayakan pembangunan banyak gardu listrik.

 Seharusnya dia leyeh-leyeh saja dan tidak usah melakukan apa pun di setiap perusahaan yang dia pimpin. Dia akan selamat jika tidak melakukan apa-apa. Sayang, dia orang yang suka bekerja serta tidak sabar dengan kelambanan, dan itulah kesalahan utamanya. Anda tahu, kultur birokrasi kita tidak cocok bagi pekerja keras dan seorang pembuat keputusan cepat.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar