Rabu, 09 November 2016

Memutus Jejak Korupsi

Memutus Jejak Korupsi
Donal Fariz  ;   Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW
                                                    KOMPAS, 09 November 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Komisi Pemberantasan Korupsi menghentikan pengembangan perkara suap PT Brantas Abipraya. Langkah ini menjadi angin segar bagi penerima suap yang tak kunjung terungkap.

Pertama kalinya dalam sejarah KPK dalam menangani sebuah perkara tindak pidana suap tanpa aktor penerima suap. Seolah ada yang terputus atau sengaja diputus. Pertanyaan itu menguat beberapa waktu belakangan ini.

Awalnya publik masih menduga, KPK sengaja menahan diri untuk mengejar penerima suap hingga adanya putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Praktik ini sebenarnya sudah lazim dilakukan KPK agar fakta-fakta persidangan mengunci keterlibatan pihak lain, untuk kemudian diproses setelah vonis diketuk oleh pengadilan.

Setelah menjalani persidangan maraton, akhirnya pengadilan memutus bersalah Sudi Wantoko selaku Direktur Keuangan PT Brantas Abipraya dan manajer pemasarannya, Dandung Pamularno. Selain itu, juga turut divonis bersalah si perantara suap, Marudut,

Alih-alih mengembangkan penyidikan kepada sejumlah jaksa yang disebut-sebut akan menerima suap, yang terjadi justru sebaliknya. KPK malah menghentikan pengembangan perkara. Alhasil, sosok penerima suap masih menyisakan misteri. Padahal, jika dibedah, pertimbangan hakim dan fakta-fakta yang muncul di persidangan, sosok penerima suap sudah terang benderang keberadaannya.

Tiga amunisi

Bermodalkan putusan hakim, seharusnya KPK tidak lagi ragu melanjutkan pengembangan perkara tersebut. Setidaknya ada tiga amunisi dari putusan hakim dan fakta persidangan yang bisa digunakan.

Pertama, pertimbangan hakim yang menyebut adanya meeting of mind dalam perkara suap kepada jaksa. Pertimbangan tersebut salah satunya muncul atas fakta komunikasi dan pertemuan antara Sudung Situmorang (Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta), Tomo Sitepu (Asisten Pidana Khusus DKI), dan perantara suap, Marudut. Baik Marudut maupun Sudung mengakui adanya pertemuan itu.Marudut dalam kesaksiannya di Pengadilan Tipikor, 8 Agustus 2016, menyebut maksud pertemuan tersebut ingin berkonsultasi karena ada rekannya dari PT Brantas yang merasa dizalimi atas kasus yang ditangani kejaksaan.

Singkat cerita, Marudut ditangkap KPK saat dalam perjalanan untuk menyerahkan uang148.835 dollar AS. Uang itu disebut untuk menghentikan penyelidikan kasus PT Brantas yang ditangani Kejaksaan Tinggi DKI. Menurut hakim, belum sampainya uang kepada penerima suap bukan akibat inisiatif pemberi atau penerima suap, melainkan terhenti karena perantara suap lebih dahulu ditangkap petugas KPK.

Kedua, hakim menilai tindakan Marudut dan kawan-kawan bukanlah percobaan penyuapan. Hal ini berbeda dengan konstruksi yang dibangun jaksa KPK dalam dakwaan yang menyebut tindakan Marudut dan kawan- kawan sebagai sebuah percobaan penyuapan.

Percobaan penyuapan hanya akan membawa konsekuensi yuridis kepada pihak yang coba melakukan tidak pidana. Sementara pihak lain, calon penerima suap dianggap tidak mengetahui pidana sehingga tak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana. Pada titik ini, kecurigaan awal perlu dialamatkan kepada jaksa KPK yang seolah melokalisasi kasus pada level pemberi suap. Sebab, ketika hakim justru yakin perbuatan suap sudah sempurna karena melibatkan dua pihak, seharusnya tidak ada lagi keraguan bagi KPK untuk memprosesdari sisi penerima suap.

Ketiga, menurut hakim, para penyuap terbukti melanggar dakwaan pertama KPK, yakni melanggar ketentuan Pasal 5 Ayat 1 UU Tipikor. Pasal ini sesungguhnya diambil dari Pasal 209 KUHP. Dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 145 K/Kr/1955 tanggal 22 Juni 1956, disebutkanketentuan Pasal 209 KUHP tidak mensyaratkanapakah sesuatu itu diterima atau ditolak oleh pegawai negeri atau penyelenggara yang diberikan atau dijanjikan sesuatu oleh pelaku tindak pidana korupsi (R Wiyono).

Jika ditarik pada konteks suap untuk menghentikan perkara PT Brantas oleh kejaksaan, tidak perlu kasus itu dihentikan kejaksaan agar unsur tindak pidana terpenuhi (bijkomend oogmerk).

Contoh paling gamblang dapat kita temukan dalam kasus suap pengaturan kuota impor sapi yang menjerat Luthfi Hasan Ishaq dan Ahmad Fathanah. Keduanya divonis bersalah melakukan korupsi sekalipun uang belum berpindah tangan dari Fathanah kepada Luthfi dan penambahan kuota impor sapi juga belum direalisasikan kepada PT Indoguna Utama.

Mesti dituntaskan

Penanganan kasus ini sesungguhnya ujian integritas bagi KPK. Sulit ditutupi, dalam perjalanannya ada aroma tidak sedap yang mulai terendus. Seolah ada yang coba melindungi keberadaan pihak penerima suap.

Pelemahan KPK dari dalam adalah mimpi terburuk. Jika selama ini pelemahan KPK datang dari luar, semisal oleh politisi ataupun penegak hukum lain, biasanya selalu tampak dan dapat perlawanan dari publik. Namun, kerusakan terburuk terjadi jika pelapukan itu datang dari dalam karena tidak kasatmata.

KPK tentu harus membuktikan dirinya masih kokoh dan tidak defisit integritas. Sebaiknya, KPK, khususnya pimpinan, mengoreksi sikap mereka untuk kembali mengembangkan kasus ini hingga tuntas. Langkah eksaminasi publik perlu dilakukan atas perkara ini. Berbagai pemangku kepentingan, seperti praktisi dan akademisi, perlu dilibatkan untuk menilai secara lebih obyektif. Hal ini juga bagian membangun pertanggungjawaban KPK kepada publik.

Tentu akan menjadi preseden buruk saat KPK memilih menghentikan kasus ini, sementara hakim dalam putusannya sudah membukakan jalan untuk menjerat para penerima suap. Sekarang pilihannya ada pada KPK. Menempuh jalan itu atau malah menghapus jejak pelaku korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar