Selasa, 15 November 2016

Kulit atau Isi

Kulit atau Isi
Jakob Sumardjo  ;   Budayawan
                                                    KOMPAS, 14 November 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ada kecenderungan pendangkalan pikiran akhir-akhir ini. Orang lebih memercayai hal yang tampak daripada inti yang tersembunyi di dalamnya. Film-film Hollywood menasihati: jangan menilai dari permukaannya.

Nenek moyang Indonesia sering menasihati anak cucunya dengan begitu saja menyatakan: jangan kau sia-siakan bungkusan remeh yang tergeletak di jalan, yang biasanya dilewati orang begitu saja, karena di dalamnya penuh intan berlian yang tak ternilai harganya. Yang mereka maksudkan adalah tuturan cerita seperti dongeng anak-anak yang tak masuk akal, padahal di balik dongeng itu tersembunyi kearifan lokal yang tak ternilai.

Terjemahannya untuk masa kini justru terbalik. Orang sudah tahu bahwa isinya sesuatu yang tak ternilai, tetapi dengan bungkusnya yang cacat, maka isinya menjadi cacat juga.

Ya, dialah orang yang paling tepat yang kita butuhkan untuk mengatasi masalah-masalah gawat kita sekarang. Namun, apa kata mereka? Goblok, kamu! Dia kan bukan orang kita. Lebih baik kita menggunakan bambu daripada kayu jati yang bukan berasal dari daerah kita sendiri.

Barangkali semangat 45, rasa kebangsaan yang berkobar-kobar yang spontan menolak apa ”yang lain”, yang ”bukan kita”, masih menyala-nyala dalam dada kita. Namun kenyataannya, setelah hampir tiga perempat abad kita merdeka, gejala ”hari ini anak- anak saya makan atau tidak” masih ada meskipun mereka yang ”hari ini anak-anak ingin makan apa” semakin banyak. Warga negara yang kaya memang semakin banyak, tetapi warga negara yang tidak dapat makantidak dapat ditolong negara yang semakin miskin.

Dia yang ”orang lain”

Di zaman dahulu, kalau banyak rakyat miskin, yang disalahkan raja dan pembantu-pembantunya. Menjelang ambruknya sebuah kerajaan, kata sahibul hikayat, raja hanya bersenang-senang dan banyak melakukan dosa. Sampai abad ke-19, kepercayaan ini masih kuat dengan ditulisnya Serat Kalatida oleh pujangga Ronggowarsito di Keraton Surakarta. Pada zamannya, banyak pembesar yang ”putih di luar kuning di dalam” alias hipokrit meskipun masih ada juga pembesar-pembesar yang baik, tetapi tak mampu memperbaiki keadaan.

Rakyat miskin sudah putus asa, hanya mengharapkan keadilan Tuhan. Itu sebabnya mitos Ratu Adil dan Satria Piningit bertambah subur. Kehendak jahat ada di mana-mana, hampir semuanya jahat, sehingga manusia tidak mampu mengatasinya, kecuali kuasa yang ada di luar manusia.

Rakyat miskin yang hidupnya sengsara, dan lebih sengsara lagi menyaksikan pembesarnya berlimpahan harta, tidak segan meminta tolong kepada ”setan”. Dalam sistem kepercayaan, ”setan” adalah bukan bagian dari kelompok manusia. Setan adalah yang lain itu.

Pada tahun 1950-an beredar terjemahan cerpen Amerika karangan Stephen Vincent Benet, ”Hantu dan Daniel Webster” (kalau tidak salah terjemahan Mochtar Lubis), yang mengisahkan petani miskin Jabez Stone akibat ketandusan ladangnya. Banyak petani yang telah ”menggadaikan” dirinya kepada Setan yang tiap kali berkeliling daerah itu dengan kereta hitam, kuda hitam, dan jubah hitam.

Akhirnya Jabez Stone berbuat sama. Hidupnya berubah jadi lebih dari kecukupan. Ketika saatnya tiba, petani ini akan masuk Kerajaan Setan. Seorang anggota DPR Amerika (senator) yang pro rakyat menggugat Setan di pengadilan spiritual. Bukan kesalahan petani, melainkan kesalahan negara sehingga warganya menggadaikan jiwanya kepada ”yang lain” itu.

Apakah masih jadi persoalan yang esensial ketika ”kalatida” bangsa ini telah lama tidak teratasi? Ketika banyak orang baik bersikap seperti Jabez Stone, yaitu memilih pertolongan kepada ”Setan” apa saja, germo, bandar narkoba, bos kelab malam, bos preman, dan calo TKI. Begitu pula jenis ”setan yang lain” seperti ”bukan kelompok”, ”bukansedarah”, ”bukan satu warna kulit”, dan ”bukan-bukan” yang lain yang sektarian?

Apakah kalau berasal dari satu kelompok tertentu, masalah laten akan dapat diatasi? Apakah kita ingin persoalan menahun ini akan selesai atau tidak? Baik oleh orang normal kita atau oleh ”orang lain” itu?

Melenyapkan ”isi”

Teater Koma pada 1980-an berkali-kali mementaskan mitologi Tiongkok, Siluman Ular Putih, yang dahulu disebut Ouw Peh Tjoa. Dua perempuan siluman turun ke dunia menjadi dua gadis cantik. Mereka menjadi ahli obat-obatan dan banyak menolong manusia dengan kepandaiannya itu.

Namun, para pendeta mengetahui bahwa keduanya siluman, dan siluman harus ditumpas di dunia manusia. Tidak peduli apakah siluman perempuan itu menyelamatkan derita banyak manusia miskin, tetapi karena mereka ”yang lain”, maka tetap harus dimusnahkan. Akhirnya mereka dipenjara di bawah bangunan pagoda yang besar dan tinggi.

Cerita dari berbagai bangsa dan zaman itu menegaskan bahwa melihat dan membaca ”kulit” kadang melenyapkan ”isi” kehendak dan perbuatan baik yang berguna bagi semua orang. Kebenaran esensial yang berlaku untuk semua orang dibatasi kebenaran parsial yang berlaku untuk kelompok tertentu dalam ruang dan waktu tertentu pula.

Anda memang jujur, tegas, berani, dan rasional, tetapi karena itu Anda tak pantas memimpin kami. Anda memang cerdas, tahu persoalan, dan tulus mencintai penderitaan bangsa ini, tetapi karena bla-bla-bla, Anda tidak kami butuhkan. Kami tahu dana Anda tak terbatas dan rela menolong gratis usaha kecil kami, tetapi karena kereta dan kuda Anda berwarna hitam, kami tolak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar