Senin, 14 November 2016

Dian Sastro

Dian Sastro
Bre Redana  ;   Wartawan Senior KOMPAS
                                                    KOMPAS, 13 November 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Belakangan ini sebelum film dimulai kadang diputar tayangan produksi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Perfilman Indonesia, dan FFI, pertanyaan: apa yang membuat Anda pengin nonton film Indonesia. Sebagai penonton saya jawab: Dian Sastro. Atau tambah satu lagi: Cut Mini.

Beberapa sineas kita menciptakan film-film berkualitas. Selain berkualitas, beberapa di antaranya menjadi film laris. Karya-karya ini mengingatkan adagium bisnis: bahwa yang bermutu tidak harus dipertentangkan dengan urusan laku tidak laku. What is morally right can hardly commercially wrong.

Di luar itu tak kalah banyaknya film yang dibuat dengan logika sembarangan. Ini pun perlu dimaklumi. Di tengah proses pendangkalan dan krisis pemikiran, tak mungkin satu bidang pintar sendirian dengan pemikiran gilang-gemilang. Semua bidang mengalami gejala yang sama, baik itu sinema, sastra, pendidikan tinggi, agama, maupun pers, dan lain-lain.

Revolusi di bidang teknologi informasi memberi andil dalam proses pendangkalan. Tak ada yang salah dengan kecepatan, kesegeraan, keserentakan. Yang jadi masalah adalah ketika kecepatan yang memang merupakan obsesi manusia dari zaman ke zaman itu tak disadari. Katakanlah sebagai contoh menggabungkan semangat media cetak dengan semangat media digital. Bukan soal yang disebut pertama lambat mengirimkan informasi karena adanya proses pencetakan dan sebagainya, sementara yang kedua tinggal klik langsung berita tersebar. Terdapat hal lebih mendasar yang membedakan keduanya, yakni persepsi mengenai kenyataan, antara realitas dan delusi.

Media digital menciptakan delusi: kaburnya batas antara yang nyata dan tak nyata, bahkan boleh jadi kenyataan itu tidak pernah ada sama sekali alias semata-mata gadungan. Satu informasi diunggah melalui media digital, ditanggapi ramai, melahirkan simpati dan benci, padahal semuanya didasarkan sesuatu yang tak pernah ada. Kalau disingkat prosesnya: delusi menciptakan situasi dan situasi menciptakan benci atau simpati berlebihan.

Sebelum lahirnya zaman bergegas ini, untuk sebuah informasi, dunia media cetak memerlukan meninjau lapangan. Yang didalami adalah situasi. Melihat, merasakan, menganalisis, merefleksikan. Dari situ lahir kondisi.

Jelas tak mungkin kita mengingkari perkembangan teknologi. Media massa di Barat menyinergikan media cetak dan media digital. Hanya saja, sebelum media digital muncul, mereka telah kokoh dengan tradisi literer sebelumnya. Otak mereka telanjur terlatih mengolah logika dan rasionalitas.

Prakondisi itulah yang harus diakui kurang ada pada masyarakat negara berkembang yang hanya pandai mengonsumsi tanpa terlibat proses produksi. Pelajar sekolah menengah mereka membaca 25 buku setahun, pelajar kita nol prutul. Buku, media cetak, menjadikan otak terlatih. Manusia tak cukup hidup hanya dengan mimpi, motivasi, ilusi, delusi, intuisi-zat-zat yang adanya pada sektor hati dan niat. Niat dan motivasi penting, tetapi eksekusi kerja harus dengan otak. Kerja keras dengan otak, dengan kecerdasan, menghasilkan produk gemilang. Tanpa otak, kerja keras dengan hati menyebabkan kanker hati.

Karena belakangan memiliki banyak waktu senggang, saya menonton film apa saja. Film Hollywood selalu meyakinkan, mereka terampil mengolah apa saja menjadi kelihatan rasional dan logis. Sementara kita, meski niatnya mulia sekalipun, produknya kadang kurang meyakinkan dikarenakan lemahnya logika dan rasionalitas.

Belum lagi, sekarang ini, seiring surutnya peran media cetak, tak ada lagi kritik film. Ada beberapa kritik lumayan serius di media digital, tetapi mereka tenggelam di tengah keriuhan dan kicauan asbun serupa teriakan penonton di pinggir lapangan sepak bola. Di mana JB Kristanto, Salim Said, Marselli, Bambang Bujono, atau generasi sesudahnya seperti Joko Anwar?

Teman saya, Butet Kartaredjasa, selalu mengingatkan, jangan kapok menjadi Indonesia. Saya tidak kapok. Terus menonton. Saya tahu, saya tidak sendirian menunggu Dian Sastro. Oh ya, juga Cut Mini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar