Vonis
Mati dan Masa Depan Mesir
Ibnu Burdah ; Koordinator
Program S3 Kajian Timur Tengah,
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
|
KORAN TEMPO, 20 Mei 2015
Vonis
mati terhadap Mursi, Presiden Mesir pertama yang terpilih secara demokratis,
dan sejumlah pimpinan teras Al-Ikhwan al-Muslimun (IM) baru-baru ini jelas
merupakan rekayasa pengadilan Mesir untuk kepentingan rezim militer yang
berkuasa. Demikian pula vonis mati terhadap Mohammad Badie, Mursid 'amm IM,
dan sekitar 14 pemimpin IM yang diumumkan beberapa bulan sebelumnya.
Mereka,
atau sebagian dari mereka, bahkan berada di pihak korban dalam aksi kekerasan
yang dilakukan aparat Mesir pada Agustus 2013 di sekitar Masjib Rab'ah
al-Adawiyah tersebut. Saat itu, mereka melakukan aksi duduk besar-besaran di
wilayah Rab'ah untuk memprotes pengambilalihan kekuasaan yang dilakukan
militer Mesir. Mereka menuntut agar kekuasaan Presiden Mursi, yang dipilih
melalui pemilu demokratis, dikembalikan. Namun mereka akhirnya dibubarkan
secara paksa oleh militer dengan menggunakan alat-alat berat. Peristiwa
tragis yang menyebabkan ribuan orang meninggal itu kini menjadi simbol
perlawanan sipil terhadap rezim Sisi.
Mengapa
rezim Sisi nekad menjatuhkan vonis mati bagi Mursi dan para pemimpin Ikhwan
yang sudah dipenjara? Bahkan, tersiar kabar bahwa eksekusi terhadap para
pemimpin dan pengikut Ikhwan tersebut sudah dimulai. Apakah kira-kira vonis
itu akan membuat Mesir lebih aman dan dapat dikendalikan sehingga ekonomi
negara itu, yang sudah demikian terpuruk, dapat dibangkitkan kembali,
sebagaimana pernyataan Sisi berulang kali? Atau justru sebaliknya, Mesir akan
menghadapi situasi yang berat lagi sebagaimana pada saat-saat penjatuhan
Mubarak dan penjatuhan Presiden Mursi?
Santer
diberitakan bahwa negosiasi antara rezim dan para pemimpin Ikhwan itu
berjalan intensif di penjara. Bahkan, sebagian aksi proses tersebut dilakukan
lewat mediasi pihak asing. Rezim Sisi menyadari benar kekuatan Ikhwan saat
ini. Mereka merupakan pemenang pemilu pertama Mesir yang dilakukan secara
demokratis. Mereka tumbuh dan besar meski dalam situasi yang sangat sulit.
Akar, batang, cabang, daun, dan buah Ikhwan sudah menancap kuat di bumi
Mesir. Karena itu, hingga kini, saat organisasi itu dicap sebagai organisasi
teroris, kelompok ini masih bertahan.
Namun
para pemimpin Ikhwan yang telah dipenjara sepertinya tak bisa ditundukkan.
Mereka tetap saja berkeras tak mau mengakui eksistensi rezim militer pimpinan
Sisi. Bahkan, saat sidang yang disorot kamera, para pemimpin Ikhwan selalu
meneriakkan slogan-slogan kemenangan atau mengacungkan empat jari sebagai
simbol perlawanan. Bahkan, Presiden Mursi masih menganggap dirinya sebagai
Presiden Mesir yang sah. Ia sering tampil di depan pengadilan dengan
mengenakan baju layaknya presiden, meski ia dan para pemimpin Ikhwan itu
dikerangkeng.
Vonis
mati mungkin dimaksudkan untuk mempengaruhi pendirian kukuh para pemimpin
Ikhwan itu agar mau berkompromi dengan kenyataan yang ada sekarang. Kenyataan
bahwa yang berkuasa adalah Jenderal Sisi, dan militer kembali menguasai
sumber-sumber ekonomi Mesir. Itulah kepentingan utama rezim sekarang, yakni
mempertahankan kekuasaan serta penguasaan terhadap sumber ekonomi Mesir.
Vonis
ini mungkin juga merupakan ancaman serius bagi pemerintah militer Sisi
terhadap gerakan rakyat Mesir yang hingga kini belum reda. Kelompok-kelompok
anti-pemerintahan militer dari berbagai aliran, termasuk dari Kelompok Pemuda
6 April, pelopor Revolusi 25 Januari, terus menggelorakan perlawanan.
Mereka
memang sulit mengadakan demonstrasi besar-besaran, terutama di tempat
strategis seperti Tahrir dan Lapangan Nahdhah. Namun mereka melakukan segala
cara untuk menyampaikan pesan perlawanan ini kepada seluruh rakyat Mesir.
Meski diberangus dan dibatasi secara amat ketat, media-media baru, seperti
Twitter dan Facebook, menjadi andalan bagi penyebaran benih-benih gagasan.
Benih-benih
gagasan perlawanan ini begitu masif dan terus menyebar dengan caranya
sendiri. Penulis yakin bahwa gagasan untuk melawan rezim militer sudah hampir
menjadi common belief di kalangan rakyat Mesir, terutama anak mudanya.
Keyakinan bersama ini hanya memerlukan momentum dan pemicu (trigger) untuk terjadinya sebuah
gerakan berskala besar sebagaimana sebelumnya. Masa depan Mesir sepertinya
mengarah pada gerakan rakyat jilid III.
Dan jika
hal itu terjadi, ongkos yang mesti dibayar rakyat Mesir sungguh sangat besar.
Mereka sudah berkorban untuk penjatuhan rezim Mubarak, lalu mereka berkorban
atau diperalat untuk menjatuhkan Mursi, dan kini mereka mungkin harus
berkorban lagi untuk menegakkan "harga diri" serta mengembalikan
kedaulatan rakyat yang lagi-lagi telah dirampas oleh rezim.*
***
Penulis
yakin bahwa gagasan untuk melawan rezim militer sudah hampir menjadi common belief di kalangan rakyat
Mesir, terutama anak mudanya. Keyakinan bersama ini hanya memerlukan momentum
dan pemicu (trigger) untuk
terjadinya sebuah gerakan berskala besar sebagaimana sebelumnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar