Boedi
Oetomo: Desa dan Pertanian
Bandung Mawardi ; Esais
|
KORAN TEMPO, 20 Mei 2015
Dalam
Selompret Melajoe edisi 15 Juni 1911, disajikan "Sair Boedi
Oetomo". Tak ada pencantuman nama pujangga. Kita diajak mengingat misi
kemajuan di kalangan elite terpelajar dan bangsawan: Ini abad jang kedoe
poeloeh/ Nan ta' sedikit orang mengeloeh/ Lari kian kemari berpeloeh/ Akan
mentjari nasi dan lawoeh…// Handai tolan kita berkata/ Kiasan si tida, soeda
njata/ Lihatlah Boedi Oetomo kita/ Endah betoel tertampak mata. Cerita
tentang Jawa masih mengandung nestapa. Pada 20 Mei 1908, Boedi Oetomo
dibentuk dengan misi mengubah nasib Jawa. Pada masa itu, orang-orang di desa
berangkat ke Deli (Sumatra). Mereka dibujuk untuk mendapat "pohon
uang" di perkebunan tembakau. Konon, kemiskinan bisa dirampungi jika
warga meninggalkan desa dan tak lagi bertani.
Goenawan
Mangoenkoesoemo (1908) memberi seruan agar ada gerakan memperbaiki nasib di
kalangan para petani. Kemajuan mesti bermula di sawah-sawah. Seruan mengacu
pada realitas: "Lihatlah, penduduk yang berjumlah hampir tiga puluh
juta, penghidupannya hampir seluruhnya tergantung dari pertanian, dengan cara
kerja yang keadaannya mulai ketinggalan zaman!" Kepekaan itu tertutupi
oleh anggapan bahwa Boedi Oetomo berpihak kepada modernitas berciri kota.
Penjelasan sejarah perlahan agak menepikan kebermaknaan desa atau pertanian.
Seruan
lantang berlanjut: "Pekerjaan kita berada di desa! Di sanalah kita harus
berada. Di sana ada yang harus dikerjakan. Kita tak boleh membiarkan
berjuta-juta, sekali lagi berjuta-juta orang, tetap berada dalam kegelapan
akibat kebodohan. Di sanalah harus dinyalakan api, meski hanya sebuah tali
api atau upeti." Barang kali ingatan-ingatan itu bisa dijadikan bekal
memberikan usul bagi dua kementerian menyangkut desa dan pertanian dalam
Kabinet Kerja. Kita berharap mereka menilik sejarah dalam menunaikan kerja
pembentukan desa mandiri, modernisasi alat pertanian, serta capaian
swasembada pangan. Misi kemajuan desa dan pertanian telah dimulai sejak awal
abad ke-20, meski tak selalu berhasil.
Sukarno
(1952) mengartikan sejarah Boedi Oetomo sebagai kemauan mengejawantahkan
"kebangoenan" demi revolusi, persatuan, dan kemajuan. Sejarah
menjadi pemicu kerja membangun Indonesia. Sukarno menyerukan pengabdian demi
Indonesia dengan pedoman "sepi ing pamrih rame ing gawe." Pada masa
Orde Baru, peringatan untuk Boedi Oetomo mulai mengabaikan agenda pembangunan
desa dan pertanian. Soeharto (1974) saat meresmikan Gedung Kebangkitan
Nasional, justru menceritakan sejarah yang menjadi "tempat". Gedung
bersejarah itu diinginkan sebagai tujuan wisata domestik ataupun asing.
Dua
presiden memberi arti berbeda untuk Boedi Oetomo, alias tak gamblang
mengisahkan desa dan pertanian. Peringatan Hari Kebangunan Nasional atau Hari
Kebangkitan Nasional cenderung masih bertema pendidikan dan politik. Boedi
Oetomo diakui mempengaruhi peristiwa pada 1928 dan 1945. Interpretasi atas
kemajuan pun mengarah ke peningkatan hak-hak pendidikan tanpa membuka
halaman-halaman sejarah desa dan pertanian. Soetomo dan Goenawan
Mangoenkoesoemo sudah berseru bahwa pekerjaan besar kaum intelektual adalah
memajukan desa dan pertanian demi membebaskan jutaan orang dari kemiskinan.
Sekarang, arti Boedi Oetomo bisa semakin kabur jika Joko Widodo cuma memberi
perintah-perintah pembangunan desa dan pertanian tanpa anjuran bagi para
menteri agar mengingat sejarah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar