Kamis, 21 Mei 2015

Penelantaran Anak, Siapa Peduli?

Penelantaran Anak, Siapa Peduli?

Bagong Suyanto  ;   Dosen Masalah Sosial Anak di FISIP Universitas Airlangga
KORAN TEMPO, 20 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kisah anak yang ditelantarkan biasanya terjadi di kalangan keluarga miskin dan anak yatim-piatu. Namun yang terjadi di Cibubur belum lama ini agak berbeda. Meski secara ekonomi relatif mapan, pasangan suami-istri Utomo Perbowo dan Nurindria Sari ternyata tega menelantarkan kelima anaknya. Bahkan, tak jarang mereka melakukan tindakan child abuse. Salah seorang anak pelaku bahkan sudah ketakutan saat mendengar nama ayahnya disebut karena trauma akan tindak kekerasan yang dialaminya.

Anak yang ditelantarkan secara konseptual masuk kategori anak rawan atau anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Dalam Buku Pedoman Pembinaan Anak Terlantar, yang dikeluarkan Dinas Sosial (2001), disebutkan bahwa yang disebut anak telantar adalah anak yang karena suatu penyebab tidak dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial.

Seorang anak dikatakan telantar bukan sekadar karena sudah tidak lagi memiliki salah satu atau kedua orang tuanya. Namun telantar di sini juga dalam pengertian ketika hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang secara wajar, memperoleh pendidikan yang layak, serta memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai tidak terpenuhi akibat kelalaian, ketidakmengertian orang tua, serta ketidakmampuan atau kesengajaan.

Seorang anak yang kelahirannya tidak dikehendaki pada umumnya sangat rawan ditelantarkan dan bahkan diperlakukan secara salah (child abuse). Pada tingkat yang ekstrem, perilaku penelantaran anak bisa mencakup tindakan orang tua membuang anaknya, entah di hutan, di selokan, di tempat sampah, dan sebagainya, baik karena ingin menutupi aib atau lantaran tidak siap melahirkan dan memelihara anaknya secara wajar.

Di lingkup keluarga yang secara ekonomi mapan tapi tak lepas dari kasus penelantaran anak, biasanya pihak orang tua mengalami gangguan kejiwaan, punya sifat kasar dan pemarah, serta seringkali memiliki kebiasaan buruk, seperti suka mengkonsumsi minuman keras atau memakai obat terlarang. Kasus penelantaran anak yang terjadi di Cibubur ini boleh jadi dipicu oleh perilaku orang tua korban yang terlibat dalam penggunaan narkotik, sehingga melalaikan tanggung jawab mereka untuk melindungi dan memenuhi apa yang menjadi hak anak-anaknya.

Di luar kasus yang terjadi di Cibubur, bukan tidak mungkin masih ada kasus-kasus penelantaran lain yang dialami anak-anak yang bernasib malang. Dalam berbagai komunitas, anak-anak memang sering menjadi korban pertama, sehingga mereka menderita dan proses tumbuh-kembangnya terhambat akibat ketidakmampuan orang tua, masyarakat, dan pemerintah untuk memberikan pelayanan sosial yang terbaik bagi anak-anak.

Dalam kasus penelantaran dan tindak kekerasan terhadap anak, yang memprihatinkan adalah kenapa masyarakat baru bertindak dan memberikan pertolongan ketika korban sudah jatuh. Padahal merehabilitasi rasa trauma dan menyelamatkan anak-anak yang sudah keburu menjadi korban sesungguhnya jauh lebih sulit ketimbang mencegah agar anak tidak keburu jatuh menjadi korban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar