Minggu, 10 Mei 2015

UN dan Ujian Kejujuran (UK)

UN dan Ujian Kejujuran (UK)

A Ilyas Ismail  ;  Dosen UIN Syarif Hidayatullah; Dekan FAI UIA Jakarta
MEDIA INDONESIA, 04 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

UJIAN Nasional (UN) 2015, untuk tingkat SMA sederajat sudah dimulai sejak Senin, 13 April yang lalu. Berbeda dengan UN tahun-tahun sebelumnya, UN pada masa kepemimpinan Anies Baswedan ini tidak menjadi penentu kelulusan. Itu hanya sebagai alat pemetaan sekolah, syarat masuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi, serta sebagai alat [intervensi] kebijakan pemerintah terhadap sekolah tertentu.

Pada UN kali ini, diperkenalkan Indeks Integritas Sekolah (IIS), yang dimaksudkan, antara lain, untuk menekan sekolah agar berlaku jujur dalam pelaksanaan UN. Caranya, IIS dilakukan dengan membuat perbandingan antara nilai UN dan nilai rapor harian. Apabila terjadi deviasi yang (terlalu) mencolok antara nilai UN dan nilai harian pada suatu sekolah, diduga kuat sekolah tersebut melakukan kecurangan dan dengan begitu, sekolah tersebut dipandang memiliki integritas rendah.

Sebagai ikhtiar untuk menekan kecurangan di satu pihak dan menumbuhkan kejujuran pada sekolah di lain pihak, penerapan IIS patut diapresiasi.Namun, secara metodologi, cara dan teknik penetapan IIS masih bisa diperdebatkan. Banyak teori yang bisa diujicobakan di sini. Hal yang perlu dijaga, jangan sampai penetapan IIS itu berpotensi merugikan pihak-pihak tertentu, siswa atau sekolah itu sendiri. Sekadar contoh, siswa yang tekun dan jujur dalam mengikuti UN di sekolah yang berintegritas buruk, ia bisa ditolak masuk Perguruan Tinggi. Sebaliknya, hanya berdasar jawaban siswa pada UN, sekolah dipandang memiliki integritas buruk. Apakah ini tidak berarti generalisasi yang kelewat longgar?

Di luar itu, tidak ada yang berubah pada UN kali ini. Kebocoran dan berbagai kecurangan tetap terjadi. Seperti diberitakan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), yakni kebocoran, kecurangan, sontek-menyontek, bahkan jual beli soal tetap terjadi. Malah kebocorannya lebih canggih, karena beberapa paket soal diunggah ke google drive, sehingga beberapa hari sebelum UN, banyak siswa sudah memiliki link dan mengetahui soal UN. Lantas, kapan UN bebas dari kebocoran dan kecurangan?

Membangun karakter kejujuran

Di luar UN, berbagai kecurangan juga terjadi, mulai dari plagiarisme penulisan tugas akhir, sontek-menyontek dalam ujian, upaya menghindar dari kewajiban dalam tugas individu maupun tugas kelompok (ada siswa/mahasiswa yang hanya numpang nampang nama), hingga pengatrolan nilai yang biasa dilakukan oleh oknum guru atau kepala sekolah.

Kenyataan ini diperparah oleh lingkungan dan kultur sosial yang juga buruk (culas).Korupsi semakin menggila, dilakukan secara berjemaah di semua lingkaran kekuasaan, eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sehingga kejujuran menjadi `makhluk langka'. Apa yang dinyatakan Greg Barton, Indonesianis asal Australia, tentang tiga penyakit `kurang' yang menggerogoti kekuatan bangsa ini, yaitu kurang akal (irrational), kurang matang (immature), dan kurang menghargai nilai-nilai kejujuran (in-moral), ialah benar adanya.

Dalam keadaan demikian, bagaimana sekolah dan para pendidik dituntut untuk membangun kejujuran? Disadari, sebagai insti tusi pendidikan formal, sekolah dan para pendi dik memang selalu dituntut dan ditempatkan sebagai pihak pertama yang harus bertanggung jawab. Di Amerika, misalnya, apabila hal-hal buruk terjadi di masyarakat, spontan ditanyakan, `What is wrong with our education'?

Pertanyaan dan gugatan semacam ini bisa dimenger ti, tetapi tidak adil bilamana semua kesalahan hanya ditimpakan ke sekolah. Dalam hal ini, keluarga dan masyarakat ikut memikul tanggung jawab. Pakar pendidikan Kevin Ryan dan Thomas Lickona, memandang masyarakat sebagai `vital partner' dalam membangun karakter kejujuran (lihat, Characters development in school and beyond, tt.).

Di sekolah, membangun karakter kejujuran tak boleh dilihat pada output-nya saja, tetapi juga pada input dan prosesnya. Dalam proses, ada dua hal penting yang mesti diperhatikan menurut James W Komarnicki. Pertama, rancangan materi yang akan diberikan. Di sini, guru bisa memilih dan menentukan karakter tertentu dari (universal virtue) yang ingin ditanamkan, termasuk menetapkan target waktu dan metode yang digunakan, sehingga kemajuannya bisa dievaluasi setiap saat.

Kedua, tingkat pemahaman siswa. Di sini, guru perlu mengupayakan pemahaman sampai pada level tertinggi, mulai dari tingkat pengetahuan (understanding level), tingkat pemahaman (comprehension level), dan tingkat pengamalan (application level), (James W Komarnicki, How to Teach Toward Character Development, 2004).

Aspek pengamalan, selain pemahaman dan penghayatan, agaknya merupakan problem paling krusial dalam proses pendidikan kita. Dakwah dan pendidikan kita sering kali hanya berputar-putar pada tataran wacana, tidak sampai pada tingkat aplikasi. Adanya gap atau disparitas antara pemahaman (teoritikal) dan kenyataan (praktikal) menyebabkan pendidikan kita gagal menanamkan karakter kejujuran.

Dalam khazanah keilmuan Islam, jauh sebelum dunia pendidikan mengenal Taksonomi Bloom, Imam Ghazali, dalam magnum opus-nya, Ihya' Ulum al-Din, sudah menekankan tiga tingkatan (tahapan) penanaman kualitas-kualitas moral, yaitu tahap pemahaman, kognisi (al-ulum), sikap, afeksi (alahwal), dan tindakan, psikomotorik (al-a'mal). Transformasi dan peningkatan moral dari sifat-sifat buruk yang destruktif (rub'u al-muhlikat) menuju kualitas-kualitas moral yang konstruktif (rub'u al-munjiyat) dilakukan melalui tiga tahapan di atas.

Dalam aplikasinya, Ghazali mengusulkan program pembiasaan (al ta'wid wa al-mumarasah) pada kualitas-kualitas moral (virtue) dengan metode berbalik (bi thariqat al-'aks). Maksudnya, dalam pandangan Ghazali, penyakit-penyakit moral hanya bisa dihilangkan dengan lawannya, semisal bodoh dengan ilmu, pelit dengan dermawan, sombong dengan rendah hati, bohong dan curang dengan jujur, dan seterusnya. Kalau orang sudah tahu (berilmu), demikian Ghazali, bodohnya hilang. Kalau sudah dermawan, pelitnya hilang. Begitu juga, kala jujur dan kejujuran sudah menjadi mental dan watak seseorang, sifat bohong dan culasnya menjadi hilang atau lenyap.

Di luar semua itu, membangun karakter jujur di sekolah maupun di masyarakat, memerlukan dua hal lain yang juga amat penting, yaitu keteladanan dan gerakan. Dalam filsafat pendidikan Ki Hajar Dewantara (1889-1959), teladan (tuladha) merupakan asas pertama yang perlu dibangun, disamping political will, tekad kuat (karsa), dan dukungan atau supporting (handayani) dari masyarakat. Ini berarti membangun karakter jujur. Jika ingin berhasil, perlu ditransformasikan ke dalam sebuah gerakan yang secara nasional menjadi komitmen bersama dan disadari serta digerakkan bersama oleh seluruh elemen bangsa, disertai keyakinan yang dalam bahwa hanya dengan gerakan kejujuran ini, maka kekuatan dan muruah bangsa bisa dibangun dan ditegakkan.

Tanpa memperhatikan proses, lingkungan, dan kultur, serta gerakan yang mendukung atmosfer kejujuran di sekolah maupun di masyarakat, seperti dikemukakan tersebut, maka setiap usaha membangun karakter kejujuran akan menemui kegagalan. Contohnya ialah proyek pendirian `kantin kejujuran' yang beberapa waktu lalu marak, tetapi kini mulai surut dan nyaris tak terdengar. 
Soalnya, proyek ini tidak banyak menolong dalam membangun karakter kejujuran.Malah dari sini muncul `olok-olok' yang sudah umum diketahui, yang dalam bahasa Sunda disebut `Darmaji' (Dahar lima bebeja hiji) atau olok-olok lebih umum yang dalam bahasa Jawa berbunyi `Jarkoni' (iso ngajar, tapi ra-siso ngelakoni).

Jadi, kalau begitu, sebagai bangsa untuk lebih maju dan kompetitif di era baru, kita tak hanya membutuhkan ujian nasional (UN), tapi juga butuh ujian kejujuran (UK) yang bisa mengedukasi masyarakat, terutama para pemangku kekuasaan, agar bisa berkata benar dan bertindak benar, “Say what you do and do what you say“ atau “ari-na al-haqq-a haqqan warzuq-na ittiba'ah-u, wa arina al-bathil bathilan warzuq-na ijtinabah-u“. Wallahualam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar