Minggu, 10 Mei 2015

Sorogan dan Bandungan

Sorogan dan Bandungan

Ahmad Baedowi  ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 04 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

DALAM tradisi pendidikan Islam di Tanah Air, lembaga pesan tren sebenarnya memainkan peranan yang signifikan dalam menjaga moralitas bangsa. Sejarah pesantren melahirkan begitu banyak ulama yang memiliki kejujuran dan integritas tingkat Nabi, dan itu terlihat dari keikhlasan mereka dalam memperjuangkan peradaban Nusantara. Sebut saja nama Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Haji Ahmad Dahlan, Buya HAMKA, dan lain sebagainya. Dengan latar belakang pendidikan pesantren, terlahir banyak pemimpin yang sadar akan tugas kemanusiaannya.

Ketika banyak orang bertanya tentang bagaimana membentuk karakter anak agar berperilaku jujur, elaborasi dan eksplorasi tentangnya datang dari beragam teknik dan pendekatan, dari mulai menggunakan analisis psikologis perkembangan anak, rekam jejak budaya keluarga dan lingkungan sekitar, hingga analisis terhadap lembaga pendidikan. Semua pandangan tentu saja memiliki basis eksperimentasi yang cukup untuk menjelaskan bagaimana proses kejujuran bisa ditanamkan terhadap seorang anak. Akan tetapi, ba nyak pandangan yang luput untuk melihat basis kegiatan keseharian guru dan siswa dalam proses belajar-mengajar, serta pola hubungan siswa dan orangtua.

Dalam konteks pendidikan, pola hubungan siswa dan guru sebenarnya menyumbang cukup besar terhadap perkembangan perilaku seorang anak. Apalagi jika guru dan siswa tersebut juga memperoleh dukungan yang kondusif dari budaya sekolah dan atau budaya pendidikan yang coba diterapkan sebuah lembaga pendidikan. Salah satu pola hubungan belajar-mengajar yang memungkinkan anak memiliki ketajaman intuisi ialah pola belajar face-to-face secara mandiri. Dalam tradisi pesantren, pola belajar jenis ini disebut dengan gaya sorogan.

Pola individual learning jenis ini tentu saja sangat sulit diterapkan di dalam sekolah umum karena kebanyakan guru kelebihan beban mengajar dan harus mengejar ketuntasan belajar dalam jangka waktu yang sangat terbatas. Padahal, dalam sistem sorogan, peran guru atau kiai sangat kuat karena tugas mereka ialah memastikan benarnya pemahaman siswa/santri terhadap suatu bacaan.

Dengan cara sistem sorogan, setiap murid mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari kiai atau pembantu kiai. Sorogan memungkinkan sang kiai dapat membimbing, mengawasi, menilai kemampuan murid. Ini sangat efektif guna mendorong peningkatan kualitas murid.

Pola interaksi yang kuat secara individual ini memungkinkan tumbuh dan berkembangnya karakter santri/siswa yang jujur karena setiap kesalahan baca akan langsung dikoreksi kiai tanpa perlu menunggu untuk diujikan. Kesempatan belajar secara individual ini jelas sulit terjadi pada sekolah-sekolah umum karena selain keterbatasan waktu, rata-rata guru kita juga kurang memiliki kesabaran dalam membimbing dan memastikan pemahaman anak secara tuntas karena sistem sorogan menuntut guru dan siswa untuk disiplin dan bertanggung jawab secara langsung.

Pola atau sistem sorogan sesungguhnya merupakan fondasi dalam proses belajar-mengajar yang susungguhnya. Jika guru dan siswa bisa menjalankan proses belajar secara sorogan dengan baik, dapat dipastikan santri atau siswa tersebut akan tumbuh menjadi anak yang percaya diri dan kritis terhadap setiap masalah. Barulah sesudah itu dapat digunakan pendekatan belajar yang berbeda seperti bandungan.

Bandungan berasal dari kata ngabandungan yang ber arti `memperhatikan' secara saksama atau `menyimak'.Bandungan atau wetonan merupakan metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren. Kebanyakan pesantren, terutama pesantrenpesantren besar, menyelenggarakan bermacam-macam kelas bandungan (halakah) untuk mengajarkan mulai kitab-kitab elementer sampai tingkat tinggi, yang diselenggarakan setiap hari.

Sistem itu merupakan proses belajar mengajar di saat kiai atau guru membacakan kitab, menerjemah, dan menerangkan, sedangkan santri atau murid mendengarkan, menyimak, dan mencatat apa yang disampaikan kiai. Dalam sistem tersebut, sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan bukubuku Islam dalam bahasa Arab. Kelompok kelas dari sistem bandungan ini disebut halakah yang artinya sekelompok siswa yang belajar di bawah bimbingan seorang guru.

Sebagai kelanjutan dari sistem sorogan, bandungan dibangun di atas filosofi bahwa belajar juga perlu dilakukan secara berjemaah agar ada kesepahaman yang sama terhadap suatu konsep. Dalam tradisi pesantren, belajar berjemaah dianggap lebih banyak pahalanya daripada belajar secara individual. Dalam berjemaah, siswa atau santri akan belajar berinteraksi secara positif terhadap orang lain dan terutama bagaimana harus berperilaku baik terhadap guru. Dalam pola bandungan, kemampuan santri atau siswa dalam mendengar diasah sedemikian rupa sehingga tumbuh budaya mendengar dengan baik dan akan berimplikasi pada kemampuan mendengarkan orang lain.

Pada kebanyakan pendekatan, kemampuan mendengar tidak dilatih dengan baik dan saksama karena biasanya guru lebih banyak ingin didengar daripada mendengar. Kelanjutan dari pola bandungan biasanya diperkenalkan pula cara belajar melalui munadzarah, di saat para santri atau siswa harus mempelajari sendiri kitab-kitab yang ditunjuk. Kiai memimpin sendiri kelas musyawarah seperti dalam forum seminar dan terkadang lebih banyak dalam bentuk tanya jawab, biasanya hampir seluruhnya diselenggarakan dalam wacana kitab klasik. 
Wahana tersebut merupakan latihan bagi santri untuk menguji keterampilan dalam menyadap sumber-sumber argumentasi dalam kitab-kitab Islam klasik.

Dalam tradisi pendidikan modern yang ditandai kemajuan teknologi informasi, ternyata sistem sorogan, bandungan, dan munadzarah juga masih digunakan Ajman University of Science and Technology. Dengan menggunakan terminology blended learning, kebutuhan setiap mahasiswa untuk belajar secara individual ataupun berjemaah dilakukan secara saksama, bahkan dengan menggunakan bantuan teleconference. Dalam rilis terbaru Information Resources Management Association di AS (2015), buku Curriculum Design and Classroom Management: Concepts, Methodologies, Tools, and Applications banyak memuat ragam pendekatan pola belajar mengajar yang diyakini akan menumbuhkan karakter anak yang lebih baik dari kondisi saat ini, termasuk di dalamnya pendekatan sorogan dan bandungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar