Minggu, 10 Mei 2015

Eksekusi Hukuman Mati dan Reaksi Negara lain

Eksekusi Hukuman Mati dan Reaksi Negara lain

Farouk Muhammad  ;  Wakil Ketua DPD R;
 Guru Besar di PTIK dan Universitas Indonesia
MEDIA INDONESIA, 05 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

RABU dini hari (29/04), delapan terpidana mati kasus narkoba telah dieksekusi di Nusakambangan, Jawa Tengah. Terpidana warga Australia, Brasil, dan Nigeria dieksekusi oleh regu tembak setelah perintah pelaksanaan hukuman mati dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung. Reaksi keras langsung ditunjukkan oleh Pemerintah Australia dengan menarik duta besarnya dari Jakarta. Tindakan pemerintah Australia ini serupa dengan Brasil dan Belanda yang telah lebih dulu menarik duta besarnya dari Indonesia. Itu wujud protes atas eksekusi mati warganya pada ‘gelombang pertama’. Tekanan diplomatik di masa depan, tentu akan makin gencar seiring ngototnya pemerintah melanjutkan eksekusi mati bagi pelaku kejahatan narkoba.

Konsepsi hukuman mati

Hukuman mati punya sejarah panjang. Didasarkan pada praktik penghukuman kuno lex talionis. Mata di balas mata, gigi dibalas gigi. Hukuman mati dianggap balasan yang setimpal atas kejinya kejahatan yang dilakukan penjahat. Hukuman mati umumnya dianut oleh semua negara-negara di dunia di masa awalnya.

Seiring dengan perkembangan waktu, hukuman mati kemudian dianggap kejam dan tidak efektif. Kritik tersebut berkembang seiring dengan tumbuhnya kesadaran hak asasi manusia (HAM). Hukuman mati dianggap tidak berperikemanusiaan dan tidak tepat sasaran. Sudah semestinya hukuman tidak ditujukan sebagai alat balas dendam, tetapi hukuman harus bermanfaat memperbaiki pelaku.

Perbedaan titik tekan hukuman ditujukan sebagai usaha memperbaiki pelaku dengan hukuman berorientasi pada akibat kejahatan, telah menimbulkan perbedaan penyikapan antara negara-negara mengenai hukuman mati. Negara-negara yang model penghukumannya berorientasi pada perbaikan pelaku dan kesadaran HAM-nya lebih tinggi, maka hukuman mati cenderung dihapus dalam sistem hukum pidananya.

Sikap yang berbeda akan terlihat jika suatu negara memberi penekanan pada akibat kejahatan yang diperbuat oleh pelaku dan mengonsepkan HAM sebagai hak yang bersifat relatif, negara tersebut cenderung mempertahankan hukuman mati. Perbedaan pola penyikapan tersebut yang menyebabkan hukuman mati menjadi berbeda perumusannya di antara banyak negara-negara.Walaupun demikian, terdapat kecenderungan eksekusi yang `lebih manusiawi' dalam pelak sanaan hukuman mati.

Hukuman mati pada umumnya pernah diterapkan oleh semua negara di dunia. Termasuk Brasil, Belanda, maupun Australia. Seiring perjalanan waktu, negara-negara tersebut secara bertahap menghapus hukuman mati. Perubahan sikap ini tentu saja dipengaruhi dinamika sejarah, pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, maupun seberapa kompleksnya persoalan kejahatan yang dihadapi.

Di Brasil awalnya ancaman hukuman mati ditujukan terhadap beberapa jenis kejahatan dalam kitab undang-undang pidananya. Seiring perjalanan sejarah, hukuman mati sering kali dijadikan senjata untuk menyingkirkan lawan-lawan politik oleh rezim despotik yang berkuasa (Pereira, 2005). Trauma sejarah inilah yang menjadi salah satu pemicu bagi Brasil untuk melakukan pembatasan hukuman mati. Dimulai secara bertahap melalui pembatasan sesuai Pasal 84 (19) Konstitusi 1988. Penghapusan ancaman hukuman mati dalam hukum positifnya seiring dengan diratifi kasinya American Convention on Human Rights 1996.

Di Australia. Diperkirakan 80 orang dieksekusi setiap tahunnya, pada abad ke-19. Memasuki abad ke-20, Australia meratifikasi Second Optional Protocol konvensi internasional hak-hak sipil dan politik (ICCPR). Konsekuensinya, Australia melakukan penghapusan hukuman mati dalam sistem hukumnya.
Penerapan hukuman mati untuk Belanda, terakhir kali dijatuhkan kepada Johan Nathan (1860). Pada 1983, hukuman mati secara resmi dihapuskan di Belanda untuk semua kejahatan, termasuk kejahatan perang. (Hessing, Keijser, dan Elffers, 2003). Penghapusan hukuman mati ini merupakan pengaruh dari Konvensi Eropa tentang HAM. Konvensi tersebut mensyaratkan Belanda bila tergabung dalam Uni Eropa harus menghapuskan hukuman mati dalam sistem hukumnya.

Cerita penghapusan hukuman mati oleh Australia, Belanda, maupun Brasil tentu saja didasarkan pertimbangan yang bersifat internal. Bersandar pada kepentingan dan kebutuhan subjektif setiap negara, yakni tentunya dipengaruhi oleh kesejahteraan ekonomi, keadilan sosial, maupun persoalan kejahatan yang dihadapi. Karena itu, menjadi keliru apabila ketiga negara tersebut menghakimi sikap Indonesia untuk menerapkan hukuman mati dari perspektif diri mereka sendiri. Hukuman mati merupakan bagian dari upaya tegas untuk melindungi bangsa Indonesia dari bahaya narkoba.

Legalitas hukuman mati

Penelitian BNN dan Puslitkes UI 2014 mengenai kejahatan narkoba, mengungkapkan data yang cukup mencengangkan. Ada sekitar 4 juta orang yang merupakan pelaku penyalahgunaan narkoba. jika dirincikan, ada sekitar 1,6 juta yang mencoba-coba menggunakan. Angka 1,4 juta merupakan pemakai teratur dan 934 orang ialah pecandu. Korban meninggal diperkirakan 12.044 orang per tahun atau 33 orang per hari.

Dengan melihat angka korban yang begitu besar, menjadi tepat jika presiden dengan tegas menolak semua permohonan grasi terpidana mati narkoba. Apalagi, terpidana dalam proses peradilan yang adil dan terbuka terbukti merupakan para bandar, ditemukan dengan barang bukti narkoba dalam jumlah yang cukup besar, dan mengindikasikan mereka terlibat dalam organisasi mafia narkoba lintas negara. Karena itu, sikap tegas pemerintah, khususnya Presiden Jokowi, harus dimaknai sebagai proses mendukung proses penegakan hukum, yakni berperang untuk memberantas peredaran narkoba untuk menghindari korban yang berjatuhan.

Sikap tiada kompromi dari presiden menjadi pengingat bagi negara-negara sahabat untuk memperingatkan warganya agar tidak mengedarkan narkoba ke Indonesia. Apalagi, dari data terakhir, sebanyak 43 warga negara asing yang terancam hukuman mati karena dianggap melakukan kejahatan serius, mengedarkan narkoba, dan menjadikan bangsa Indonesia korban untuk mencari keuntungan pribadi.

Sikap tegas Presiden untuk menghukum mati pengedar narkotika tidak saja didukung oleh semua rakyat. Landasan keabsahannya juga konsisten dengan putusan Mahkamah Konstitusi ketika menguji legalitas hukuman mati, yakni terlihat dalam Putusan MK No 2-3/PUU-V/2007 dalam rangka menguji Pasal 80 UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Legalitas hukuman mati ini kembali dipertegas oleh MK melalui Putusan MK No 15/PUU-X/2012 sebagai permohonan uji Pasal 365 ayat (4) KUHP. Inti amar putusannya, yakni Mahkamah berpendapat bahwa hukuman mati dipandang tidak bertentangan dengan konstitusi. HAM termasuk hak hidup yang dapat dibatasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28 J UUD 1945.

Ketegasan

Hukuman mati merupakan hasil dari rangkaian proses penegakan hukum pidana. Mesin sistem peradilan yang sudah berjalan tidak bisa dihentikan begitu saja. Apalagi, karena terkait dengan adanya reaksi protes dari negara-negara lain. Ketegasan Presiden untuk melanjutkan hukuman mati harus didukung. Sebagai bagian ikhtiar menegakkan hukum secara adil dalam kerangka melindungi seluruh tumpah darah Indonesia. Di lain pihak, kita juga tidak pernah mengingkari kepentingan di masa depan untuk memperketat --bila disepakati oleh rakyat melalui perubahan UU--untuk menghapus hukuman mati. Namun, semuanya itu memerlukan proses pembuatan hukum yang membutuhkan waktu yang cukup lama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar