Selasa, 12 Mei 2015

Ujian Nasional dan Kecurangan

Ujian Nasional dan Kecurangan

 Teuku Ramli Zakaria  ;  Praktisi Pendidikan;

Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Syahid Jakarta

MEDIA INDONESIA, 11 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

UJIAN nasional (UN) tingkat SMP dan SMA sederajat me miliki tujuan mengukur pencapaian standar kompetensi lulusan (SKL) secara nasional pada mata pelajaran tertentu. SKL adalah kompetensi minimal yang harus dikuasai peserta didik untuk lulus pada suatu jenis dan jenjang pendidikan tertentu. Pengukuran pencapaian SKL ini sangat penting, supaya satuan pendidikan tidak memberikan pendidikan semu kepada masyarakat.

Namun, tujuan yang baik tersebut menjadi rusak bila penyimpangan, kecurangan, dan kebocoran soal sering terjadi dalam setiap pelaksanaan UN. Misalnya, terunggahnya soal UN SMA di Google Drive dan berbagai kecurangan lain yang benar-benar terjadi dalam pelaksanaan UN SMA dan SMP sederajat baru-baru ini, seperti yang dilansir dalam beberapa media cetak dan elektronik. Kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional ini merupakan salah satu faktor penguat argumentasi bagi pihak-pihak tertentu yang menghendaki ujian tersebut dihapus.

Kecurangan dalam pelaksanaan UN memiliki tiga dampak negatif yang sangat merugikan. Pertama, mem beri pembelajaran negatif kepada siswa peserta UN, secara langsung atau tidak langsung menanamkan nilai ketidakjujuran kepada mereka sebagai generasi muda. Kedua, UN yang tidak jujur menghasilkan data yang tidak valid tentang tingkat pencapaian kompetensi lulusan siswa yang ingin diukur. Data yang tidak valid akan menyesatkan bila digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan untuk kepentingan apa pun. Ketiga, dana dan berbagai sumber daya lainnya yang digunakan dalam penyelenggaraan UN, yang jumlahnya sedemikian besar, merupakan pemborosan yang luar biasa dan sangat merugikan.

Psikologis masyarakat

Ada tiga faktor utama yang menjadi pendorong terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan UN, yakni sebagai berikut, pertama, faktor psikologis masyarakat. Sejak merdeka sampai dengan awal 1970-an, di Indonesia berlaku ujian negara sebagai ujian akhir pada satuan pendidikan dasar dan menengah. Setelah itu, berlaku ujian sekolah sepenuhnya sebagai ujian akhir yang disebut dengan evaluasi belajar tahap akhir (EBTA).Pada masa ini, ujian akhir dan pelulusannya sepenuhnya di tentukan oleh setiap satuan pendidikan. Pada masa ini, berkembang budaya lulus 100%. Selanjutnya, diperbaiki dengan evaluasi belajar tahap akhir nasional (Ebtanas).

Kedua, Indonesia merupakan negara kesatuan dan pendidikan merupakan salah satu bidang pemerintahan yang diotonomikan. Implikasinya, hasil UN dijadikan indikator kinerja oleh pemerintah daerah (pemda) dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu, ada kecenderungan dari pemda untuk melakukan berbagai intervensi, guna memperoleh rata-rata nilai UN yang baik dan peringkat kelulusan yang tinggi. Ketiga, faktor yang mendorong terwujudnya kecurangan, karena di Indonesia, belum ada suatu lembaga pengujian mandiri yang memiliki otoritas penuh dalam penyelenggaraan ujian. Contoh badan seperti ini ialah Lembaga Peperiksaan (Malaysian Examination Syndicate) di Malaysia. Lembaga ini menyelenggarakan ujian nasional untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah, yaitu ujian pencapaian sekolah rendah (UPSR) untuk tingkat SD, penilaian menengah rendah (PMR) untuk tingkat SMP, sijil pelajaran malaysia (SPM) untuk tingkat SMA, dan sijil tinggi persekolahan malaysia untuk tingkat pre-university, setara A Level di Inggris.

Di Singapura, ada Singapore Examination and Assessment Board (SEAB) yang menyelenggarakan ujian nasional, yaitu Primary School Leaving Examination (PSLE) untuk tingkat SD (Grade 6), General Certificate of Education Ordinary (GCE N Level dan GCE O Level) untuk tingkat sekolah menengah tahun ke-4 dan ke-5, atau (Grade 10 dan 11), dan Junior Certificate of Education Advanced (GCE A Level) untuk tingkat pre-university.

Di Thailand, ada National Institute of Educational Testing Service (NIETS) yang menye lengga rakan Or dinary National Education Test (O NET), yakni UN pada akhir tahun ke-6 tingkat SD, akhir tahun ke-9 tingkat SMP, dan akhir tahun ke-12 tingkat SMA.

Lembaga Peperiksaan di Malaysia, SEAB di Singapura, dan NIETS di Thailand merupakan lembaga yang memiliki single authority dalam penyelenggaraan ujian, mulai dari penyiapan bahan, pelaksanaan ujian, sampai pada pemeriksaan, dan penskoran hasil ujian. Lembaga-lembaga pengujian tersebut memiliki perangkat yang lengkap yang diperlukan dalam penyiapan dan pelaksanaan ujian. Lembaga Pemeriksaan di Malaysia juga memiliki kantor perwakilan di seluruh daerah, untuk menunjang kelancaran penyelenggaraan ujian. Kondisi ini berbeda dengan di Indonesia.

Pengurangan mutu

Hal lain yang membuka peluang bagi terjadinya penyimpangan dan kecurangan dalam penyelenggaraan UN ialah berkaitan dengan mekanisme pencetakan bahan ujian. Ada dua kelemahan dalam pencetakan bahan ujian. Pertama, pencetakan dilakukan melalui proses lelang terbuka. Perusahaan yang ikut lelang cenderung melakukan berbagai upaya untuk memenangi pelelangan.

Semua perusahaan percetakan sebagai badan usaha tentu ingin memperoleh keuntungan. Dalam proses pelelangan, perusahaan percetakan cenderung menekan harga dan dalam proses pencetakan melakukan upaya efisiensi yang menurunkan kualitas hasil pencetakan. Misalnya, kertas yang kurang sesuai dengan spek, hasil cetakan yang kurang jelas terbaca, lembar jawaban yang mudah rusak ketika dihapus, dan sebagainya. Kedua, percetakan yang memenangi pelelangan, sering merekrut tenaga kerja lepas dalam jumlah besar, untuk mengerjakan pekerjaan pencetakan bahan UN yang jumlahnya besar dan harus diselesaikan dalam waktu yang terbatas. Tenaga kerja lepas mudah terpengaruh oleh rayuan pihak-pihak tertentu, untuk mengambil bahan ujian dengan imbalan sejumlah uang. Hal ini juga menjadi salah satu celah yang membuka bagi terjadinya kebocoran soal UN.

Perbaikan mutu UN, antara lain, dengan mengatasi berbagai penyimpangan dan kecurangan perlu dilakukan. Penyelenggaraan UN harus credible dan acceptable untuk memperoleh hasil UN yang valid, akurat, dan bermanfaat bagi upaya peningkatan dan pemerataan mutu pen didikan, dalam rangka peningkatan dan pemerataan mutu SDM masyarakat dan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar