Tiga
Syarat untuk Rombak Kabinet
Djayadi Hanan ; Dosen dan Peneliti di Universitas
Paramadina;
Lulusan S3 Ilmu Politik dan S2 Hubungan Internasional
dari Universitas Ohio AS;
S2 Ilmu Politik UGM dan S1 Administrasi Publik
Universitas Sriwijaya
|
DETIKNEWS, 03 Mei 2015
Meski
usia pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) baru enam bulan,
wacana perombakan kabinet sudah kencang berembus. Wacana tersebut tampak
diperkuat oleh dua konteks nasional. Pertama, ada gonjang-ganjing politik
yang menguras energi bangsa selama berbulan-bulan. Termasuk di dalam isu ini
adalah fenomena gesekan antarlembaga pemerintahan.
Kita
menyaksikan dengan gamblang ketegangan antara KPK dan Polri, Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial, Kementerian Pemuda dan Olahraga dan PSSI, serta
perpecahan sejumlah partai politik yang menyeret peran negara ke sana-kemari.
Di tingkat kabinet, kita juga mendengar masih belum tuntasnya restrukturisasi
sejumlah kementerian. Di tingkat masyarakat, keadaan ekonomi terasa makin
berat, terutama soal harga-harga barang kebutuhan pokok.
Kedua,
ada berbagai jajak pendapat publik dari sejumlah lembaga yang menunjukkan
kemerosotan tingkat kepuasan publik terhadap berbagai kebijakan dan jalannya
pemerintahan. Menurut Lembaga Survei Indonesia (LSI), misalnya, tingkat
kepuasan publik terhadap jalannya pemerintahan pada bulan Februari 2015 ada
di kisaran 60 persen. Dua bulan kemudian, akhir April, menurut sejumlah
lembaga lain, tingkat kepuasan publik itu sudah turun jauh ke angka di bawah
50 persen.
Apakah
situasi nasional mutakhir tersebut memberikan sinyal akan perlunya perombakan
kabinet? Hal apa saja yang menunjukkan alasan perlunya perombakan kabinet?
Apakah memang sudah tepat waktunya melakukan perombakan kabinet walaupun usia
pemerintahan baru sekitar enam bulan?
Tiga Kriteria
Presiden
sebagai kepala eksekutif memang harus melakukan evaluasi secara terus-menerus
atas kinerja pemerintahan, terutama kabinet. Agar adil, evaluasi minimal
harus menggunakan tiga kriteria, yakni evaluasi obyektif, persepsi publik,
dan alasan-alasan politis.
Evaluasi
obyektif presiden terhadap kinerja kabinet harus didasarkan pada pencapaian
agenda-agenda prioritas pemerintahan. Payung besarnya seharusnya adalah Nawa
Cita, yang menjadi janji utama presiden ketika masih berkampanye. Ada dua
aspek utama yang harus jadi perhatian.
Pertama,
apakah setiap kementerian telah berhasil menetapkan kerangka kebijakan
masing-masing dan membaginya menjadi agenda prioritas tahun pertama hingga
tahun kelima. Termasuk di dalamnya adalah penuntasan restrukturisasi
kementerian yang digabung dan yang dipisah. Bila belum, sudah sepatutnya
presiden memberi tanda merah pada menteri yang bersangkutan.
Kedua,
selama enam bulan ini, seharusnya sudah ada program dan kebijakan awal yang
dilaksanakan. Yang paling jelas kelihatan, misalnya, Kementerian ESDM soal
realokasi subsidi dan harga BBM, Kementerian Kelautan dan Perikanan soal
penangkapan ikan ilegal, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan soal
kurikulum dan ujian nasional. Kementerian-kementerian yang sampai enam bulan
ini masih belum menunjukkan adanya kebijakan-kebijakan awal yang dilaksanakan
patut mendapat stempel merah dari presiden.
Khusus
untuk menteri-menteri yang berasal dari partai politik, selain dua aspek
evaluasi obyektif di atas, perlu ditambah satu aspek lagi, yakni seberapa
baik sang menteri mengurangi beban politik presiden. Salah satu pertimbangan
utama adanya menteri dari partai politik adalah agar dukungan politik bagi
presiden selalu tersedia dalam menjalankan agenda prioritas pemerintahan.
Menteri-menteri yang lebih banyak menjadi beban politik, apalagi merusak
hubungan presiden dengan partai politik, perlu mendapat tanda merah juga.
Kriteria
evaluasi publik, selama enam bulan ini ada sejumlah menteri yang mendapat
respons negatif publik. Misalnya ada menteri yang membuat kebijakan tak jelas
dan berubah-ubah soal aturan rapat pegawai negeri dan instansi pemerintahan.
Mengingat
waktu yang masih enam bulan, sebaiknya presiden menggunakan evaluasi publik
ini sebagai kriteria pendukung dalam mengevaluasi kabinetnya. Memang ada
menteri yang sejak awal sudah harus tampil di publik, tapi ada juga yang
belum bisa karena harus konsolidasi internal terlebih dahulu.
Kriteria
ketiga, alasan-alasan politis yang mengharuskan adanya perombakan kabinet.
Presiden selama enam bulan sedang melakukan konsolidasi semua kekuatan
politik agar mendukung pencapaian agenda-agenda prioritas pemerintahan. Bila
presiden memandang perlu penambahan kekuatan politik formal, ada tiga
perkembangan di partai politik yang dapat digunakan presiden sebagai titik
masuk melakukan perombakan kabinet.
Pertama,
perkembangan di Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pasca-berkurangnya peran
Suryadharma Ali (SDA), sebetulnya peluang Jokowi untuk mendapat dukungan,
baik dari kubu Romahurmuziy maupun kubu Djan Faridz, cukup terbuka.
Kedua,
perpecahan internal di Partai Golkar jelas menimbulkan pelemahan secara
politik dari kekuatan oposisi, mengingat Golkar adalah penggerak utama KMP.
Ini juga membuka peluang bagi Jokowi untuk menarik lebih dalam pihak Golkar
ke lingkaran pemerintahan. Ini memerlukan konsesi politik lebih formal,
seperti memberikan posisi menteri kepada figur yang dianggap mewakili Golkar.
Begitupun
di Partai Amanat Nasional (PAN). Pascakongres di Bali dengan duet
kepemimpinan Zulkifli Hasan sebagai Ketua Umum dan Soetrisno Bachir sebagai
Ketua MPP, jelas secara politik PAN akan lebih bersahabat dengan pemerintahan
Jokowi. Zulkifli adalah juga Ketua MPR yang memberi dia alasan untuk lebih
sering berhubungan dengan presiden sebagai sesama lembaga tinggi negara.
Soetrisno Bachir adalah pendukung Jokowi dalam proses pilpres yang baru lalu.
Bila peluang ini akan dimanfaatkan Jokowi, ada keperluan untuk memberi
konsesi politik formal kepada PAN dalam bentuk pos kementerian di kabinet.
Sekarang atau Nanti?
Masalahnya
adalah apakah sekarang saat yang tepat? Jawabannya adalah bukan sekarang.
Belum ada hal luar biasa yang mengharuskan presiden mengganti
menteri-menterinya sekarang. Bila kabinet terkesan lamban di sana-sini,
mengingat waktunya masih enam bulan, bisa jadi masalahnya bukan di
menteri-menteri. Bisa jadi masalahnya ada di presiden sendiri yang belum
mampu secara jelas dan tegas menetapkan agenda prioritas untuk setiap kementerian.
Banyak
menteri juga masih dalam proses melakukan konsolidasi internal sehingga,
dalam pelaksanaan kebijakan, pasti aksinya belum terlihat. Bila presiden
melakukan perombakan kabinet sekarang, itu jelas menunjukkan ketidakmampuan
presiden membentuk kabinet yang baik dari awal. Merombak kabinet sekarang
hanya akan menunjukkan kegagalan kepemimpinan presiden di tahap awal
pemerintahan.
Bila
mempertimbangkan alasan politis perombakan kabinet, presiden perlu waktu
untuk mencari cara mengakomodasi partai di luar anggota kabinet yang ada
sekarang. Tampaknya akan sulit bagi presiden untuk mengurangi jatah partai
yang sudah ada. Bila pilihannya adalah mengurangi jatah menteri dari
nonpartai, tantangan bagi presiden adalah bagaimana menjelaskannya kepada
publik. Bukankah sejak awal presiden menjanjikan untuk membentuk kabinet yang
diisi oleh lebih banyak menteri dari nonpartai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar