Minggu, 17 Mei 2015

Tiga Syarat untuk Rombak Kabinet

Tiga Syarat untuk Rombak Kabinet

Djayadi Hanan   ;  Dosen dan Peneliti di Universitas Paramadina;
Lulusan S3 Ilmu Politik dan S2 Hubungan Internasional dari Universitas Ohio AS;
S2 Ilmu Politik UGM dan S1 Administrasi Publik Universitas Sriwijaya
DETIKNEWS, 03 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Meski usia pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) baru enam bulan, wacana perombakan kabinet sudah kencang berembus. Wacana tersebut tampak diperkuat oleh dua konteks nasional. Pertama, ada gonjang-ganjing politik yang menguras energi bangsa selama berbulan-bulan. Termasuk di dalam isu ini adalah fenomena gesekan antarlembaga pemerintahan.

Kita menyaksikan dengan gamblang ketegangan antara KPK dan Polri, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, Kementerian Pemuda dan Olahraga dan PSSI, serta perpecahan sejumlah partai politik yang menyeret peran negara ke sana-kemari. Di tingkat kabinet, kita juga mendengar masih belum tuntasnya restrukturisasi sejumlah kementerian. Di tingkat masyarakat, keadaan ekonomi terasa makin berat, terutama soal harga-harga barang kebutuhan pokok.

Kedua, ada berbagai jajak pendapat publik dari sejumlah lembaga yang menunjukkan kemerosotan tingkat kepuasan publik terhadap berbagai kebijakan dan jalannya pemerintahan. Menurut Lembaga Survei Indonesia (LSI), misalnya, tingkat kepuasan publik terhadap jalannya pemerintahan pada bulan Februari 2015 ada di kisaran 60 persen. Dua bulan kemudian, akhir April, menurut sejumlah lembaga lain, tingkat kepuasan publik itu sudah turun jauh ke angka di bawah 50 persen.

Apakah situasi nasional mutakhir tersebut memberikan sinyal akan perlunya perombakan kabinet? Hal apa saja yang menunjukkan alasan perlunya perombakan kabinet? Apakah memang sudah tepat waktunya melakukan perombakan kabinet walaupun usia pemerintahan baru sekitar enam bulan?

Tiga Kriteria

Presiden sebagai kepala eksekutif memang harus melakukan evaluasi secara terus-menerus atas kinerja pemerintahan, terutama kabinet. Agar adil, evaluasi minimal harus menggunakan tiga kriteria, yakni evaluasi obyektif, persepsi publik, dan alasan-alasan politis.

Evaluasi obyektif presiden terhadap kinerja kabinet harus didasarkan pada pencapaian agenda-agenda prioritas pemerintahan. Payung besarnya seharusnya adalah Nawa Cita, yang menjadi janji utama presiden ketika masih berkampanye. Ada dua aspek utama yang harus jadi perhatian.

Pertama, apakah setiap kementerian telah berhasil menetapkan kerangka kebijakan masing-masing dan membaginya menjadi agenda prioritas tahun pertama hingga tahun kelima. Termasuk di dalamnya adalah penuntasan restrukturisasi kementerian yang digabung dan yang dipisah. Bila belum, sudah sepatutnya presiden memberi tanda merah pada menteri yang bersangkutan.

Kedua, selama enam bulan ini, seharusnya sudah ada program dan kebijakan awal yang dilaksanakan. Yang paling jelas kelihatan, misalnya, Kementerian ESDM soal realokasi subsidi dan harga BBM, Kementerian Kelautan dan Perikanan soal penangkapan ikan ilegal, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan soal kurikulum dan ujian nasional. Kementerian-kementerian yang sampai enam bulan ini masih belum menunjukkan adanya kebijakan-kebijakan awal yang dilaksanakan patut mendapat stempel merah dari presiden.

Khusus untuk menteri-menteri yang berasal dari partai politik, selain dua aspek evaluasi obyektif di atas, perlu ditambah satu aspek lagi, yakni seberapa baik sang menteri mengurangi beban politik presiden. Salah satu pertimbangan utama adanya menteri dari partai politik adalah agar dukungan politik bagi presiden selalu tersedia dalam menjalankan agenda prioritas pemerintahan. Menteri-menteri yang lebih banyak menjadi beban politik, apalagi merusak hubungan presiden dengan partai politik, perlu mendapat tanda merah juga.

Kriteria evaluasi publik, selama enam bulan ini ada sejumlah menteri yang mendapat respons negatif publik. Misalnya ada menteri yang membuat kebijakan tak jelas dan berubah-ubah soal aturan rapat pegawai negeri dan instansi pemerintahan.

Mengingat waktu yang masih enam bulan, sebaiknya presiden menggunakan evaluasi publik ini sebagai kriteria pendukung dalam mengevaluasi kabinetnya. Memang ada menteri yang sejak awal sudah harus tampil di publik, tapi ada juga yang belum bisa karena harus konsolidasi internal terlebih dahulu.

Kriteria ketiga, alasan-alasan politis yang mengharuskan adanya perombakan kabinet. Presiden selama enam bulan sedang melakukan konsolidasi semua kekuatan politik agar mendukung pencapaian agenda-agenda prioritas pemerintahan. Bila presiden memandang perlu penambahan kekuatan politik formal, ada tiga perkembangan di partai politik yang dapat digunakan presiden sebagai titik masuk melakukan perombakan kabinet.

Pertama, perkembangan di Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pasca-berkurangnya peran Suryadharma Ali (SDA), sebetulnya peluang Jokowi untuk mendapat dukungan, baik dari kubu Romahurmuziy maupun kubu Djan Faridz, cukup terbuka.

Kedua, perpecahan internal di Partai Golkar jelas menimbulkan pelemahan secara politik dari kekuatan oposisi, mengingat Golkar adalah penggerak utama KMP. Ini juga membuka peluang bagi Jokowi untuk menarik lebih dalam pihak Golkar ke lingkaran pemerintahan. Ini memerlukan konsesi politik lebih formal, seperti memberikan posisi menteri kepada figur yang dianggap mewakili Golkar.

Begitupun di Partai Amanat Nasional (PAN). Pascakongres di Bali dengan duet kepemimpinan Zulkifli Hasan sebagai Ketua Umum dan Soetrisno Bachir sebagai Ketua MPP, jelas secara politik PAN akan lebih bersahabat dengan pemerintahan Jokowi. Zulkifli adalah juga Ketua MPR yang memberi dia alasan untuk lebih sering berhubungan dengan presiden sebagai sesama lembaga tinggi negara. Soetrisno Bachir adalah pendukung Jokowi dalam proses pilpres yang baru lalu. Bila peluang ini akan dimanfaatkan Jokowi, ada keperluan untuk memberi konsesi politik formal kepada PAN dalam bentuk pos kementerian di kabinet.

Sekarang atau Nanti?

Masalahnya adalah apakah sekarang saat yang tepat? Jawabannya adalah bukan sekarang. Belum ada hal luar biasa yang mengharuskan presiden mengganti menteri-menterinya sekarang. Bila kabinet terkesan lamban di sana-sini, mengingat waktunya masih enam bulan, bisa jadi masalahnya bukan di menteri-menteri. Bisa jadi masalahnya ada di presiden sendiri yang belum mampu secara jelas dan tegas menetapkan agenda prioritas untuk setiap kementerian.

Banyak menteri juga masih dalam proses melakukan konsolidasi internal sehingga, dalam pelaksanaan kebijakan, pasti aksinya belum terlihat. Bila presiden melakukan perombakan kabinet sekarang, itu jelas menunjukkan ketidakmampuan presiden membentuk kabinet yang baik dari awal. Merombak kabinet sekarang hanya akan menunjukkan kegagalan kepemimpinan presiden di tahap awal pemerintahan.

Bila mempertimbangkan alasan politis perombakan kabinet, presiden perlu waktu untuk mencari cara mengakomodasi partai di luar anggota kabinet yang ada sekarang. Tampaknya akan sulit bagi presiden untuk mengurangi jatah partai yang sudah ada. Bila pilihannya adalah mengurangi jatah menteri dari nonpartai, tantangan bagi presiden adalah bagaimana menjelaskannya kepada publik. Bukankah sejak awal presiden menjanjikan untuk membentuk kabinet yang diisi oleh lebih banyak menteri dari nonpartai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar