Minggu, 17 Mei 2015

Komoditi Unggulan yang Merugikan

Komoditi Unggulan yang Merugikan

Agus Pambagio   ;  Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen
DETIKNEWS, 04 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Setiap negara dipastikan masing-masing mempunyai komoditi unggulan yang laku dijual, baik di pasar domestik maupun pasar internasional, untuk menambah pundi-pundi pendapatan di angaran belanja negara. Sebagai komoditi unggulan tentunya pemerintah harus merawatnya dengan baik supaya komoditi tersebut tetap unggul. Komoditinya bisa berupa jasa, produk manufaktur, produk pertanian/perikanan/perkebunan, produk teknologi informasi dan sebagainya.

Sebagai negara besar, baik secara luas maupun jumlah penduduk, Indonesia seharusnya mempunyai produk unggulan yang bisa diandalkan sebagai 'pengeduk' devisa demi pembangunan Indonesia. Kesuburan tanah tidak perlu diragukan lagi, kekayaan sumber daya alam dan keindahan panoramanya juga tidak perlu dipertanyakan. Namun mengapa Indonesia terus bertahan sebagai negara berkembang bukan negara maju? Pertanyaannya, apa nama atau jenis komoditi unggulan Republik Indonesia tersebut ?

Mulai garam, gula hingga beras kita masih terus impor untuk memenuhi kebutuhan pangan 250 juta lebih penduduk. Jadi pangan jelas bukan komoditi unggulan Indonesia. Apakah produk manufaktur? Tidak juga karena masih lebih dari 60% lebih komponen industri manufaktur, impor. Jadi manufatur juga bukan komoditi unggulan. Minyak bumi? Dulu benar komoditi unggulan tetapi sekarang bukan lagi. Lalu apa komoditi unggulan Indonesia? Ternyata komoditi unggulan Indonesia namanya.. "izin". Betul sekali lagi namanya "izin".

Izin Merupakan Komoditi Unggulan Indonesia

Bagaimana 'izin' bisa menjadi sebuah komoditi unggulan di Indonesia, izin kan tidak berbentuk? Mari kita ulas lebih jauh dengan ringan dan santai.

Dalam berbangsa dan bernegara, di manapun kita berada, kita semua pasti akan bertemu dengan yang namanya "izin". Tanpa "izin" kita tidak mungkin menikah, melahirkan, bersekolah, mengemudi, bekerja mencari nafkah, membangun rumah, sampai menggali liang kubur untuk memakamkan kita kelak. Benar tidak?

Nah di Indonesia yang namanya "izin" menjadi komoditi terlaris dan paling dicari melebihi beras yang merupakan komoditi pokok. Akibatnya banyak pihak bekerjasama dengan aparat Pemerintah, berbisnis "izin" karena komoditi ini sangat menguntungkan. Sehingga sebuah kebijakan publik bisa dibatalkan atau dibuat atau diubah sesuai dengan kepentingan pihak yang tidak mau sebuah "izin" diberlakukan, diubah atau dibatalkan karena dengan atau tanpa "izin" bisnisnya bisa berkembang.

Kita ambil contoh Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Sesuai peraturan yang berlaku, jika kita ingin membangun rumah harus mempunyai IMB dari Pemerintah Daerah (Pemda) setempat sesuai dengan UU No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung dan UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.

Semua persyaratan dan biaya IMB sudah diatur di beberapa aturan pelaksanaan di masing-masing daerah, termasuk waktu yang diperlukan untuk pengurusan sebuah IMB. Namun apa yang terjadi di lapangan? Tanpa ada tambahan biaya siluman yang disebut pungli (pungutan liar), pemohon sulit memstikan kapan IMB akan di tangan. Sementara semua kebutuhan pembangunan rumah, seperti semen sudah dibeli bisa membatu dan menyebabkan kerugian. Sehingga pada akhirnya lebih murah dan cepat kalau pemohon IMB memberikan pungli pada petugas Pemda setempat. Dan keluarlah IMB

Begitu pula dengan Surat Izin Mengemudi (SIM), kalau tidak mau memberi pungli pada oknum Polantas di Dirlantas POLRI, silahkan mondar mandir untuk ujian SIM dengan menghabiskan banyak biaya transport, waktu sampai pembelian formulir tanpa tahu kapan kita lulus. Akhirnya pola pungli kembali diterapkan. Begitu pula dengan izin trayek angkutan umum. Izin trayek adalah yang paling berkuasa di transportasi.

Ketiga contoh diatas merupakan bukti bahwa "izin" adalah sebuah komoditi utama di Indonesia dan melibatkan angka triliunan rupiah per tahunnya. Jangan-jangan penerimaan bisnis "izin" melampaui besaran penerimaan Negara di APBN/P tahun berjalan.

Begitupula dengan masalah "izin" di sektor penerbangan, seperti izin slot penerbangan (terutama sebelum jatuhnya Air Asia QZ 8501), izin impor suku cadang pesawat, kemudian juga izin impor BBM, izin impor beras, izin impor buah dan sebagainya yang katanya di kuasai oleh mafia. Para pihak yang terlibat di bisnis mafia komoditi izin beragam. Mulai dari oknum aparat Kementrian pemberi izin, aparat pemerintah daerah, sampai aparat hukum terlindungi karena kebijakannya mereka buat sedemikian rupa supaya mereka terlindungi.

Berdasarkan contoh-contoh diatas terbukti bahwa "izin" merupakan komoditi terlaris di Indonesia dan dapat membuat para pihak yang terlibat penjualan "izin" kaya raya tanpa mempunyai kewajiban membayar pajak atas transaksi punglinya. Lalu apa yang didapat Negara, seperti yang terjadi dengan komoditi-komoditi lain berupa pajak, cukai, bea masuk/keluar dan sebagainya? Ya tentu saja tidak ada sama sekali.

Di tingkat regulator, "izin" sangat erat kaitannya dengan permainan regulasi dan korupsi. Menghambat "izin" dengan melakukan penerbitan beberapa kebijakan dapat berakibat pejabat yang mengeluarkan kebijakan digantii. Jadi daripada ditendang, lebih ikut bermain di "izin". Kondisi ini yang membuat komoditi "izin" terus berkembang di Indonesia.

Langkah Menghambat Bisnis Komoditi "Izin"

Untuk menghindari "izin" berkembang menjadi komoditi andalan Indonesia hanya ada satu cara, yaitu semua pemimpin tertinggi di tingkat regulator harus mencegah supaya "izin" tidak lagi menjadi komoditi di Pemdanya maupun di Kementeriannya. Caranya? Bongkar susunan manajemen kerajaan bagian pemberian "izin". Sebar mereka ke beberapa daerah sehingga mereka tidak bisa berhubungan langsung terkait dengan pemberian "izin". Ganti posisi mereka dengan orang baru dari bagian lain.

Kebijakan tersebut diatas sudah diuji coba di salah satu Kementerian yang sejak lama selalu mendapatkan alokasi dana cukup besar dari APBN/P dan sejauh ini cukup efektif. Hanya saja banyak mendapat tantangan dari seluruh jajaran di Kementrian tersebut. Saran saya lanjutkan saja dan terus pantau kinerja mereka di tempat baru, maupun pejabat yang menggantikannya. "Izin" salah satu bentuk korupsi berjemaah di Indonesia yang harus diberantas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar