Minggu, 17 Mei 2015

Kok Hanya Pajak, Sih

Kok Hanya Pajak, Sih

Moh Mahfud MD   ;  Guru Besar Hukum Konstitusi
KORAN SINDO, 16 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Beberapa waktu yang lalu saat menanggapi kenaikan tunjangan jabatan bagi pegawai pajak, Jimly Asshiddiqie bercuit melalui akun Twitter-nya bahwa pegawai pajak tak boleh korupsi karena tunjangan jabatannya sudah besar, sedangkan pegawai negeri yang lain boleh korupsi.

Tentu Jimly yang mantan ketua MK itu hanya menyindir. Meski saya meyakini kebijakan pemberian tunjangan besar itu sudah didiskusikan dengan matang, saya setuju dengan kritik Jimly itu. Pemberian tunjangan jumbo kepada pegawai pajak itu terasa sebagai pemanjaan dan pengistimewaan yang berlebihan. Sejak dulu saya termasukyang setuju dengan pendapat bahwa kebijakan pemberian insentif istimewa kepada pegawai bidang tertentu adalah kurang tepat.

Menurut saya, hampir semua bidang tugas dalam pemerintahan itu sama pentingnya. Kalau dikatakan bahwa petugas pajak itu sangat penting karena menentukan besarnya penerimaan negara, bisa ada yang mengatakan bahwa hakim dan jaksa jauh lebih penting. Kalau hakim dan jaksa bisa dibeli dengan suap meski petugas pajaknya tertib, korupsi akan terus terjadi di bidangbidang lain.

Jadi, hakim dan jaksalah yang lebih penting untuk diberi tunjangan khusus yang besar. Tetapi, ini pun bisa dibantah. Yang lain bisa mengatakan polisilah yang lebih penting. Alasannya, kalau tidak ada polisi, keamanan dan ketertiban bisa terganggu, negara bisa kacau balau.

Petugas pajak, hakim, jaksa tak akan mungkin bisa bekerja dengan baik jika tidak ada polisi yang menjamin hakim dan jaksa bisa bekerja dengan aman. Polisi jugalah yang pada tahap awal mengantarkan kasus pelanggaran hukum pidana ke pengadilan. Maka itu, yang paling layak mendapat tunjangan besar adalah polisi.

Ingat, kalau kekurangan biaya operasional, polisi bisa saja mencari dana sendiri dari jalanan agar tugasnya bisa dijalankan. Tapi, ini pun bisa disalahkan oleh pendapat lain yang mengatakan bahwa justru tentaralah yang paling penting. Menurut konstitusi, TNI mengemban tugas pertahanan yakni menjaga keutuhan negara baik dari ancaman luar maupun dalam negeri.

Kalau gaji untuk TNI kecil, bisa-bisa eksistensi negara terancam bahaya. Buat apa kita berhasil memungut pajak dalam jumlah besar kalau pertahanan negara lemah? TNI dong yang harus diberi gaji besar. Para dokter pun bisa membantah pula. Kalau dokter tak bisa bekerja dengan baik karena gajinya kecil, yang dirugikan adalah pasien dan kesehatan rakyat pada umumnya.

Tak akan efektif pelaksanaan tugas tentara, hakim, polisi, petugas pajak, atau yang lainnya kalau mereka tidak sehat. Kalau rakyat tak sehat, negara tak akan maju. Tapi, “Itu lebih salah lagi”, teriak para guru dan dosen. Bagaimana bangsa ini akan cerdas kalau tidak ada sekolah dan universitas dengan guruguru dan dosen-dosen yang bermutu? Lagi pula mana bisa ada pegawai pajak, polisi, jaksa, hakim, tentara, dan dokter kalau mereka tidak bersekolah atau kuliah di perguruan tinggi dulu?

Jadi, guru dan dosenlah yang harus mendapat gaji besar. Itulah perdebatan terkait besarnya tunjangan bagi pejabat perpajakan kita. Pilihan kebijakan pemerintah itu memang ada benarnya sebab pendapatan negara kita dari pajak menjadi sumber terbesar dan sandaran utama pendapatan negara.

Tax ratio atau penerimaan pajak atas produk domestik bruto (PDB) kita pada 2015 misalnya hanya 12,38% atau Rp1.380 triliun dari target pendapatan negara sebesar Rp1.1793,6 triliun. Catatan mengenai tax ratio dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa dengan ratio di kisaran 12% saja sumbangan pajak terhadap pendapatan negara sudah berada di kisaran 80%.

Negara-negara tetangga kita seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura berhasil meraih tax ratio sampai sekitar 16%. Masak negara kita tak bisa menaikkannya sampai 15%? Kalau efektivitas capaian tax ratio pajak kita mencapai sebesar negaranegara tetangga itu, akan sangat besarlah sumbangan sektor pajak bagi pendapatan negara.

Itulah sebabnya tunjangan pegawai pajak harus dibesarkan agar tax ratio meningkat dan agar mereka tidak korupsi. Tetapi, meski ada logika seperti itu, tetap saja kebijakan seperti itu terasa kurang tepat, terutama jika dikaitkan dengan pentingnya tugastugas pemerintahan di bidang lain yang tak kalah penting. Mengapa bukan petugas pemberantas narkoba misalnya yang dibesarkan gajinya?

Bukankah bisnis narkoba itu sangat mengancam dan membahayakan negara bukan hanya sekarang, melainkan masa depan negara? Jika dipandang dari atas, sebenarnya tugas-tugas pemerintahan itu satu kesatuan yang saling terkait dan masalah perpajakan bukan masalah yang berdiri sendiri. Diberi tunjangan sebesar apa pun petugas pajak jika bidang-bidang lain tetap dikelola secara korup, takkan memberi manfaat apa pun bagi negara.

Persoalan kita sebenarnya adalah buruknya mental aparat. Jadi, kalaupun kita harus menelan kebijakan tunjangan jumbo bagi pegawai pajak sebagai sesuatu yang sudah terjadi, kita harus memastikan bahwa kebijakan itu hanyalah kebijakan antara.

Arah pembenahan yang sesungguhnya adalah bagaimana mulai melaksanakan revolusi mental secara sungguh-sungguh yang diikuti penindakan dan penegakan hukum secara tegas, tanpa pandang bulu. Kalau ini tidak dilakukan, berapa pun besarnya tunjangan kepada pegawai bidang apa pun, akan tidak ada gunanya bagi negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar